Meluruskan Makna Kehormatan: Kontras Ajaran Islam dan Praktik 'Honor Killing'

Publish

12 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
44
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Meluruskan Makna Kehormatan: Kontras Ajaran Islam dan Praktik Honor Killing

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pembunuhan demi kehormatan (honor killing) adalah sebuah tradisi kontroversial yang terus memicu perdebatan di seluruh dunia. Didefinisikan sebagai "tindakan membunuh individu atau kelompok yang dianggap melanggar norma sosial atau kehormatan komunitas," praktik ini bukanlah fenomena baru. Bahkan, akar-akarnya bisa ditelusuri dalam karya sastra klasik, seperti drama Shakespeare.

Ambil contoh Julius Caesar dan Othello. Senat membunuh Caesar untuk "menghormati" Republik, sementara Othello membunuh istrinya, Desdemona, yang dituduh tidak setia, demi "memulihkan" kehormatannya yang hancur. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa konsep kehormatan—khususnya yang terkait erat dengan seksualitas wanita—telah lama menjadi motif utama dalam tindakan kekerasan. Karya seni sering kali menjadi cermin dari masyarakatnya, dan cermin ini memperlihatkan bagaimana di banyak komunitas, kehormatan seorang pria atau keluarga seolah-olah sepenuhnya bergantung pada kesucian wanita.

Namun, apakah hubungan ini benar-benar universal? Bagaimana pandangan Islam terhadap isu ini? Ajaran Islam menawarkan perspektif yang sangat berbeda dan tidak mendukung praktik ini. Dalam Islam, kehormatan seorang pria atau keluarga tidak lantas hancur hanya karena tuduhan ketidaksetiaan. Dalam Surah An-Nur (24), Al-Quran menjelaskan prosedur yang harus dilakukan jika seorang suami menuduh istrinya berzina. Tanpa saksi, suami harus bersumpah lima kali bahwa tuduhannya benar, dan sang istri juga berhak bersumpah lima kali untuk menyangkal tuduhan tersebut.

Dalam situasi seperti ini, solusinya bukanlah kekerasan, melainkan perpisahan. Hakim akan memisahkan mereka berdua karena hubungan mereka sudah tidak bisa lagi dipertahankan di tengah tuduhan yang menggantung. Kisah ini dengan jelas menegaskan bahwa Islam tidak mengaitkan kehormatan seseorang dengan hukuman mati. Sebaliknya, Islam berfokus pada keadilan prosedural dan mencari solusi damai, bukan pada balas dendam berdarah yang didasari oleh konsep kehormatan yang rapuh.

Tidak ada yang saya ketahui dalam Al-Quran yang akan menunjukkan bahwa kesucian seseorang entah bagaimana kembali menjadi cerminan dari keluarganya. Di sisi lain, kita bisa merujuk pada kitab suci lain yang membuat hubungan semacam ini. Dan, saya pikir itu adalah pendekatan yang masuk akal untuk memahami Islam, yaitu dengan bertanya mengapa pernyataan seperti itu tidak ada dalam Al-Quran. Banyak orang telah memperhatikan bahwa ada kemiripan besar antara Al-Quran dan kitab suci lainnya, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa Al-Quran disalin dari kitab suci sebelumnya. 

Bayangkan skenarionya: misalkan Nabi Muhammad SAW sebenarnya menyalin kitab suci lain, maka jelas dia harus membuat pilihan tentang apa yang tidak akan dia salin. Jadi, jika ada sesuatu yang ditemukan dalam kitab suci sebelumnya tetapi tidak ada dalam Al-Quran, itu berarti sengaja dihilangkan. Dan itu sendiri menunjukkan konsepsi tentang apa yang akan menjadi Islam. Itu berarti jika Nabi Muhammad SAW menulis Al-Quran, maka dia ingin memastikan bahwa apa yang dia tulis memberikan citra atau persepsi tertentu. Itu membentuk dan mendefinisikan agama yang tidak akan mencakup hal yang berbeda dari kitab suci sebelumnya. 

Jadi, dia memberikan penekanan dan dorongan tertentu di sini. Tentu saja, bagi Muslim, Al-Quran tidak ditulis oleh Nabi Muhammad SAW, itu diwahyukan kepadanya oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Namun, prinsip serupa berlaku di sini: jika ada sesuatu yang disebutkan dalam kitab suci sebelumnya yang tidak ada dalam Al-Quran, itu berarti Tuhan sengaja tidak memasukkan hal-hal itu. Dan sekarang kita tahu bahwa Dia tidak memasukkan hal-hal itu, padahal itu bisa saja dimasukkan karena ini adalah jenis hal yang telah dikatakan dalam kitab suci sebelumnya, tetapi tidak ada di sini.

Untuk memahami posisi unik Islam, kita perlu melihat ajaran yang ada dalam kitab suci sebelumnya. Di sana, kehormatan seorang pria sering kali secara eksplisit terikat pada kesucian wanita dalam keluarganya. Konsep ini memunculkan hukuman yang kejam, yang secara tegas ditolak oleh Islam.

Ambil contoh dari kitab Imamat 21:9. Di sana, disebutkan bahwa jika putri seorang imam melakukan pelacuran, ia harus dibakar sampai mati. Hukuman brutal ini bukan hanya karena perbuatan itu sendiri, tetapi karena tindakannya dianggap membawa aib besar bagi ayahnya. Terminologi ini sangat penting: perbuatannya secara langsung mencemari nama baik ayahnya, sang imam.

Hal serupa juga ditemukan dalam Ulangan 22:13. Di sana, digambarkan sebuah prosedur kuno di mana seorang pria yang menuduh istrinya tidak perawan harus membuktikan tuduhannya. Jika bukti — konon berupa seprai dari malam pertama — tidak dapat ditemukan, hukuman yang dijatuhkan sangat mengerikan: wanita itu dibawa ke pintu rumah ayahnya untuk dirajam sampai mati. Tindakan ini tidak sekadar hukuman bagi individu; itu adalah penghinaan publik terhadap seluruh keluarga. Hukuman ini menyiratkan bahwa ayah dianggap gagal dalam mengawasi putrinya, sehingga kejahatan tersebut tidak lagi hanya melawan negara, tetapi juga melawan kehormatan keluarga.

Kontras dengan ajaran ini begitu mencolok karena Al-Quran tidak memuat satu pun aturan serupa. Al-Quran memiliki banyak kesempatan untuk memasukkan preskripsi ini, tetapi dengan sengaja tidak melakukannya. Pengabaian yang disengaja ini menjadi bukti kuat bahwa Islam memposisikan dirinya sebagai kumpulan ajaran yang sangat berbeda—sebuah ajaran yang tidak menautkan nilai seseorang pada keperawanan, atau kehormatan pria pada kesucian wanita. Melalui perbandingan yang tajam inilah, kita dapat melihat bahwa Islam menawarkan perspektif yang jauh lebih humanis dan adil.

Fenomena ini sangat menarik. Tampaknya, banyak praktik yang dianggap Islami—termasuk di dalamnya honor killing—sebenarnya berasal dari budaya lokal, bukan dari ajaran Al-Quran. Para sejarawan agama menunjukkan bahwa ketika suatu kitab suci melarang sesuatu, itu karena praktik tersebut sudah umum di masyarakat. Jarang sekali sebuah larangan muncul untuk sesuatu yang tidak pernah terpikirkan. Justru, larangan itu hadir untuk mengomentari dan melawan praktik yang sudah ada.

Al-Quran mengambil pendekatan yang berbeda. Dengan sengaja tidak memasukkan aturan atau hukuman yang terkait dengan honor killing—seperti yang ada dalam kitab-kitab suci sebelumnya—Al-Quran menunjukkan bahwa praktik ini sama sekali tidak sesuai dengan semangat ajarannya. Ini mengarah pada sebuah kesimpulan penting: honor killing adalah praktik yang sudah lazim di Mediterania dan wilayah lain, dan ketika Muslim bermigrasi ke sana, mereka bisa jadi mengadopsi praktik-praktik ini.

Masalahnya muncul ketika orang menyamakan praktik budaya mereka dengan ajaran agama. Mereka mungkin berpikir, "Kami Muslim, kami melakukan ini, jadi ini adalah Islam." Padahal, logika ini keliru. Tindakan seorang Muslim bisa jadi bertentangan dengan ajaran Islam. Kita harus menilai ajaran Islam berdasarkan sumbernya, bukan berdasarkan tindakan pengikutnya.

Kesimpulan ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar: apa yang bisa kita lakukan? Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah mencatat bahwa KUHP di banyak negara, seperti Argentina, Mesir, Iran, dan Palestina, masih mengizinkan honor killing. Ini adalah fakta yang tidak bisa kita terima.

Sebagai warga global, kita memiliki tanggung jawab untuk bertindak. Kita harus menggunakan semua perangkat hukum dan politik yang kita miliki untuk memastikan bahwa praktik-praktik keji ini dihapus dari muka bumi. Perjuangan ini tidak hanya tentang agama, tapi juga tentang hak asasi manusia. Kita perlu mendekati masalah ini dari dua sisi: menjelaskan bahwa honor killing bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya, dan pada saat yang sama, menggunakan tekanan hukum dan politik untuk menuntut perubahan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Sejak kemarin hingga hari ini, Rabu, 29 Mei 2024, hashtags All Eyes....

Suara Muhammadiyah

29 May 2024

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi   Dalam pergulatan eksistensial manusia di tengah dinamika kehidupan moder....

Suara Muhammadiyah

13 June 2025

Wawasan

Oleh Muhammad Abadi Kader Muda Muhammadiyah Asal Kota Banyuwangi, Menetap di Kauman, Bojonegoro, Ja....

Suara Muhammadiyah

14 September 2024

Wawasan

Oleh: Nur Ngazizah, Koord Divisi Tabligh Digital dan Komunitas MTK PWA Jateng, Dosen UM Purworejo I....

Suara Muhammadiyah

3 June 2025

Wawasan

Pengajian Selapanan Wanayasa Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua LP-UMKM PWM Jateng Seribuan lebih jamaa....

Suara Muhammadiyah

28 April 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah