Ketika Moral Dikalahkan oleh Topeng : Framing, Rekayasa, dan Krisis Etika Publik

Publish

27 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
108
Istimewa

Istimewa

Ketika Moral Dikalahkan oleh Topeng : Framing, Rekayasa, dan Krisis Etika Publik

Penulis: Masykur Sarmian, Ketua Fokal IMM Kaltim, Ketua Majlis Tabligh PWM Kaltim 1995 - 2000

Ruang publik Indonesia hari-hari ini semakin riuh oleh penghakiman moral yang serba cepat, emosional, dan kerap tidak seimbang. Figur publik—siapa pun dia—menjadi medan tempat berbagai emosi sosial diluapkan: kekecewaan, kemarahan, bahkan standar kesalehan yang sering kali tidak utuh. Namun persoalan yang sesungguhnya tidak berhenti pada individu, melainkan pada cara kolektif kita memahami dan menilai moralitas. Kita hidup pada zaman ketika topeng lebih dipercaya daripada wajah asli, dan framing lebih menentukan daripada substansi.

Dalam lanskap seperti ini, moralitas tidak lagi diukur oleh prinsip, tetapi oleh persepsi. Yang menentukan bukan lagi apakah sesuatu itu adil dan bertanggung jawab, melainkan apakah ia terasa nyaman bagi selera mayoritas. Media sosial kemudian berfungsi sebagai ruang produksi makna, tempat citra dibangun, dipertahankan, dan dihancurkan. Siapa yang mampu menjaga tampilan moralnya sering kali lebih mudah dimaafkan, sementara kejujuran yang tidak sesuai ekspektasi publik justru menjadi sasaran kecaman.

Paradoks pun muncul dengan gamblang. Perilaku yang secara agama dan hukum jelas halal, namun menuntut komitmen, kejujuran, dan tanggung jawab, justru kerap diposisikan sebagai aib sosial. Sebaliknya, perilaku yang secara etika bermasalah—selama tersembunyi rapi atau dibungkus narasi privasi—sering kali dibiarkan berlalu tanpa koreksi berarti. Moralitas bergeser dari nilai ke rasa; dari kebenaran ke kenyamanan.

Di titik ini, framing publik menjadi kekuatan dominan. Tabayyun dikalahkan oleh viralitas, dan nalar dikalahkan oleh emosi kolektif. Penghakiman dilakukan bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk memuaskan rasa benar semu. Akibatnya, standar etika menjadi cair dan inkonsisten: keras kepada yang jujur, lunak kepada yang pandai bersembunyi.

Islam, sebagai sistem nilai, sesungguhnya hadir dengan pendekatan yang realistis terhadap manusia. Ia tidak menafikan fitrah, tetapi juga tidak membiarkannya liar. Islam tidak menuntut manusia menjadi malaikat, namun juga tidak mengizinkannya hidup tanpa batas. Jalan yang dibukakan agama selalu disertai syarat : kemampuan yang diikat oleh tanggung jawab, dan kebolehan yang dikawal oleh keadilan.

Sayangnya, jalan yang menuntut tanggung jawab inilah yang hari ini sering disalahpahami. Yang halal tetapi berat dipandang lebih buruk daripada yang keliru tetapi terasa ringan. Maka lahirlah ungkapan-ungkapan sosial yang terdengar sederhana, bahkan jenaka, seperti “lebih baik beli sate daripada bawa kambingnya pulang”. Ungkapan ini bukan sekadar guyonan domestik, melainkan metafora cara berpikir : ingin menikmati tanpa memikul beban, ingin rasa tanpa komitmen, ingin aman dari tuntutan moral.

Ungkapan semacam itu diterima luas, ---terutama oleh kaum bertopeng, bukan karena ia benar secara etika, melainkan karena ia menawarkan jalan pintas. Ia membebaskan individu dari konsekuensi, dari kejujuran, dan dari tanggung jawab jangka panjang. Di sinilah kita menyaksikan krisis etika publik : ketika penghindaran tanggung jawab dinormalisasi, dan komitmen justru dipandang sebagai beban sosial.

Padahal, jika kita menengok sejarah, persoalan relasi dan moralitas tidak bisa dilepaskan dari konteks peradaban. Tradisi kepemimpinan pra-Islam—baik di Timur maupun Barat—dipenuhi praktik poligami tak terbatas dan kepemilikan selir tanpa perlindungan hak. Perempuan diperlakukan sebagai simbol kekuasaan, bukan subjek bermartabat. Islam datang bukan untuk melanggengkan tradisi itu, melainkan mengoreksinya secara radikal. Pembatasan jumlah istri hingga empat, disertai syarat keadilan yang berat dan peringatan keras tentang ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya adil (bagi yang sejak awal sudah merasa tidak mampu), merupakan langkah korektif peradaban. Ia menggeser relasi dari dominasi menuju amanah, dari hasrat menuju tanggung jawab.

Karena itu, memahami ketentuan ini semata-mata sebagai persoalan nafsu adalah kekeliruan epistemik. Yang ditekankan Islam bukan kuantitas, melainkan keadilan, bukan pemuasan, melainkan pengelolaan amanah, bukan kebebasan tanpa batas, melainkan ketaatan pada koridor syariat. Jalan yang halal bukan jalan termudah, tetapi jalan yang paling bertanggung jawab.

Namun dalam budaya citra, yang berat sering dikorbankan demi yang terasa ringan. Agama direduksi menjadi simbol kesalehan, bukan sistem nilai. Akibatnya, ruang publik lebih sibuk mengatur tampilan moral daripada menegakkan keadilan substantif. Kita seolah bermoral, tetapi enggan menanggung konsekuensi moral itu sendiri.

Dari sudut pandang religius-filosofis, kegaduhan ini mencerminkan krisis tartib al-qiyam—kekacauan penataan nilai. Ketika persepsi mengalahkan prinsip dan framing menutup kebenaran, akal kehilangan bimbingan, sementara nafsu memperoleh legitimasi sosial. Al-Ghazali mengingatkan bahwa akal tanpa wahyu mudah terseret syubhat, dan wahyu tanpa akal yang jujur mudah direduksi menjadi simbol. Ibn Qayyim menegaskan bahwa keadilan adalah timbangan Allah di bumi : ke mana keadilan condong, di situlah ruh syariat bersemayam. Asy-Syaṭibi merumuskan bahwa tujuan syariat adalah menjaga kemaslahatan manusia—agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—bukan menuruti selera sesaat.

Maka moral tidak diukur oleh sorak mayoritas, melainkan oleh kesesuaiannya dengan hikmah, keadilan, dan kemaslahatan. Barangkali yang kita perlukan hari ini bukan standar baru, melainkan kembali menata batin dan nalar : menundukkan nafsu, memuliakan akal dengan wahyu, dan menempatkan syariat sebagai jalan tengah yang adil. Di sanalah iman berfungsi bukan sebagai topeng sosial, melainkan sebagai kompas hidup—yang membimbing, membatasi, dan pada akhirnya membebaskan manusia dari tirani citra dan hawa.

Semoga Allah membimbing dan menyadarkan kita dan kepada ---siapa pun yang bersalah untuk kembali kepada kesadaran Wahyu. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Meretas Makna Ramadhan di Tengah Disparitas Sosial Oleh: Muhammad Zaini, Mudir Pondok Pesantren Dar....

Suara Muhammadiyah

25 March 2025

Wawasan

Arus Bawah Persyarikatan: Menyambut Rakerwil IV PWM Banten Oleh : Saidun Derani Menjelang Rakerwil....

Suara Muhammadiyah

22 October 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Ketiga, tertutupnya pintu ijtihad. Perihal ini juga menyuguhkan andil bagi lahi....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Wawasan

Ngurus Muhammadiyah Jangan Asal-asalan Oleh: Iu Rusliana: Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah ....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Dua Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Kemerdekaan it....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024