Manifestasi Tanpa Syariat: Ilusi Spiritual di Era Digital

Publish

2 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
40
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Manifestasi Tanpa Syariat: Ilusi Spiritual di Era Digital

Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)

Di era digital yang serba cepat, spiritualitas pun ikut dipasarkan. Salah satu narasi yang paling viral adalah “manifestasi”—keyakinan bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan akan “ditarik” oleh semesta menjadi kenyataan. Barang, jodoh, uang, bahkan ketenangan batin, diklaim bisa datang hanya dengan vibrasi cinta dan afirmasi positif. Narasi ini terdengar indah, menyentuh sisi terdalam manusia yang mendambakan harapan. Tapi dalam perspektif Islam, kita perlu bertanya: apakah ini jalan yang benar, atau sekadar ilusi yang dibungkus spiritualitas?

Islam tidak menolak harapan. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk berdoa, berharap, dan bertawakkal. Namun, Islam juga menegaskan bahwa jalan menuju harapan harus melalui syariat, bukan sekadar afirmasi batin. Dalam QS Al-Baqarah: 186, Allah berfirman: “Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku.” Tapi ayat ini tidak berhenti di situ. Ia dilanjutkan dengan syarat: “Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku.” Artinya, harapan dalam Islam bukan sekadar vibrasi, tapi komitmen terhadap jalan yang ditetapkan-Nya.

Narasi manifestasi seperti LoA (Law of Attraction), Mestakung (Semesta Mendukung), dan Abundance Revolution sering kali mengaburkan peran Allah sebagai Rabb. Semesta dijadikan aktor spiritual, seolah-olah ia punya kehendak dan mekanisme sendiri. Padahal dalam Islam, semesta adalah ciptaan, bukan pengatur. Mengganti Allah dengan “semesta” bukan hanya keliru secara akidah, tapi juga membuka pintu kesesatan yang halus.

Lebih jauh, teknik manifestasi sering kali mengabaikan ikhtiar nyata. Seseorang diajarkan untuk “menarik barang” dengan afirmasi, bukan bekerja. Bahkan ada yang diajarkan untuk “melompat ke versi diri yang lebih kaya” tanpa proses. Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang menempatkan kerja keras sebagai bagian dari ibadah. Dalam QS An-Najm: 39, Allah menegaskan: “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Islam tidak menjanjikan hasil tanpa usaha. Justru usaha itulah yang menjadi bukti keimanan dan ketundukan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah komersialisasi spiritualitas. Banyak kelas manifestasi dijual dengan harga jutaan rupiah, menjanjikan kelimpahan, jodoh, bahkan kesembuhan sebagai hasil dari “vibrasi cinta”. Padahal dalam Islam, ilmu bukan untuk diperjualbelikan demi keuntungan pribadi, apalagi jika isinya tidak bisa diverifikasi. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari-Muslim). Jika berdusta atas nama Nabi saja berat hukumannya, bagaimana dengan berdusta atas nama semesta?

Islam mengenal konsep hakekat dan syariat. Tapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Hakekat tanpa syariat adalah ilusi. Syariat tanpa hakekat adalah kering. Narasi manifestasi palsu sering kali menjanjikan hakekat—kelimpahan, ketenangan, cinta murni—tanpa syariat. Tanpa shalat, tanpa zakat, tanpa adab. Ini bukan spiritualitas, tapi romantisasi batin yang menjauhkan manusia dari jalan lurus.

Fenomena ini mirip dengan praktik-praktik spiritual baru yang tumbuh subur di media sosial. Orang mencari jalan pintas menuju kebahagiaan tanpa mau menjalani disiplin agama. Padahal dalam Islam, jalan menuju kebahagiaan adalah proses panjang yang mencakup doa, ibadah, amal shalih, dan kerja keras. Dengan kata lain, Islam tidak menawarkan keajaiban instan, tapi menekankan perjuangan yang konsisten.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan individu yang mencari harapan, melainkan untuk membongkar sistem yang memanfaatkan kerinduan manusia akan kepastian. Spiritualitas yang dijual tanpa akidah, tanpa syariat, dan tanpa tanggung jawab adalah bentuk penyesatan yang halus. Kita tidak sedang melawan harapan, tapi sedang melawan ilusi yang dijual sebagai jalan pulang.

Muhammadiyah sejak awal berdiri telah menegaskan pentingnya tauhid, akal sehat, dan amal nyata. Spiritualitas harus berpijak pada iman, ilmu, dan amal, bukan pada jargon kosong atau afirmasi yang lepas dari realitas. Maka sudah sepatutnya kita membangun daya tahan umat terhadap narasi spiritual yang menyentuh tapi menyesatkan.

Manifestasi tanpa syariat bukanlah bukti kekuatan batin, melainkan bukti bahwa manusia bisa diyakinkan untuk percaya pada sesuatu yang tak pernah sampai. Islam menawarkan lebih dari sekadar afirmasi: ia menawarkan doa, amal, ikhtiar, dan janji Allah yang pasti. Dan janji Allah selalu benar, tidak seperti janji semesta yang hanya gema dalam ruang kosong.

Tulisan ini bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali kepada prinsip tauhid, syariat, dan spiritualitas yang jujur. Kritik terhadap narasi manifestasi disampaikan dalam semangat edukasi, bukan permusuhan. Penulis tidak menyebut nama pribadi atau kelompok tertentu, dan hanya membedah sistem narasi yang berpotensi menyesatkan akidah. Semoga tulisan ini menjadi bagian dari dakwah yang santun dan mencerahkan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

SARASEHAN PEMIKIR: Memikirkan Pemikiran Pendidikan Muhammadiyah  Ringroad Barat-Jogja, Kamis, ....

Suara Muhammadiyah

20 January 2024

Wawasan

Oleh: Drh. H. Baskoro Tri Caroko Bekerja adalah suatu keadaan yang diinginkan oleh semua orang. Kar....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Religius dan (Tidak) Abai Lingkungan: Membaca Temuan Survei REACT PPIM UIN Jakarta Oleh: Ahsan Jame....

Suara Muhammadiyah

12 August 2025

Wawasan

Ketika Punakawan Harus Ikut Cacut Tali Wanda Oleh: Rumini Zulfikar Dalam pewayangan, kita mengenal....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Wawasan

Perbedaan Musibah dan Kesulitan dalam Membentuk Psikologi Manusia Oleh: Bayu Madya Chandra, SEI, pe....

Suara Muhammadiyah

14 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah