Kerja Cerdas, Antara Makna Islami dan Ilusi Instan di Era Generasi Z

Publish

29 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
33
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Kerja Cerdas, Antara Makna Islami dan Ilusi Instan di Era Generasi Z

Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)

Fenomena istilah kerja cerdas belakangan sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Bagi sebagian anak muda, terutama generasi Z, kata ini terdengar keren, modern, dan sesuai dengan zaman serba cepat. Namun, istilah tersebut sering mengalami distorsi makna. Alih-alih dipahami sebagai strategi kerja berbasis pengalaman, ilmu, dan ketekunan, ia justru diartikan sebagai jalan pintas menuju hasil instan tanpa perlu bersusah payah. Inilah yang menjadikan kata tersebut bersifat toksik.

Rhenald Kasali menyebut kerja cerdas sebagai salah satu dari “sepuluh kata toksik” yang populer di masyarakat. Kata-kata yang awalnya positif, tetapi ketika salah dimaknai bisa berubah menjadi racun sosial. Anak muda kemudian memandang kerja cerdas sebagai cara untuk menghindari kerja keras, cukup mencari trik cepat, memanfaatkan algoritma media sosial, atau berharap viral di TikTok dan YouTube. Pola pikir instan ini diperkuat dengan ekosistem digital yang menormalisasi iming-iming “keuntungan cepat” seperti judi online, seolah-olah itu adalah bentuk kerja cerdas.

Kerja Keras sebagai Fondasi

Dalam pandangan Islam, kerja adalah bagian dari iman. Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin...” (QS. At-Taubah: 105). Ayat ini menegaskan bahwa kerja tidak hanya dilihat dari hasil, tetapi juga dari niat, proses, dan kesungguhannya. Rasulullah SAW pun dikenal dengan etos kerja yang luar biasa sejak muda. Beliau menggembala kambing, berdagang, hingga kemudian memimpin umat. Semua itu menunjukkan bahwa kerja keras adalah fondasi sebelum seseorang bisa sampai pada tahap kerja cerdas.

Ketika fondasi ini diabaikan, istilah kerja cerdas menjadi berbahaya. Generasi Z yang hidup dalam era serba instan sering terjebak pada ilusi bahwa kesuksesan bisa diraih tanpa usaha panjang. Fenomena konten kreator yang tiba-tiba viral membuat sebagian orang percaya bahwa cukup duduk di depan kamera, lalu uang akan mengalir deras. Padahal di balik kesuksesan tersebut ada jam terbang, riset, dan konsistensi yang panjang.

Ilusi instan ini juga dimanfaatkan secara sistematis oleh bandar judi online. Dengan slogan menarik seperti bonus 100%, top up langsung dapat hadiah, atau kemenangan awal yang sengaja diberikan, generasi muda digiring untuk percaya bahwa mereka sedang melakukan kerja cerdas. Padahal sistem itu sepenuhnya dirancang untuk menguntungkan bandar dalam jangka panjang. Kemenangan awal hanyalah umpan untuk menciptakan euforia, sebelum akhirnya korban masuk lebih dalam dan kehilangan segalanya.

Dalam Islam, mentalitas instan seperti ini jelas bertentangan dengan nilai ikhtiar dan tawakkal. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya sendiri. Dan apa-apa yang diinfakkan oleh seorang laki-laki kepada diri, isteri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Majah No 2129). Hadis ini menegaskan bahwa rezeki terbaik adalah dari jerih payah yang halal, bukan dari jalan instan apalagi yang haram seperti judi.

Mengembalikan Makna

Masalah muncul ketika generasi muda lebih mengutamakan hasil daripada proses, dan cenderung menghalalkan segala cara demi mendapat keuntungan cepat. Mereka mudah frustrasi ketika ekspektasi tidak sesuai kenyataan, karena sejak awal keyakinannya dibangun di atas ilusi. Dalam konteks inilah kata kerja cerdas menjadi toksik, karena bukannya melahirkan generasi kreatif, justru menghasilkan generasi yang rapuh menghadapi kegagalan.

Lalu bagaimana kita menyikapinya? Pertama, perlu ada reedukasi makna kerja cerdas. Generasi Z harus diajak memahami bahwa kerja cerdas bukanlah pengganti kerja keras, melainkan kelanjutan dari kerja keras yang diperkaya ilmu, strategi, dan inovasi. Seperti membangun rumah, kerja keras adalah pondasi, sementara kerja cerdas adalah desain dan arsitektur yang membuatnya kokoh. Tanpa pondasi, bangunan pasti runtuh.

Kedua, nilai-nilai Islam tentang etos kerja harus kembali ditanamkan. Etos kerja Islami menekankan kesungguhan, kesabaran, dan keberkahan. Kesuksesan bukan diukur dari seberapa cepat hasil dicapai, tetapi dari seberapa halal jalannya dan seberapa bermanfaat hasilnya. Konsep keberkahan ini sangat penting sebagai penyeimbang budaya instan.

Ketiga, literasi digital perlu diperkuat. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah berkemajuan bisa berperan aktif menyebarkan edukasi tentang bahaya judi online, investasi bodong, dan pola pikir instan. Sekolah, kampus, dan masjid bisa menjadi basis untuk membekali generasi muda agar lebih tahan terhadap jebakan digital.

Keempat, narasi tandingan harus hadir di media sosial. Karena generasi Z hidup di ruang digital, maka upaya dakwah dan pendidikan juga harus hadir di sana. Konten-konten kreatif yang humanis dan Islami perlu terus diproduksi untuk menandingi gempuran promosi judi online.

Akhirnya, kita juga tidak boleh melupakan pentingnya komunitas. Dalam Islam, jamaah adalah kekuatan. Anak muda yang aktif dalam komunitas positif—baik kajian, organisasi, maupun kegiatan sosial—akan lebih terlindungi dari godaan instan yang menjerumuskan. Dukungan sosial ini penting agar mereka punya lingkungan yang sehat untuk tumbuh dan berproses.

Pada akhirnya, istilah populer seperti kerja cerdas tidak salah pada dirinya. Yang membuatnya berbahaya adalah ketika maknanya dipelintir menjadi alasan untuk menghindari kerja keras dan mencari hasil instan. Islam mengajarkan bahwa kerja keras, usaha yang halal, dan kesabaran adalah kunci keberkahan. Tugas kita bersama, khususnya dalam gerakan Muhammadiyah, adalah mengembalikan makna tersebut agar generasi Z tidak salah langkah. Mereka harus diyakinkan bahwa jalan instan tidak pernah membawa keberkahan, sementara jalan yang penuh ikhtiar, meski panjang dan melelahkan, justru itulah yang mengantarkan pada kesuksesan sejati.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Implementasi MBKM di PTMA Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Direktur Eksekutif Al Wasath Insti....

Suara Muhammadiyah

18 March 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Islam menjadikan kesenangan dan kenikmatan sebagai bagian dari agama. Apa artin....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Mempromosikan Budaya Hijau, Inovasi, dan Kerjasama Oleh: Agus setiyono Dalam era ketidakpastian pe....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Anak Saleh (7) Oleh: Mohammad Fakhrudin Perlu ditegaskan kembali bahwa anak saleh bukan sesuatu y....

Suara Muhammadiyah

5 September 2024

Wawasan

Ketulusan: Pondasi Kokoh Menuju Kedamaian Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta  Ketulus....

Suara Muhammadiyah

28 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah