SEMARANG, Suara Muhammadiyah - Mudik Inklusi Ramah Anak dan Disabilitas (MIRAD), yang sebelumnya pada arus mudik memberangkatkan 278 disabilitas, pendamping dan keluarga. Yakni 44 anak anak, 6 lansia, 1 bumil, 124 perempuan, 109 disabilitas, akan menempuh arus balik, mulai Ahad (14/4) sampai dengan Senin (15/4). Dengan moda transportasi bus, kereta api, dan pesawat.
Koordinator MIRAD Catur Sigit Nugroho menyampaikan arus balik mudik disabilitas melalui gerakan MIRAD akan dilaksanakan mulai Ahad (14/4) dan Senin (15/4). Untuk Senin (14/4) ada bus dan kereta. Perjalanan diberangkatkan dari Madiun, Ngawi, Solo, Semarang dan Jakarta.
Demikian juga moda transportasi kereta api juga berangkat dari beberapa Stasiun di Jawa Tengah, seperti Semarang dan Purworejo. Sedangkan arus balik mudik disabilitas dengan pesawat di sejak Senin (15/4). Adapun penumpangnya adalah disabilitas fisik non kursi roda, disabilitas fisik pengguna kursi roda, tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dan mental
Ketua Pimpinan Pusat Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (PP Hidimu) Fajri Hidayatullah menyampaikan dirinya menyambut baik gerakan MIRAD, dalam pengarusutamaan inklusi di semua sektor, baik pelayanan publik maupun sarana transportasinya. Baginya inklusi adalah amanah konstitusi.
"Untuk kita bersama bisa menikmati apapun, apapun bentuknya dalam fasilitas Negara. Karena Negara dibangun juga untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, termasuk warga negara penyandang disabilitas," ujarnya.
Dengan umur mudik disabilitas melalui program MIRAD yang sudah dilaksanakan ke 6 kalinya, Ia berharap kolaborasi yang terus berlangsung antara pemerintah, BUMN dan pihak terkait, terus berbenah. Dalam rangka menegakkan Undang Undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Bahwa semua orang, tidak terkecuali penyandang disabilitas berhak mendapatkan pelayanan publik yang setara.
"Jadi bukan rahasia umum lagi, ketika transportasi sekarang bisa dinikmati teman teman disabilitas. Bahwa ada mobilitas yang tinggi dari teman teman disabilitas saat mudik. Bahwa moda transportasi kita sudah mendukung aksessibilitas," terangnya.
Ia juga menitikberatkan pentingnya fasilitas di lengkapi. Meski dalam mudik disabilitas disediakan pendamping. Namun dirinya ingin menegaskan, bahwa prinsip kemandirian dalam perspektif disabilitas, harus mengedepankan kelengkapan fasilitasnya, baru bicara adanya pendamping. Jadi bukan bergantung sepenuhnya.
"Jadi tidak serta merta dengan tersedianya pendamping kemudian mengabaikan pembangunan yang berorientasi pada kemandirian disabilitas itu sendiri," ujarnya.
Fajri melihat masuknya era digitilasasi, menjadi pintu masuk mempercepat kesetaraan atau inklusi tersebut. Termasuk didalamnya moda transportasi yang dapat diakses melalui teknologi digital, yang kemudian dengan teknologi dapat mendukung kemandirian disabilitas. "Jadi dengan digitalisasi, memang disabilitas dapat menikmati dan merasakan segalanya, dengan ini mendorong adanya kemandirian," katanya.
Misalkan disabilitas netra seperti saya, dengan modal gadget dan pembaca layar ditambah aksessibilitas dalam aplikasi, maka akan memudahkan disabilitas saya, yang akan berdampak pada kegiatan ekonomi saya. Melalui praktek digitalisasi, saya berharap juga berlaku di semua sektor kehidupan, tidak hanya di transportasi melalui program MIRAD.
Karena untuk menikmati segala pelayanan publik, perspektif disabilitasnya selalu mengatakan, “bagaimana hamabatan itu dapat ditangani”. Sehingga peran digitalisasi, termasuk penerapannya di sektor transportasi, sangat membantu dan menumbuhkan ekonomi penyandang disabilitas.
Gerakan MIRAD dapat terlaksana, berkat dukungan BUMN melalui Bank Syariah Indonesia, Tim Inklusi Disabilitas Kementerian Perhubungan, Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (Hidimu) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).