Menikmati (tanpa) Memiliki

Publish

19 June 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
926
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menikmati (tanpa) Memiliki

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM, Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ibu mertua (88 tahun) saya sangat menyukai suara kicauan burung yang alami. Kesukaan itu belum bisa terpenuhi. Ia terpendam selama puluhan tahun, karena baik Alm. suami maupun anak perempuannya tidak sanggup untuk memelihara burung hingga bisa berkicau. Butuh ketekunan dan kesabaran luar biasa untuk bisa menjadi seorang pemelihara burung. 

Ketika menempati rumah di bilangan Ciputat, angan-angan Ibu saya terpenuhi. Om Anang, tetangga baik yang rumahnya tepat di sebelah ternyata gemar sekali memelihara berbagai burung dengan ragam kicauan yang indah. Rasanya damai sekali, persis seperti suasana di kampung halaman dahulu. Tidak hanya suara burung, ada kokok ayam yang biasa bersuara merdu sejak subuh, nikmat sekali.

Ibu sangat mensyukuri hidupnya karena mendapati sumber kebahagiaan yang tersaji secara cuma-cuma. Suara kicauan burung yang indah itu selalu hadir di dekat kamarnya. Ia bisa menikmati tanpa ada usaha apapun untuk merawat prosesnya. Modal kebahagiaan hidup itu telah ada di hadapannya tanpa ada resiko apapun. Baginnya ”nikmat apa lagi yang hendak saya dustakan?”.

Mengurangi Beban

Dalam hal cara menikmati hidup, saya memperoleh cerita berbeda dari kawan yang memilih cara berbeda dengan umumnya orang.  AR dan dan istri, adalah lulusan salah satu kampus di Amerika. Ia menyabet gelar MBA setelah menyelesaikan studi di bidang planologi di ITB. Sebagai lulusan kampus luar negeri, pasangan ini bisa bekerja di perusahaan bonafide. Mereka hidup cara simple dengan satu orang anak yang sedang kuliah di Bandung.

Ketika ngobrol secara pribadi, saya agak kaget dengan prinsip hidup yang mereka terapkan. Pasangan ini memilih untuk tidak memiliki mobil, sepeda motor, bahkan rumah pribadi yang besar selaras dengan penghasilannya. Apartemen sederhana dengan dua kamar tidur adalah pilihan tempat tinggalnya. Pasangan ini juga sepakat, ketika hendak membeli baju, kaos, celana atau sepatu baru, maka harus ada barang lama yang dikurangi untuk dihibahkan kepada orang lain. Hal itu dilakukan agar kapasitas lemari bisa tetap proporsional.

Bagi saya, orang kampung yang bermukim secara kontrak selama puluhan tahun di pinggiran Jakarta, memiliki motor, mobil dan rumah pribadi adalah impian. Tapi, itu tidak berlaku bagi pasangan unik ini. Bagi mereka, memiliki rumah besar, mobil dan motor, apalagi dalam jumlah banyak, adalah beban yang memberatkan. Saya tidak sanggup menyanggah ketika pasangan membeberkan argumen dan hitung-hitungan secara rinci.

”Buat apa punya mobil dan motor pribadi?” Pertanyaan yang selalu dijawab sendiri dengan argumen valid. 

Pasangan ini bisa membuktikan bahwa di lingkungan tempat tinggalnya, banyak sekali kendaraan umum bagus, berpendingin udara yang hilir mudik dan mudah diakses. Jika ingin lebih nyaman dengan jaminan tempat duduk, ada kendaraan yang bisa dipesan secara online. Ia bisa digunakan kapan dan kemana saja tanpa hambatan. Jenis kendaraan, standar, merk, layanan ekstra pun bisa dipilih. Tidak ada kesulitan sama sekali.  

Bagi pasangan ini, hidup itu ibarat berjalan menuju sebuah pulau impian. Langkah para pejalan akan terasa lebih ringan ketika beban fisik yang melekat di pundak bisa dikurangi. Secara batiniah, beban yang melekat pada hati dan pikiran, juga harus bisa dilepaskan secara perlahan. Beban itu bisa berbentuk kehendak berlebih yang tumbuh secara liar. Jika tidak dikendalikan dan terus terbiarkan, maka ia akan sulit terbedakan dengan keserakahan. 

”Jika manusia ingin tetap lincah bergerak, terjauhkan dari rasa takut akan kehilangan hal-hal semu yang melingkupi batin dan pikirannya, maka semua kemelekatan dalam bentuk penguasaan terhadap; harta, benda, pangkat, jabatan, kehormatan itu harus bisa dilepaskan satu per satu”.  Demikian pesan AR dalam obrolannya. 

Memupus Keserakahan

Saya mengakui kebenaran prinsip dan laku yang telah dipraktikkan ibu mertua dan kawan AR-istri. Mereka sudah bisa menikmati anugerah sekaligus mensyukuri. Melepaskan kemelekatan untuk menekan tumbuh suburnya hasrat keserakahan. Jujur, saya belum mampu menirunya. Saya baru sampai pada level bisa menikmati tetapi sering lupa mensyukuri.

Pada ruang yang lebih sempit, saya masih terseret pada jebakan keserakahan. Belum mampu menaklukkan tumbuh suburnya hasrat hingga mampu merasa cukup. Saya masih terus gelisah jika belum bisa memiliki dan menguasai. Itulah keserakahan sejati.

Saya berusaha melatih nalar waras agar bisa berpegang pada prinsip ”kembali pada fungsi sejati”. Misalnya, fungsi utama jam tangan adalah sebagai alat penanda waktu. Faktanya, saya masih merasa malu, gengsi saat menggunakan jam tangan yang dipersepsi murah dan tidak bermerek. Padahal secara prinsip, fungsinya tidak pernah bergeser, yaitu sebagai penanda waktu. Begitupun dalam hal kepemilikan materi dan kebendaan lain. Rasanya selalu merasa tidak cukup hanya dengan satu jenis.

Berbahagialah mereka yang sudah mampu menikmati setiap anugerah dan mensyukurinya, tanpa harus ada hasrat untuk memilikinya. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Al-Qur`an diturunkan secara ber....

Suara Muhammadiyah

12 April 2024

Wawasan

Oleh: Bobi Hidayat Beranjak dari kota jogiakarta yang terkenal dengan kota Pendidikan, sempat singg....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Wawasan

Membaca Realitas: Posisi Pemuda sebagai Pelopor Perubahan Oleh: Agusliadi Massere Dalam catatan se....

Suara Muhammadiyah

25 October 2023

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah: Bergerak Nyata, Berkontribusi untuk Indonesia dan Dunia Oleh: Asyraf Al Far....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Wawasan

Tapak Tilas Penerjemahan Al-Qur`an dalam Bahasa Inggris (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilm....

Suara Muhammadiyah

5 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah