Kemaksuman Para Nabi
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya akan membahas mengenai kemaksuman para nabi. Apakah mereka membuat kesalahan, dan bagaimana dengan kisah-kisah dalam Al-Qur`an yang agaknya menunjukkan mereka berbuat salah? Terkadang saat membaca Al-Qur`an, kita menemukan para nabi juga melakukan kesalahan, dan Tuhan membicarakan hal itu. Mari kita ambil contoh, kasus Nabi Adam sangat universal. Apakah Adam melakukan kesalahan dan bukankah itu dosa?
Ada beberapa diskusi tentang apakah Adam sendiri adalah seorang nabi. Umumnya Adam dianggap sebagai salah satu Nabi, meskipun ini adalah masalah yang diperdebatkan. Beberapa mengatakan bahwa Nabi Nuh adalah nabi pertama. Kalaupun Adam adalah nabi pertama pertanyaan di atas tetap valid. Bagaimana Al-Qur`an menunjukkan bahwa Adam melakukan dosa atau bahwa dia tidak mematuhi Tuhan? Dan Al-Qur'an sangat jelas tentang hal ini.
Al-Qur`an menyatakan “Adam mendurhakai Tuhannya” (QS 20: 121). Bisa jadi karena dia lupa, atau apa pun alasannya, itulah yang terjadi dengan manusia. Manusia melakukan dosa. Kita lupa, kita membuat kesalahan, kita terpikat, dan sebagainya. Tetapi dalam kasus nabi lain, ada kesempatan yang disebutkan dalam Al-Qur`an ketika beberapa nabi melakukan kesalahan kecil, baik karena kesalahan dalam penilaian mereka atau karena mereka memilih di antara dua hal, dan tidak jelas pilihan apa yang lebih baik.
Para Nabi membuat pilihan yang, dari sudut pandang manusianya, tampak menjadi lebih baik, bahkan dengan maksud melayani Tuhan dan melakukan apa yang benar. Tetapi pilihan yang dibuat bukanlah yang benar, dan mereka ditegur untuk itu.
Dalam Al Qur`an kita membaca, misalnya, tentang Musa menyerang seorang pria dan itu ternyata adalah pembunuhan yang tidak disengaja. Dia tidak menyadari bahwa pria itu akan mati. Mungkin dia tidak menyadari kekuatan pukulannya sendiri. Dalam situasi itu orang bisa memaafkannya. Dia datang untuk menyelamatkan seseorang yang tertindas. Dia baru saja memukul penindas itu, tapi tetap saja ini sebuah kesalahan. Jadi bagaimana kita mendamaikan itu dengan gagasan tentang ketidakbersalahan (kemaksuman) para nabi?
Mari kita pahami apa yang dimaksud dengan infalibilitas para nabi. Para sarjana Muslim berbicara tentang hal ini dengan merujuk pada riwayat-riwayat di luar Al-Qur`an yang menggambarkan tindakan tercela yang dilakukan oleh beberapa Nabi. Misalnya disebutkan bahwa Dawud, yang dianggap oleh umat Islam sebagai seorang Nabi, dengan cara yang sangat korup mengambil istri dari salah satu satu prajuritnya, lalu mengatur agar prajurit tersebut gugur di medan perang untuk menutupi dosanya.
Kisah-kisah seoerti ini berseberangan dengan harapan bahwa seorang Nabi adalah contoh moral yang paripurna. Konsekuensinya sejumlah ulama memberikan reaksi dengan mengungkapkan bahwa para Nabi mustahil berbuat kesalahan sama sekali. Namun gagasan ini kontradiktif dengan sejumlah ayat Al-Qur`an yang secara terang menyebutkan kesalahan yang diperbuat para Nabi, seperti kisah Nabi Adam yang tidak menaati suruhan Allah.
Namun, hal sentral dari pandangan mayoritas para ulama adalah bahwa para Nabi adalah sosok pilihan Allah guna mendakwahkan pesan dan berlaku sebagai panutan moral. Jika mereka tidak mempunyai standar moral yang agung, mereka tidak akan layak melakoni peran itu. Konsep kemaksuman para nabi, menurut para ulama, menekankan kesucian mereka dalam mendakwahkan wahyu dan sumber moralitas secara umum.
Lewat pemahaman ini, kita perlu menginsafi bahwa para Nabi adalah manusia yang tetap saja berbuat kesalahan kecil. Hanya saja kesalahan-kesalahan ini tidak bisa dibandingkan dengan dosa-dosa besar yang dituduhkan kepada mereka dalam sumber-sumber lain. Bahkan, kesalahan yang tercatat dalam Al-Qur`an justru mengandung pelajaran berharga bagi kita. Kisah-kisah ini memperlihatkan bahwa manusia, bahkan yang terbaik sekalipun, bisa berlaku khilaf dalam pemikiran dan aksi, bahkan ketika punya niat baik untuk mencapai keridaan Tuhan.
Ada yang mungkin berpendapat, "Kalau para Nabi saja bisa berbuat salah, mengapa saya tidak boleh?" Namun, pendapat ini justru menyuguhkan pemahaman yang kurang tepat tentang ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa para Nabi adalah manusia biasa yang tidak bebas dari kesalahan. Hanya saja mereka tetap menjadi teladan bagi kita dalam dua hal penting: loyalitas mereka dalam mengabdi kepada Tuhan dan kesungguhan mereka dalam bertobat serta memperbaiki diri setelah melakukan kesalahan.
Pertama, karena mereka mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan, dan seluruh tujuan dan semua dorongan mereka adalah berusaha melakukan apa yang benar. Itu hal pertama. Hal kedua adalah bahwa sebagai akibat dari kesalahan mereka, atau setelah kesalahan mereka, mereka bertobat kepada Tuhan, dan mereka menindaklanjutinya dengan perbuatan baik. Jadi itulah contoh bagi kita, bahwa ketika kita melakukan kesalahan, kita memiliki seseorang yang melakukan hal yang sama.
Sebagai contoh, dalam salat, kita harus menghitung jumlah rakaat dan mengingat urutan gerakannya. Jika kita lupa atau salah, kita harus melakukan sujud sahwi sebagai pengganti. Tanpa contoh dari Nabi Muhammad SAW, kita mungkin merasa ibadah kita tidak sempurna karena sering melakukan kesalahan.
Namun, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah lupa jumlah rakaat dalam salatnya. Ini menunjukkan bahwa manusia, bahkan yang terbaik sekalipun, tidak luput dari kesalahan. Kita tidak perlu merasa terlalu buruk jika melakukan kesalahan serupa. Lebih penting lagi, para nabi mengajarkan kita untuk segera bertobat dan memperbaiki diri setelah berbuat salah. Mereka tidak hanya melakukan satu perbuatan baik sebagai penebusan, tetapi terus berusaha sepanjang hidup untuk berbuat baik demi ridha Allah.
Dalam kisah Nabi Nuh dan Adam, kita menemukan contoh bagaimana mereka bertobat dan memohon ampun kepada Allah dengan tulus. Doa mereka, "Ya Tuhan kami, kami telah berbuat zalim terhadap diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orangyang merugi," menjadi doa yang terus dipanjatkan umat Islam hingga kini.
Kisah-kisah para nabi tidak hanya mengajarkan keutamaan akhlak, tetapi juga menunjukkan bahwa manusia, termasuk yang terbaik di antara kita, bisa berbuat salah. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari kesalahan tersebut, kembali kepada Allah, dan memohon ampunan-Nya dengan rendah hati.