Muhammadiyah dan Kebudayaan Berkemajuan
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Siapa bilang Muhammadiyah anti budaya atau kebudayaan? Sejak awal Muhammadiyah lekat dengan kebudayaan. Kebudayaan dimaknai sebagai sistem pengetahuan kolektif manusia dalam menanggapi lingkungannya yang melahirkan pola perilaku bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Muhammadiyah justru terlibat dalam mengembangkan sistem pengetahuan kolektif masyarakat melalui pendidikan dan pranata sosial lainnya yang berbasis nilai Islam menuju kemajuan hidup bersama.
Mengenai seni budaya atau kesenian pun Muhammadiyah memiliki apresiasi dan terlibat dalam aktivitas kesenian, lebih-lebih dalam kurun terakhir melalui Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) maupun kegiatan institusi lainnya. Seni drumband misalnya Muhammadiyah sangat menguasainya, sehingga Muhammadiyah sejak berdirinya Hizbul Wathan tahun 1918 identik dengan kegiatan drumband di bidang seni budaya. Seni wayang bahkan saat ini sudah terbiasa di Muhammadiyah.
Persoalannya ialah, bagaimana mengembangkan seni budaya pada khususnya dan kebudayaan secara umum yang lebih kreatif dan inovatif, serta menjadikannya sebagai instrumen dakwah. Lebih jauh lagi ketika berbicara tentang kebudayaan sebagai sistem pengetahuan kolektif, maka Muhammadiyah semakin dituntut mengembangkan pandangan dan strategi kebudayaan dalam gerakannya sekaligus menjadikan tangga utama menumu perwujudan membangun peradaban utama.
Tradisi dan Puritanisme
Muhammadiyah pada kurun dan situasi tertentu memang terkesan anti budaya, khususnya terkait tradisi. Tradisi ialah kebiasaan yang turun menurun yang menjadi siklus hidup masyarakat dalam berbagai upacara atau ritual. Sebutlah ritual kelahiran dan kematian yang menjadi tradisi dalam masyarakat seperti upacara tujuh bulan bagi ibu hamil dan tujuh hari sampai seribu hari bagi anggota yang meninggal melalui upacara tertentu. Ada pula ritual yang terkait dengan upacara-upacara menanam padi, upacara laut, dan sebagainya.
Tradisi-tradisi ritual seperti itu yang dipandang oleh Muhammadiyah sebagai bermasalah ketika di dalamnya terkandung unsur-unsur bid’ah, tahayul, dan syirik yang kemudian dikenal TBC (aselinya: Tahayul, Bid’ah, Churafat). Bid’ah secara mudah artinya membikin sesuatu yang baru terkait ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi. Tahayul menyangkut kepercayaan tertentu yang mengandung imajinasi hayalan atau mistik seperti kepercayaan terhadap hantu. Churafat (khurafat) berkaitan kepercayaan tertentu yang sering dikaitkan dengan nasib baik atau buruk ketika ada peristiwa alam atau peristiwa lainnya, seperti soal hari baik dan buruk untuk perjalanan atau kegiatan tertentu.
Kondisi atau perbedaan pandangan sering terjadi karena ada ekstremitas atau bias. Para pelaku tradisi cenderung berlebihan sehingga upacara-upacara atau ritual sosial yang sejatinya mengandung makna mendalam yang terkait dengan fenomena alam yang bersifat sunatullah sekaligus tidak lepas dari kekuasaan Allah, kemudian mengalami pendangkalan sehingga berkembang menjadi tahayul, bid’ah, dan syirik dari sudut ajaran Islam. Kedahsyatan laut dengan segala hukum alamnya misalnya dikaitkan dengan “sang penunggu” Nyi Loro Kidul. Ada tradisi melepas kematian anggota keluarga dengan ritual pembacaan ayat Al-Quran seperti Yasinan, padahal terbuka untuk membaca ayat-ayat lain dalam Al-Quran, sehingga seolah menjadi wajib, disertai kepercayaan roh orang yang meninggal berpindah-pindah sesuai periode harinya ala Hinduisme.
Hal-hal tradisi seperti itulah yang dikritisi Muhammadiyah sebagai TBC. Termasuk aspek memaksakan diri bagi warga yang tidak mampu untuk melakukan upacara-upacara ritual itu yang membawa konsekuensi biaya besar yang sebenarnya memberatkan. Elemen-elemen ritual itu kemudian menimbulkan relasi mistik atau mitologis yang dipandang bertentangan dengan keyakinan tauhid dan konsep ibadah dalam Islam yang murni. Pandangan Islam murni inilah yang dikenal sebagai puritanisme dalam Islam. Tradisi yang bersifat budaya dan keagamaan itu kemudian menjadi kompleks sifatnya, sehingga mana yang boleh dan mana yang tidak dari sudut ajaran Islam.
Bersamaaan dengan itu terdapat pula bias pandangan yang terlalu dogmatis dalam memandang tradisi dan budaya dari sudut puritanisme Islam. Pertama, para pelaku tradisi berlebihan dan kehilangan makna dalam memahami dan melakukan ritual tradisinya, sehingga terjadi sakralisasi yang absolut. Kedua, tumbuh pandangan kuat setiap tradisi atau keseluruhan tradisi itu seolah semuanya mengandung unsur TBC, sehingga tradisi kemudian dipertentangkan dengan Islam. Ketiga, sebagian pandangan puritanisme juga kurang memahami hakikat dan seluk-beluk tradisi dan budaya, padahal ada sejumlah aspek dari tradisi dan budaya itu baik sifatnya yang memiliki makna spiritualitas dan relijiusitas tertentu, namun pemaknaan atau tafsirnya sering berbeda.
Dakwah Kultural
Penting meletakkan tradisi, seni, budaya, dan kebudayaan secara proporsional disertai pemaknaan yang mendalam (emik) atau mengandung arti-arti yang positif dan konstruktif. Setiap tradisi apakah itu murni kebudayaan maupun terkait dengan keagamaan memiliki makna tertentu dan tidak otomatis bertentangan dengan agama dalam hal ini Islam. Penting memahami tradisi, budaya, dan kebudayaan secara benar, objektif, dan proporsional.
Bila tradisi itu dikaitkan dengan agama atau keagamaan maka penting dilihat proporsinya, jangan sertamerta dicap bid’ah. Misalkan kebiasaan ziarah kubur pada umat atau komunitas muslim di tanah air. Ada dua pola kebiasaan yang berlaku. Pertama ziarah dengan mengeramatkan kuburan atau orang yang ada dalam kuburan. Apalagi yang meninggal itu dianggap orang suci atau wali, sehingga meminta-minta sesuatu kepada sebagaimana dikenal tawasul. Kedua, orang atau jamaah yang murni ziarah untuk hanya tahu dan mengenal kuburan orang-orang yang berjasa dalam perjuangan Islam atau bangsa, ada yang sekadar ziarah namun ada yang ikut mendo’akannya.
Menghadapi tradisi ziarah kubur tersebut tidak bisa secara otomatis menghakimi bid’ah, sebab harus dilihat motif dan perilaku ziarahnya. Jangan sampai tumbuh pandangan anti ziarah kubur, padahal ziarah kubur itu sunnah Nabi. Pada posisi demikian itulah maka purifikasi Islam penting dipahami secara benar dan baik, jangan sampai tumbuh sikap anti Sunnah Nabi. Pendekatan yang utuh dan menyeluruh dalam memandang tradisi penting sebagai ikhtiar meninjau kembali pandangan keislaman yang puritan atau pendekatan purifikasi secara benar dan proporsional. Hindari paradoks, ingin menghindari bid’ah, justru membuat bid’ah yang lain, dengan cara anti pada Sunnah Nabi yakni ziarah kubur.
Begitu juga soal upacara kematian. Pada dasarnya setiap orang atau keluarga yang ditinggalkan kematian pasti dukacita. Kini banyak variasi tradisi ritual ketika ada kematian. Ada yang membikin pengajian, membaca Yasin atau Yasinan, membaca ayat Al-Qur’an lainnya, serta kegiatan sejenis. Termasuk takziyah virtual. Penting memahami secara lebih seksama mengenai beragam ritual menghadapi duka kematian, sehingga tidak dengan mudah dianggap bid’ah. Mana yang bid’ah dan mana yang tidak dari sudut pandang tentang ibadah, serta mana yang dapat dilihat sebagai urusan muamalah.
Bila masih ada unsur bid’ahnya maka hilangkan unsur bid’ah itu dan lakukan yang sejalan dengan prinsip dan jiwa ajaran Islam. Mana yang betul-betul dilarang secara qothi dan mana yang sebenarnya boleh dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Apakah orang mengadakan pengajian atau membaca ayat Al-Quran di kala duka terlarang? Bila hal itu baik adanya, lagi-lagi sejauh tidak masuk pada kategori bid’ah dalam urusan ibadah, kenapa tidak boleh atau dilarang? Apalagi bila dengan mengaji itu semakin mendekatkan diri kepada Allah, bersyukur, sabar, tawakal, dan memahami kehidupan dan kematian secara hakiki. Di sinilah pendekatan dakwah bil-hikmah, mauidah hasanah, dan dialog yang ihsan menjadi penting. Pada konteks inilah sebenarnya yang hendak dipahamkan dalam konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah tahun 2002.
Muhammadiyah baik dalam memahami seni budaya, sosial budaya, dan kebudayaan khususnya yang bertemali dengan aspek keagamaan penting memahaminya dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dengan cara pandang kualitatif-emik, yakni melihat secara substansi dengan masuk ke bagian makna-makna terdalam dari kebudayaan itu. Pada saat yang sama pandangan keislaman yang bersifat purifikasi mesti disertai dengan dinamisasi dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang utuh, mendalam, kaya, interkoneksi, dan menyeluruh sehingga tidak melahirkan bias atau hitam-putih yang menyebabkan pemahaman dan pembumian Islam menjadi sempit, kering, dan anti kehidupan. Padahal Islam baik dalam ajaran maupun sejarah Nabi dan era sesudahnya hadir sebagai agama yang membawa kemajuan peradaban utama. Itulah Islam berkemajuan yang melahirkan kebudayaan serta peradaban maju sesuai nilai-nilai dasar Islam!
Sumber: Majalah SM Edisi 01 Tahun 2023