MAKKAH, Suara Muhammadiyah - Pembangunan Kampung Haji Indonesia di Makkah menjadi perbincangan yang hangat. Penjelasan menarik juga disampaikan oleh Penasihat Khusus Presiden Bidang Haji Muhadjir Effendy. Ia mengatakan, ada dua agenda strategis dalam diplomasi haji yang menjadi amanat Presiden RI. Yakni pembangunan Kampung Haji Indonesia di Makkah dan penggunaan Bandara Taif sebagai entry point alternatif untuk jemaah haji Indonesia.
Ketua Badan Pembina Harian UMM tersebut sudah berdiskusi dengan Menteri Perhubungan dan Menteri Agama serta mendampingi pihak investor yang berminat membangun Kampung Haji. Bahkan, ia juga langsung meninjau Bandara Taif. Menurutnya, Bandara Taif dinilai sangat potensial karena memiliki dua runaway yang dapat menampung pesawat berbadan besar. Selain itu jaraknya yang hanya sekitar 70 km dari Makkah juga bagus. Apalagi bandara ini beropreasi 24 jam penuh dengan dukungan 11 maskapai.
“Jika bisa ditambah 10 slot penerbangan per hari, ini akan mempercepat proses pemulangan jemaah dan mengurangi masa tinggal yang selama ini membebani biaya haji,” tegas Muhadjir.
Muhadjir juga menyampaikan visi Presiden Prabowo agar penyelenggaraan haji tidak hanya dimaknai sebagai ibadah spiritual, namun juga sebagai peluang membangun ekosistem ekonomi global umat Islam. “Di Alquran disebutkan bolehnya bertransaksi saat haji. Ini bisa jadi momentum membangun pusat transaksi tahunan antarnegara Islam. Kampung Haji dapat menjadi titik awalnya. Pemerintah juga berhati-hati dalam memilih investor dan kemungkinan Juli ini Presiden akan bertemu dengan Raja Salman,” tambahnya.
Terkait pelaksanaan haji 2025, Muhadjir mengatakan bahwa secara umum semua berjalan baik. Tentu ada beberapa tantangan karena adanya beberapa perubahan kebijakan dari Arab Saudi. Namun ia menilai bahwa Indonesia sudah menyesuaikan diri dengan baik. Ini menjadi bukti bahwa kualitas pengelolaan haji Indonesia cukup mumpuni.
Salah satu perubahan besar adalah sistem syarikah yang kini bertambah dari satu menjadi delapan, sementara sistem haji Indonesia masih berbasis kloter. Hal ini menuntut adaptasi cepat dari tim dan petugas haji Indonesia. Di sisi lain Muhadjir juga menyoroti distribusi makanan siap saji untuk jemaah. Ia memberikan ide agar distribusi makanan dilaksanakan bukan berbasis kelompok karena ditakutkan menimbulkan ketimpangan. Namun sebaiknya diberikan berdasarkan nama. (*)