Merekat Kerukunan Melalui Simbol Keagamaan
Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar
Menggambarkan bagaimana Indonesia yang dijuluki negeri seribu pulau, paru-paru dunia, bahkan heaven of earth, salah satunya melalui diksi plural, heterogen, multikultural, toleransi dan sikap moderat. Istilah tersebut kental mewarnai kehidupan rakyat sabang hingga merauke. Sebab Indonesia pada masanya pernah terpecah dan terkotak-kotak dengan identitas suku, agama, bahasa, dalam bentuk simbol-simbol keagamaan atau kebesaran wilayah kekuasaan. Identitas atau atribut itu pula yang dimanfaatkan oleh kolonial untuk memecah belah persatuan dengan segala taktik strategi, salah satunya melalui politik devite et Impera.
Maka untuk menyatukan perbedaan tadi, selain dengan semboyan nasional bhinneka tunggal Ika yang lestari sepanjang masa, Indonesia membutuhkan simbol perekat antar generasi yang mampu mengjewantahkan berbagai perbedaan dalam tatanan hidup sosial yang harmoni. Tatanan tersebut dapat berbentuk pendidikan inklusif, dimana siapapun memiliki hak yang sama, ditanamkan sikap keterbukaan tanpa mengurangi/merampas hak individu, kelompok dan masyarakat untuk menjalani kehidupan.
Indonesia yang Plural
Walaupun barisan penjajah telah pergi dari bumi pertiwi, namun tanpa kita sadari masih tersisa puing perbedaan dalam kehidupan berbangsa, bernegara bermasyarakat bahkan mungkin dalam ranah aktifitas keagamaan yang ditinggalkan oleh kolonial. Primordialisme masih kental mewarnai, etnosentrisme pun sulit dihindari. Pada posisi tertentu sikap tersebut muncul dan seringkali memicu disharmoni.
Dalam beberapa wawancara penulis dengan tokoh agama dibeberapa kegiatan lintas etnis, sejatinya menyetujui pentingnya menjaga kerukunan tanpa membedakan perbedaan yang tampak. Mereka pun menyepakati perlu edukasi tentang makna plural, heterogenitas dan harus ditanamkan sejak dini. Mengapa demikian ?, dengan memahami toleransi sejak belia maka akan mendorong anak belajar bekerjasama tanpa merasa canggung. Anak dibimbing untuk saling memahami tanpa mengurangi nilai hidup, melupakan budaya bahkan pengamalan ajaran agama yang dianut.
Khusus untuk umat Islam, sesuai fatwa MUI merujuk surat al-Kafirun, dilarang mencampuradukkan akidah dan peribadatan dengan akidah dan peribadatan agama lain. Islam dengan tegas menjunjung perbedaan (keyakinan) sebagai hak yang harus dihormati. Fakta-fakta historis, memperlihatkan toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi hakikatnya bagian integral dari Islam yang detailnya kemudian dirumuskan para ulama dalam karya yang hingga kini masih relevan dengan cara hidup, komunikasi di masyarakat. Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya hingga kini tetap menjadi rujukan utama para ahli sosial untuk memahami bagaimana siklus sosial. Salah satu teorinya tentang kerjasama, bahwa manusia membutuhkan kerja agar terciptanya kerukunan dalam sebuah peradaban.
Simbol Keagamaan Sebuah Perekat
Jika pengamalan beragama mengajarkan tentang pentingnya kerukunan, toleransi dan sikap moderat, tentu kebaikan-kebaikan tersebut membutuhkan sikap sosial yang terus dilatih agar menjadi kebiasaan atau pola hidup. Tidak cukup hanya argumentasi melalui himbauan, sosialisasi, tetapi harus dalam bentuk pemahaman dari berbagai praktik khususnya di sekolah mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Misalnya pemahaman tentang bagaimana simbol keagamaan agama lain yang berbeda dengan agama yang kita anut. Simbol keagamaan mungkin acap kali dianggap kurang bernilai untuk diketahui apalagi dipahami. Namun menurut Dr. Samsul Hidayat, MA dosen IAIN Pontianak, yang juga diamanahi sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat, sekaligus founder "edukasi simbol keagamaan bagi siswa menengah" pada kegiatan Workshop edukasi dan sosialisasi simbol keagamaan untuk menanamkan sikap moderat menghadirkan perwakilan sebelas Sekolah Menengah Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (Sabtu, 9 November 2024), merupakan bentuk aktualisasi memahami nilai keberagaman agar tidak menimbulkan gap berupa prasangka yang akhirnya memicu disharmoni atau disintegrasi bangsa.
Mengetahui simbol agama lain menjadi penting bukan saja karena dapat memberikan pengetahuan tentang makna peribadatan yang harus dihormati, tetapi juga memunculkan sikap menghargai dalam pergaulan sehari-hari. Geertz menyatakan, bahwa agama sebagai sebuah sistem budaya, tidak bisa hilang dari keberadaan simbol-simbol keagamaan. Melalui simbol-simbol keagamaan, umat beragama memaknai dan mengekspresikan keagamaannya dengan menjunjung tinggi perbedaan.