Muhammadiyah Bukan Ormas Omon-omon
Oleh: Moh Ramli, Penulis buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, Jurnalis dan Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA, Jakarta
Upaya memajukan kesejahteraan bangsa merupakan kewajiban konstitusional bagi seluruh penyelenggara negara. Kesejahteraan bukanlah sekadar kata-kata normatif, melainkan amanat UUD 1945 yang harus diwujudkan dalam dunia nyata.
Apa yang disampaikan oleh Ketum Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam pidatonya pada Milad ke-113 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Bandung pada Selasa, 18 November 2025, bukanlah retorika belaka bagi organisasi yang dipimpinnya itu. Semangat tersebut telah diaplikasikan dengan bentuk yang riil.
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang kini bertebar di dalam negeri dan luar negeri adalah sebuah wujud nyata, bahwa organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H) di Kauman, Yogyakarta tersebut, bukanlah organisasi omon-omon. Amal usaha organisasi ini jelas lebih kencang buktinya dari sekadar teriak NKRI Harga Mati.
Amal usaha Muhammadiyah tersebut mencakup berbagai bidang, terutama pendidikan, dari PAUD hingga universitas, bidang kesehatan ada rumah sakit, klinik, panti asuhan, panti jompo, dan layanan sosial. Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki amal usaha di bidang ekonomi dan keuangan seperti BPR, BMT, koperasi, dakwah, kebencanaan seperti MDMC, serta lembaga amil zakat, infak, dan sedekah (Lazismu).
AUM di berbagai bidang tersebut kini terus berkembang. Hebatnya, begitu sangat kuat hierarki dalam tubuh organisasi. Maka, hingga saat ini tak ada amal usaha satupun yang dimiliki oleh perorangan seperti yang terjadi di organisasi lain. Semuanya adalah berada di bawah lingkup Muhammadiyah. Sehingga yang terjadi adalah amal usaha ini bekerja secara idealistik, tanpa ada egosentris dan tangan kekuasaan yang bisa memonopoli keberadaannya.
Bagi Haedar Nashir, ada beberapa kekuatan yang membuat AUM hidup dan terus berkelanjutan hingga kini. Pertama, Ruh Islam sebagai pondasi gerakan Muhammadiyah termasuk dalam dunia Pendidikan. Muhammadiyah menjadi gerakan modern yang bersumber dari agama Islam sebagai ajaran yang harus diimplementasikan dan nilai yang menjadikan warga Muhammadiyaah sebagai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan berdampak luas untuk mewujudkan Rahmatan Lil Alamin.
Kedua, Misi dakwah dan tajdid sebagai nilai yang melekat dengan organisasi Muhammadiyah. Dakwah yaitu menyebarluaskan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi, dan cakupan lebih luas, antar bangsa ataupun ditingkat global.
Ketiga, Keikhlasan dari pimpinannya yaitu hidupnya jiwa ikhlas yang menjadi karakter dari Muhammadiyah. Dengan begitu tampilan dari keikhlasan perlu dihidupkan dalam lingkungan Muhammadiiyah. Ukuran ikhlas ini akan digunakan pada saat kritis yaitu disaat kecewa, merasa tidak diperhatikan, dirugikan, namun dapat terus ikhlas, maka akan memperoleh ikhlas yang murni.
Keempat, Sistem modern dan good governance menjadikan Muhammadiiyah sebagai karakter modern dan terus beradaptasi dalam perkembangan zaman. Muhammadiyah memiliki sifat good governance yang menjadi budaya organisasi yang ditopang oleh kejujuran, sidiq, amanah, tabligh, dan fatonah dari semua yang ada dilingkungan PTMA dan AUM.
Kelima, Adaptif terhadap perubahan yaitu hidup ditengah zaman yang terus berubah dan dengan nilai dasar yang dimiliki kita mampu hadir ditengah zaman tersebut. KH Ahmad Dahlan merancang perubahan dengan karya Islam. Sehingga KH Ahmad Dahlan sebagai mujaddid bukan hanya pemurnian namun juga pembaharuan yang lebih luas.
Keenam, Hasil dari Muhammadiyah untuk masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran lembaga pendidikan kita dapat diterima dalam pelosok negeri. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah memiliki sikap yang inklusif dan membawa Rahmatan Lil Alamin.
Secara tersirat, apa yang disampaikan oleh Haedar Nashir di atas adalah implementasi dari Surat Al-Ma'un. Surat Alquran yang merupakan salah satu surat paling populer bagi warga Muhammadiyah. Dari surat ini, bahkan terlahir apa yang dinamakan sebagai 'teologi Al-Ma'un', pikiran yang mendasari lahirnya gerakan amal dan khidmat sosial Muhammadiyah.
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mengajak memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan."
Tentu, dalam usia yang sudah berjalan pada dua abad ini, Muhammadiyah tak boleh jumawa atas segala keberhasilan itu, tak boleh puas apalagi takabur dengan apa yang telah terjalin dalam amal usaha tersebut. Ke depan dipastikan ada tantangan dan persoalan yang begitu berat yang jelas membutuhkan ikhtiar dan strategi yang terbarukan. Sebab semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya.
Tantangan dan persoalan yang begitu berat tersebut harus diselesaikan dan dijawab oleh Muhammadiyah. Sebab hal itu adalah keharusan zaman yang tak bisa ditoleransi. Sebab apapun alasannya, waktu tak bisa berhenti untuk memaklumi keadaan. Siapa yang tak mampu beradaptasi karena tak minim akan strategi, akan tergilas oleh keadaan. Maka eksistensinya bukan saja terancam, melainkan bisa punah dari Bumi Khatulistiwa ini.
Maka, ke depan, eksistensi Muhammadiiyah dengan segala kemajuannya kini harus terus "digugat" oleh kader-kadernya sendiri. Lebih-lebih sangat bagus jika ada pihak luar yang memberikan kritik macam apapun. Organisasi ini tentu wajib menerima secara inklusif dan secara cepat-cepat introspeksi. Sebab jika sudah terjerabah pada mental eksklusif, dan enggan menerima koreksi dan masukan, maka artinya ada indikasi kemunduran pada diri Muhammadiyah.
Muhammadiyah di masa depan jelas akan berbeda keberadaannya sekaligus tantangannya. Maka hal itu menjadi selaras dengan pesan tersirat dari Kiai Ahmad Dahlan sendiri: "Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Jadilah guru, kembalilah kepada Muhammadiyah, jadilah meester, insinyur dan lain-lain dan kembalilah kepada Muhammadiyah."
Namun bagi pihak eksternal dalam organisasi apapun itu, harus mengakui bahwa Muhammadiyah kini menjadi semacam cermin besar untuk bagaimana sebuah organisasi bisa tumbuh dan keberadaan benar-benar dirasakan oleh umat. Pihak eksternal pun, hemat saya, tak perlu malu dan sungkan untuk belajar banyak pada organisasi ini. Sehingga eksistensinya di Tanah Air memberikan dampak nyata yakni kesejahteraan, bukan justru sebaliknya: kerusakan. Demikian.
Selamat Milad ke-113 Muhammadiyah (*)


