Manusia dan Algoritma: Krisis Nalar di Era Digital

Publish

14 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
42
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Manusia dan Algoritma: Krisis Nalar di Era Digital

Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta 

Zaman digital menghadirkan peradaban baru yaitu peradaban data, di mana eksistensi manusia tidak lagi hanya ditentukan oleh jasad dan pikiran, melainkan oleh jejak digital yang senantiasa direkam, dipetakan, dan dianalisis. 

Dunia maya telah menjadi ruang sosial kedua, bahkan bagi sebagian orang, menjadi ruang eksistensial yang utama. Di sana, algoritma bekerja sebagai penentu arah dan penafsir realitas. Ia memilihkan apa yang kita lihat, pikirkan, dan percayai, seolah menggantikan peran akal yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Kita merasa merdeka, padahal kebebasan kita telah direkayasa. Kita merasa berpikir, padahal yang bekerja hanyalah gema dari apa yang sistem ingin kita percayai. Kebebasan yang dulu dimaknai sebagai kemampuan untuk berpikir dan memilih kini direduksi menjadi kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan selera algoritma. Di sinilah letak ironi manusia modern: ia hidup dalam kelimpahan informasi, tetapi miskin perenungan; ia merasa otonom, tetapi sejatinya terarah.

Dalam pusaran semacam ini, manusia perlahan kehilangan jati dirinya. Ia menata citra, bukan ketulusan. Ia lebih peduli pada bagaimana tampak di layar ketimbang bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Dunia digital mengajarkan bahwa eksistensi diukur dari seberapa sering dilihat, disukai, dan dibagikan, padahal dalam pandangan Ilahi, nilai manusia terletak pada ketulusan niat dan kedalaman amal. Allah SWT berfirman:

“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (Q.S. Ghafir [40]: 19)

Ayat ini mengingatkan bahwa pandangan manusia bisa tertipu oleh ilusi, namun Allah mengetahui kedalaman niat di balik segala tampilan. Dunia digital memuja yang tampak, sedangkan Allah menilai yang tersembunyi.

Perhatian sebagai Komoditas, Nalar sebagai Korban

Dalam peradaban algoritmik, perhatian manusia menjadi komoditas. Kapitalisme bentuk baru tidak lagi menambang emas atau minyak, melainkan menambang data dan emosi. Setiap detik pandangan, setiap gerak jari di layar adalah bentuk transaksi yang menghasilkan nilai ekonomi bagi segelintir penguasa teknologi. Manusia bukan lagi konsumen, melainkan produk yang diperjualbelikan dalam pasar data global.

Semakin banyak perhatian yang kita berikan, semakin dalam kita terjerat. Setiap “like”, setiap “scroll” memperkuat cengkeraman sistem terhadap kesadaran kita. Dan semakin kita merasa terhubung, sesungguhnya semakin jauh kita dari diri sendiri. Kita membaca lebih banyak, tetapi memahami lebih sedikit. Kita berbicara lebih sering, tetapi mendengarkan semakin jarang. Kita terpapar kebenaran, namun kehilangan kebijaksanaan.

Inilah paradoks modernitas digital: informasi yang berlimpah melahirkan kebingungan, bukan pencerahan. Manusia tergoda untuk segera menilai sebelum sempat memahami. Dalam dunia seperti ini, kebenaran tidak lagi diukur dari substansi, melainkan dari popularitas. Siapa yang paling sering muncul di layar, dialah yang dianggap benar.

Padahal, dalam pandangan Al-Qur’an, kebenaran tidak diukur oleh banyaknya suara, tetapi oleh kelurusan nurani. Allah berfirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Q.S. Al-An‘am [6]: 116)

Ayat ini seolah menjadi kritik langsung terhadap budaya digital yang menuhankan angka, statistik, dan viralitas. Kuantitas menggantikan kualitas, dan kebijaksanaan dikalahkan oleh kecepatan.

Tafakur di Tengah Bising Algoritma

Namun, di tengah derasnya arus informasi yang menenggelamkan makna, masih ada ruang bagi keberanian yang tenang, keberanian untuk berpikir sendiri. Dalam tradisi Islam, berpikir (tafakkur) bukan sekadar aktivitas akal, melainkan ibadah yang meneguhkan kesadaran. Ia adalah zikir akal yang melengkapi zikir hati.

Berpikir sendiri berarti menolak menjadi sekadar pantulan dari sistem. Ia menuntut keberanian untuk mengambil jarak dari arus yang menjerat, dan menimbang setiap informasi dengan hikmah. Sebab, berpikir yang sejati bukanlah mencari pembenaran, tetapi pencarian akan kebenaran. Dan kebenaran sejati tidak lahir dari algoritma, tetapi dari hati yang tercerahkan.

Teknologi adalah alat; ia bisa menjadi anugerah jika dikuasai dengan hikmah, tetapi menjadi bencana bila dibiarkan menguasai manusia. Dalam pandangan Qur’ani, ilmu dan teknologi seharusnya mengantarkan manusia kepada pengenalan yang lebih dalam terhadap Sang Pencipta, bukan menjauhkan dirinya dari hakikat kemanusiaan. Maka, tugas kita bukan menolak kemajuan, tetapi menanamkan nilai agar kemajuan itu tetap berpihak pada kemaslahatan.

Kita memang tidak dapat keluar dari dunia digital, tetapi kita dapat menentukan bagaimana hidup di dalamnya. Kita bisa menjadikan teknologi sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan pencerahan, bukan sekadar arena pencitraan. Kita bisa menggunakan media sosial untuk menyebarkan hikmah, bukan hoaks; untuk membangun empati, bukan permusuhan.

Untuk itu diperlukan mujahadah nalar, perjuangan akal dan batin agar tetap jernih di tengah arus yang membingungkan. Melambat menjadi bentuk perlawanan; diam menjadi ruang penyembuhan. Sebab dalam keheningan, akal menemukan kejernihannya, dan hati mendapatkan ketenangannya. Allah SwT berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka.’” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 191)

Ayat ini menggambarkan harmoni antara zikir dan pikir, antara spiritualitas dan intelektualitas, dua pilar yang menjaga manusia agar tetap utuh di tengah dunia yang serba pecah.

Pada akhirnya, dunia digital adalah cermin bagi diri manusia. Ia memperbesar apa yang kita cintai, memperjelas apa yang kita benci, dan mempercepat apa yang kita pikirkan. Bila dunia digital tampak penuh kebohongan, kebisingan, dan kebencian, mungkin karena hati manusia sendiri masih gelap, bising, dan penuh dendam.

Refleksi ini bukan ajakan untuk meninggalkan teknologi, melainkan seruan untuk memanusiakan kembali penggunaannya. Agar akal tetap menjadi cahaya, bukan alat gelapnya hawa nafsu. Agar hati tetap menjadi kompas, bukan sekadar reaksi emosional yang dimanipulasi algoritma.

Di zaman ketika segalanya bergerak terlalu cepat, keberanian tertinggi adalah berhenti sejenak merenung, menimbang, dan bertanya kembali: siapa yang sebenarnya memegang kendali atas hidup ini, kita, atau mesin?

Dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma, berpikir jernih adalah bentuk dzikir intelektual. Ia bukan sekadar kerja akal, tetapi ibadah ruhani, upaya manusia untuk tetap hadir, sadar, dan merdeka di tengah riuhnya dunia yang kian kehilangan hening. Dan barangkali di situlah letak kemuliaan terakhir manusia: ketika ia tetap berpikir dengan cahaya iman di tengah kegelapan informasi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Membangun Ekonomi Muhammadiyah  Oleh: Saidun Derani Tulisan penulis tentang “Memegang d....

Suara Muhammadiyah

13 May 2024

Wawasan

Relevansi Pendidikan Karakter di Pesantren dalam Menjawab Tantangan Zaman Eko Priyo Agus Nugroho, S....

Suara Muhammadiyah

9 January 2025

Wawasan

Sunat Perempuan: Tradisi yang Harus Ditinggalkan Oleh Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I., M.S.I. Sunat ....

Suara Muhammadiyah

1 September 2024

Wawasan

Oleh: Cristoffer Veron Purnomo, Reporter Suara Muhammadiyah Betapa cepatnya kilatan waktu berlalu, ....

Suara Muhammadiyah

31 December 2023

Wawasan

Gelar Haji Oleh: Isngadi Marwah Atmadja Sabtu, 1 Juni 2024 yang lalu penulis menghadiri Pembukaan ....

Suara Muhammadiyah

9 July 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah