Misi Dakwah Muhammadiyah dalam Menghadirkan Islam yang Mencerahkan

Publish

3 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
311
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Yayan Suryana, Wakil Ketua PWM DIY

Salah satu tantangan terbesar umat Islam hari ini bukan hanya serbuan ideologi asing atau redupnya moral, melainkan cara kita memahami agama itu sendiri. Dalam banyak kasus, ajaran Islam direduksi menjadi kumpulan hukum-hukum kaku, dipahami secara sempit, dan sering kali tidak kontekstual.

Pemahaman sempit ini melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan bahkan ekstrem yang semuanya bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Di sinilah pentingnya Langkah Kedua dari Dua Belas Langkah Perjuangan Dakwah Muhammadiyah, yakni memperluas paham agama.

Muhammadiyah menyadari bahwa untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan pembebas dan pencerah umat, maka pemahaman terhadap ajaran agama harus luas, terbuka, dan kontekstual, bukan hanya bersandar pada teks secara literal.

Agama Tidak Cukup Dipahami secara Sempit

Sejak awal, Muhammadiyah menolak paham keagamaan yang sempit dan jumud. Bagi Muhammadiyah, Islam bukan sekadar kumpulan teks dan hukum-hukum fiqh yang dibaca kaku, tetapi sebuah sistem nilai yang hidup dan harus menjawab realitas zaman.

Untuk itu, Muhammadiyah tidak hanya menekankan pentingnya berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah, tapi juga merumuskan manhaj (metodologi) dalam memahami agama agar lebih sistematis dan terintegrasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta dinamika kehidupan sosial.

Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah mengembangkan metode memahami agama yang komprehensif dan multidisipliner, yang dikenal dengan tiga pendekatan utama: Bayani, Burhani, dan Irfani.

Pendekatan Bayani menekankan pada pentingnya teks dan norma agama. Pendekatan ini berlandaskan pada teks Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam. Ia menggunakan perangkat ilmu tafsir, bahasa Arab, dan ushul fiqh. Pendekatan ini memastikan bahwa umat tetap berpijak pada sumber otentik agama.

Sebagai contoh adalah kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang  difahami dari perintah dalam QS. Al-Baqarah: 183, dan larangan riba dari QS. Al-Baqarah: 275-279. Namun, pendekatan ini tidak berdiri sendiri, karena jika dipahami secara kaku bisa mengabaikan konteks sosial yang berubah.

Sementara pendekatan Burhani  adalah pendekatan berbasis akal dan bukti ilmiah, dengan mengaplikasikan logika, filsafat, dan temuan ilmu pengetahuan dalam memahami teks agama. Ini sangat relevan dalam menjawab tantangan kontemporer. Contoh penerapannya adalah dalam fatwa haram rokok yang didasarkan pada dampak buruk kesehatan berdasarkan riset medis modern. Burhani juga digunakan dalam pengelolaan zakat produktif, fikih air, dan  lingkungan hidup yang memerlukan analisis ilmiah dan pendekatan sosial.

Pendekatan Irfani merupakan pendekatan yang lebih bersifat  spiritual-intuitif. Pendekatan ini  mengandalkan ketajaman hati, pengalaman ruhani, dan penghayatan batin terhadap ajaran agama. Irfani berperan dalam menanamkan keikhlasan, kesadaran moral, dan rasa takwa yang mendalam.

Contohnya, seseorang mungkin melaksanakan shalat karena perintah syariat (bayani), tetapi dengan irfani, ia melakukannya dengan kesadaran cinta dan rindu kepada Allah. Irfani tidak mengabaikan formalitas dalam beragama tetapi menguatkan ketaatan dengan menumbuhkan kedalaman ruhani.

Ketiga pendekatan tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan saling melengkapi. Muhammadiyah ingin membangun pemahaman agama yang utuh: berbasis wahyu, dicerna oleh akal, dan dihayati oleh jiwa.

Tantangan: Menghadapi Gelombang Tekstualisme Sempit

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bangkitnya gelombang tekstualisme sempit, yaitu cara memahami agama yang hanya terpaku pada teks, tanpa mempertimbangkan konteks, maqashid (tujuan syariat), dan realitas kehidupan.

Tekstualisme ini melahirkan sejumlah problem, antara lain munculnya sikap mudah menjustifikasi orang sebagai kafir ketika berbeda dengan pandangan yang dimilikinya. Cenderung menolak temuan ilmiah karena dianggap tidak Islami, atau dianggap tidak sesuai dengan pesan teks.  Mengedepankan simbol dan bentuk luar ibadah, tapi miskin substansi etika dan sosial.

Muhammadiyah menolak model keislaman yang semacam ini. Bagi Muhammadiyah, agama harus mampu menjawab tantangan zaman, memecahkan masalah kemanusiaan, dan membawa nilai-nilai kebaikan universal.

Langkah memperluas paham agama bukanlah proyek kompromi atau liberalisasi agama, melainkan upaya serius menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Dengan manhaj yang dirumuskan Muhammadiyah menawarkan jalan tengah yang berbasis wahyu, rasional, dan spiritual.

Di tengah polarisasi cara pandang keagamaan hari ini, Muhammadiyah berdiri teguh di jalur Islam yang mencerahkan (tanwir), Islam yang menyatukan dalil, nalar, dan nurani yang populer dengan Islam berkemajuan. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

IMM: Kedekatan dengan Penguasa dan Makna Diaspora Kader Oleh: Mansurni Abadi, Mantan Pengurus RPK I....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Wawasan

Oleh : Endang Suprapti, Wakil Dekan 1 FKIP UMSurabaya Generasi cerdas adalah harapan bangsa untuk m....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Islam adalah agama dan shalat adalah tiangnya. Agama adalah ajaran, sistem yang ....

Suara Muhammadiyah

28 May 2024

Wawasan

Dialog Antaragama Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apa yang Isl....

Suara Muhammadiyah

22 July 2024

Wawasan

Oleh: Dr Amirsyah Tambunan, CWC. Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Saat....

Suara Muhammadiyah

2 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah