Perbedaan Musibah dan Kesulitan dalam Membentuk Psikologi Manusia
Oleh: Bayu Madya Chandra, SEI, pengajar ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut
Dalam perjalanan hidup, setiap individu pasti akan menghadapi tantangan. Tantangan tersebut dapat datang dalam bentuk musibah atau kesulitan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musibah diartikan sebagai "kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa," sementara kesulitan adalah "keadaan yang sulit" atau "sesuatu yang sulit." Meski sama-sama menghadirkan kondisi yang tidak menyenangkan, perbedaan fundamental antara keduanya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cara kita membentuk respons psikologis. Memahami perbedaan ini menjadi kunci untuk membangun ketahanan mental yang tepat, baik saat diuji oleh takdir maupun ketika berjuang menghadapi rintangan.
Musibah adalah peristiwa tak terduga yang datang tanpa persiapan dan sering kali berada di luar kendali manusia, seperti bencana alam, kecelakaan, atau kehilangan yang mendadak. Sifatnya yang memaksa memicu respons psikologis yang intens, mulai dari syok, trauma, hingga rasa tidak berdaya. Dalam psikologi klinis, peristiwa traumatis semacam ini dikenal sebagai pemicu utama Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), yang ditandai dengan gejala flashback, penghindaran, dan kecemasan berlebih (Johnson, 2020).
Namun, dari perspektif Islam, musibah (مُصِيبَة) memiliki makna yang lebih dalam. Musibah bukanlah sekadar hukuman, melainkan ketetapan Allah Swt. yang menimpa manusia. Bagi seorang mukmin, musibah adalah ujian untuk meningkatkan keimanan, membersihkan dosa, dan mengangkat derajat di sisi Allah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 155, yang artinya, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan." Ayat ini menunjukkan bahwa musibah menuntut sikap sabar (sabr) dan ridha (ridha)—sebuah penerimaan pasif terhadap takdir Ilahi. Keberhasilan dalam menghadapi musibah sering kali mendorong kepada Post-Traumatic Growth (PTG), di mana individu mengalami pertumbuhan psikologis positif, seperti yang diungkapkan oleh Tedeschi dan Calhoun (1996), dengan dukungan keyakinan agama yang kuat (Chen & Wang, 2022).
Namun, musibah juga menjadi katalis bagi perkembangan positif, yang dikenal sebagai Post-Traumatic Growth (PTG). Konsep ini, yang diperkenalkan oleh Tedeschi dan Calhoun (1996), menjelaskan bahwa individu dapat mengalami perubahan positif setelah berjuang menghadapi trauma yang parah. Riset terbaru menunjukkan bahwa dukungan sosial yang kuat dan kemampuan untuk menemukan makna baru dalam peristiwa tersebut adalah faktor kunci yang memfasilitasi PTG (Chen & Wang, 2022). Dengan kata lain, musibah menguji kapasitas seseorang untuk menerima realitas yang tak terhindarkan, beradaptasi secara pasif, dan menemukan cara untuk bangkit kembali—bukan dengan mengendalikan peristiwa, melainkan dengan membentuk ulang diri setelah peristiwa itu terjadi.
Sebaliknya, kesulitan adalah tantangan yang sering kali dapat diprediksi dan dikendalikan, seperti masalah keuangan, hambatan karier, atau tantangan akademis. Kesulitan tidak datang sebagai takdir yang harus diterima, melainkan sebagai rintangan yang menuntut tindakan dan solusi.
Dalam pandangan Islam, kesulitan ini dapat dikaitkan dengan konsep ujian (بلاَء atau اِبْتِلَاء) yang datang baik dalam bentuk kebaikan maupun keburukan. Allah menguji hamba-Nya untuk melihat bagaimana mereka bersyukur (syukur) dalam kelapangan dan bersabar dalam kesempitan. Kesulitan menuntut respons psikologis berupa adaptasi aktif, di mana individu mengerahkan sumber daya kognitif dan emosional untuk memecahkan masalah. Teori coping stress dari Lazarus dan Folkman (1984) membedakan strategi problem-focused coping (menyelesaikan masalah secara langsung) dan emotion-focused coping (mengelola emosi), yang sangat relevan dalam menghadapi kesulitan. Keberhasilan dalam proses ini secara signifikan meningkatkan self-efficacy, yaitu keyakinan pada kemampuan diri sendiri (Bandura, 1997). Setiap kesulitan yang berhasil diatasi menjadi "tangga" yang membuat seseorang lebih kuat, gigih, dan optimis, dengan keyakinan kuat bahwa setiap masalah dapat diatasi dengan usaha dan pertolongan Allah.
Respons psikologis terhadap kesulitan berfokus pada adaptasi aktif. Individu mengerahkan sumber daya kognitif dan emosional untuk memecahkan masalah. Teori coping stres dari Lazarus dan Folkman (1984) membedakan antara strategi problem-focused coping (menyelesaikan masalah secara langsung) dan emotion-focused coping (mengelola emosi terkait masalah), yang keduanya berperan penting dalam menghadapi kesulitan. Keberhasilan dalam proses ini secara signifikan meningkatkan self-efficacy, yaitu keyakinan pada kemampuan diri sendiri (Bandura, 1997). Setiap kesulitan yang berhasil diatasi menjadi "tangga" yang membuat seseorang lebih kuat, lebih strategis, dan lebih siap untuk tantangan berikutnya. Ini adalah proses di mana seseorang tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan mengasah keterampilan hidupnya.
Secara ringkas, perbedaan mendasar antara musibah dan kesulitan memiliki dampak jangka panjang pada psikologi seseorang. Musibah mengajarkan kita tentang kerentanan hidup dan pentingnya penerimaan, sementara kesulitan mengajarkan kita tentang kekuatan perjuangan dan potensi pertumbuhan. Dari sudut pandang Islam, keduanya adalah bagian dari takdir Allah untuk menguji dan membentuk pribadi yang lebih baik. Musibah menguji kesabaran dan keimanan, sementara kesulitan menguji ikhtiar dan keyakinan. Keduanya adalah sisi mata uang yang sama dalam perjalanan hidup, mengajarkan kita pelajaran yang berbeda namun sama-sama berharga tentang siapa diri kita sebenarnya.