Islam dan Leluhur
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mengapa orang menghormati leluhur mereka? Sekelompok masyarakat memiliki ritual, upacara, dan cara berbeda untuk mengenang dan menunjukkan rasa hormat serta kekaguman pada orang yang telah meninggal. Ini terjadi di banyak kebudayaan dan bahkan dibahas dalam biologi evolusi. Ini menjadi cara orang menjaga kohesi masyarakat. Dengan menghormati leluhur, mereka mendapatkan semacam rasa keterhubungan dengan kelompok mereka.
Realitas tersebar luas dalam pelbagai warga dunia, terutama di Afrika dan Asia. Namun, ini tidak begitu umum dalam agama monoteistik. Dalam agama monoteistik, umat Islam melarang penyembahan terhadap apa pun selain Allah dan segala sesuatu yang berbau penyembahan. Kita juga berusaha menjauhi hal itu, meskipun terkadang garis pembeda tidak begitu jelas. Seperti saat Anda membungkuk di hadapan instruktur karate Anda, apakah itu penghormatan atau bukan. Dan apakah itu melewati batas tertentu?
Banyak Muslim menahan diri dari hal-hal ini karena Muslim diajarkan untuk beribadah, membungkuk dan bersujud hanya kepada Allah. Dan karena tindakan ini sangat erat kaitannya dengan shalat, kita ragu untuk melakukan tindakan yang sama dengan objek lain yang terlihat. Tapi, bagaimana jika mendekati itu? Kapan sesuatu disebut melewati batas?
Saya membaca sebuah akun online tentang seorang gadis Muslim Tionghoa. Dia seorang muallaf. Dia menuturkan bahwa ada hari-hari tertentu dalam setahun ketika keluarganya mengunjungi kuburan leluhurnya dan membungkuk kepada mereka. Dia memberi tahu ayahnya bahwa ini tidak boleh dilakukan. Ayah gadis ini benar-benar tersinggung. Sang ayah sangat terluka. Dia berpikir bahwa putrinya akan meninggalkan atau mengabaikannya setelah dia kelak wafat. Ayahnya kesal karena dia menganggap hal ini bukan ibadah. Bagi sang ayah ini tak lain rasa hormat yang mendalam.
Para ulama sebetulnya sudah menegaskan garis batas atas perkara ini dan memberikan putusan di mana atau kapan ‘garis izin’ dilanggar. Tradisi Katolik perlu mengakomodasi beberapa praktik penghormatan leluhur di beberapa negara Timur. Dan gereja Katolik sendiri telah memberikan keputusan yang berbeda dari waktu ke waktu. Suatu kali mengutuknya secara langsung dan di lain waktu mengakomodasi praktik tersebut mengingat praktik tersebut tetap bertahan selama ratusan tahun.
Ini menunjukkan bahwa ada praktik-praktik yang mendarah daging dan mengakar kuat di banyak budaya. Praktik-praktik tersebut tidak akan lenyap dalam waktu dekat. Dalam tradisi Islam, kita sangat menghormati orang-orang tua, bahkan hingga level kakek-nenek ke atas dan mendoakan mereka. Kita menghormati orang tua kita dan mengingat mereka dengan baik. Dan kita memohon kepada Tuhan untuk mengasihani mereka.
Lalu, apakah ada doa khusus yang dipanjatkan umat Islam pada waktu yang berbeda untuk mendoakan orang tua mereka? Kita tahu bahwa di banyak kebudayaan ada waktu-waktu tertentu saat orang memperingati hari kematian atau menghormati orang-orang kudus. Namun dalam tradisi Islam, kita tidak mengenal ini. Secara umum umat Islam berdoa. Kita berdoa, misalnya doa yang dibacakan dalam khotbah Jumat, “Ya Tuhan, ampunilah orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan. Dan kasihanilah orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, baik yang masih hidup, dan mereka yang telah meninggal dunia.” Doa ini umum diucapkan untuk mereka yang telah meninggal dunia. Dan kita bisa berdoa dengan cara kita sendiri juga, dalam bahasa kita sendiri dalam berbagai situasi.
Setiap kali mengingat orang tua, kerabat dan leluhur kita yang sudah meninggal, kita bisa mendoakan mereka, memohon ampun kepada Allah. Untuk orang tua kita khususnya, ada doa, “Ya Allah, ampunilah kedua orang tuaku dan kasihanilah mereka, sebagaimana mereka dulu menyayangiku sewaktu aku masih kecil.” Doa ini dapat dilakukan bahkan setelah orang tua kita meninggal. Banyak umat Islam yang mengetahui dan menghapal doa ini dalam bahasa Arab.
Pertanyaan yang juga kerap muncul adalah apakah ada waktu tertentu saat umat Islam percaya bahwa jarak antara yang mati dan yang hidup bisa menyatu atau menyempit? Sehingga nenek moyang kita yang sudah meninggal dapat kembali ke dunia ini dengan cara tertentu dan berinteraksi dengan kita? Secara tegas jawabannya tidak ada.
Tapi pertanyaan ini menggiring saya kepada sirah Nabi SAW. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW mengunjungi kuburan beberapa orang pada bulan Sya’ban. Maka muncullah praktik di kalangan sebagian umat Islam untuk berziarah kubur pada waktu tertentu.
Selain itu, tidak ada makna utama yang diambil dari peristiwa tersebut, seolah-olah ini adalah waktu pembukaan. Ini semua hanyalah masalah mengikuti apa yang kita sebut Sunnah. Jika kita berbicara tentang jiwa orang mati kembali ke dunia ini pada tanggal tertentu, maka ini tidak ada dalam tradisi Islam. Ketika jiwa seseorang meninggalkan dunia ini, saat mereka meninggalkan tubuh ini, ia berada dalam keberadaan yang terpisah dari dunia ini.
Ada istilah yang digunakan untuk menekankan perbedaan ini, yakni barzakh. Dan dalam Al-Qur`an, kata barzakh ditunjukkan sesuatu seperti ketika kita berevolusi. Jika Anda melewatinya, jangan kembali. Dan itu adalah semacam tembok pemisah yang memisahkan keadaan keberadaan ini dari alam jiwa, jika Anda ingin menyebutnya seperti itu.
Sekelompok masyarakat dalam kepercayan tertentu memberikan persembahan makanan kepada gambar leluhur yang sudah meninggal. Konsep ini sangat ‘asing’ dalam Islam karena mempersembahkan makanan kepada dewa adalah bagian dari cara menyembah Tuhan. Ketika suatu tindakan menyerupai apa yang dilakukan orang dalam menyembah Tuhan, maka tindakan itu dipersembahkan kepada orang lain. Jelas ini disebut syirik atau menyekutukan Allah. Dalam tradisi Islam, kita tidak mempersembahkan makanan apa pun kepada Tuhan karena kami memahami bahwa Tuhan tidak makan (وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ)—Dia memberi makan dan tidak diberi makan (QS 6: 14).