Kekayaan Muhammadiyah Bukan Pada Asetnya, Melainkan Kesederhanaan Pemimpinnya
Oleh: Moh Ramli, Penulis buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, wartawan dan lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA
Dalam pidato testimoni di acara Milad ke-113 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Bandung (UMB), Selasa, 18 November 2025, mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) memuji pertumbuhan kekayaan Muhammadiyah yang terus meningkat seiring usianya yang terus bertambah.
Ia memuji kemajuan pesat Persyarikatan dengan menyebut sebagai salah satu organisasi keagamaan yang paling kaya di Bumi ini. JK mengaku memiliki pengalaman yang cukup mengagumkan. Ia pernah diundang untuk menghadiri penelitian tentang harta Muhammadiyah, namun begitu banyaknya aset yang dimiliki organisasi ini sehingga sulit untuk dihitung.
Apa yang disampaikan oleh JK tersebut adalah tentu tak berlebihan. Memang sudah rahasia umum bahwa Muhammadiyah kini menjadi organisasi yang dengan usaha yang tidak kaleng-kaleng. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) kini menjalar diberbagai bidang. Seperti pendidikan (mulai dari TK hingga perguruan tinggi, kesehatan (rumah sakit, klinik), sosial (panti asuhan, panti jompo), dakwah, serta ekonomi dan keuangan.
Bahkan, dikepemimpinan Haedar Nashir, ada ungkapan: tiada hari tanpa pembangunan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Organisasi ini tanpa henti melakukan peletakan batu pertama dan peresmian pembangunan di berbagai bidang. Ini jelas sebagai cermi etos kerja serta dedikasi nyata bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan secara berkelanjutan.
AUM yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, semuanya itu adalah milik Persyarikatan, tidak ada satupun yang dimiliki secara pribadi, meski itu adalah wakaf dari perorangan. Itu juga adalah salah satu jawaban dari pertanyaan: mengapa para kader organisasi ini harmonis dan tak ada konflik internal nan menghebohkan. Konsep "satu pintu" AUM tersebut pun akhirnya membuat kadernya fokus untuk berkhidmat tanpa terkendali oleh kepentingan individualistik.
Tentu, pengakuan kebesaran Muhammadiyah bukan saja diklaim oleh pihak internal. Misalnya, peneliti asal Jepang, Mitsuo Nakamura dan Pakar Kajian Islam dan Politik Kebudayaan Indonesia asal Boston University, Amerika Serikat, Robert W. Hefener. Mereka menyebut organisasi yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta, tersebut sebagai organisasi terbesar dan tersukses di dunia.
Kekayaan Sejati
Pertanyaannya, benarkah semua AUM tersebut adalah kekayaan terbesar yang dimiliki oleh Muhammadiyah? Bagi saya, kekayaan terbesar organisasi berlogo Matahari Bersinar tersebut bukanlah materil tersebut, melainkan kesederhanaan para pemimpinnya. Hemat saya, sikap hidup tersebut adalah kekuatan sejati dari seorang leader. Tanpa fondasi itu, maka roda organisasi akan macet karena akan terbentur dengan hedonisme. Maka, AUM sebenarnya adalah akibat, bukan sebab.
Kesederhanaan, kata cerdik pandai, adalah keistimewaan hidup yang tak ternilai harganya. Mental spesial ini dimiliki oleh mereka yang memiliki oleh jiwa yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia bukan saja laku yang terpuji, melainkan sebuah batas terang antara kemurnian manusiawi dan hewani. Tanpa kesederhanaan, manusia pun bahkan bisa lebih rakus, ganas dari mahluk lainnya.
Kesederhanaan para pemimpin Muhammadiyah tersebut tentu salah satunya berlandaskan keteladanan dari pendirinya dan para pemimpin terdahulu. Kiai Ahmad Dahlan misalnya, dalam seluruh nafas hidupnya diwakafkan untuk semata-mata bagi kesejahteraan umat. Bukan untuk untuk kepentingan dirinya dan keluarganya sendiri. Ia menyisihkan mayoritas apa yang dimilikinya untuk masyarakat.
Bagi Kiai Ahmad Dahlan, kesederhanaan hidup dan berkhidmat sebanyak-banyaknya pada masyarakat, adalah keistimewaan hidup yang sejati dari pada menumpuk harta yang akan pasti ditinggalkan jua. Sang pelopor reformisme Islam itu berujar: "bekerjalah sekeras-kerasnya, carilah uang sebanyak-banyaknya. Pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri, anak, dan istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Selebihnya dermakanlah untuk perjuangan umat Islam."
AR Fachruddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990, adalah sosok sangat dikenal karena kesederhanaan hidupnya yang luar biasa. Sampai akhir hayatnya, ia disebut tak memiliki rumah pribadi. Sering berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain yang ditawarkan oleh orang lain. Ia pun juga tidak pernah mengambil atau menerima uang sepeser pun dari organisasi yang dinakhodainya tersebut.
Kesederhanaan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005, Ahmad Syafii Maarif mungkin saja salah satu yang terkenang bagi penulis, karena sempat menyaksikan kehidupannya secara langsung. Meskipun memiliki nama besar dan posisi penting di organisasi ini, ia secara konsisten menjalani gaya hidup yang bersahaja dan menolak segala bentuk privilese.
Misalnya, dalam kesehariannya ia memilih jalan layaknya masyarakat di akar rumput. Ia tetap mengantre saat berobat di rumah sakit, mengurus paspor, atau di bank, bersikeras untuk diperlakukan sama seperti masyarakat umum lainnya. Ia bahkan pernah menolak tawaran biaya pengobatan gratis untuk istrinya dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah.
So, kesederhanaan pemimpin adalah kekayaan sejati organisasi ini. Sebab seberapa pun banyaknya aset yang dimiliki saat ini, seberapa kuat hierarkinya, seberapa besar namanya, seberapa "wow" kontribusinya yang dicatat sejarah pada bangsa dan negara, organisasi ini akan runtuh juga secara gradual jika suatu nanti yang menakhodainya tak memiliki jiwa apa yang dalam bahasa Jawa: "prasaja" tersebut.
Kini, kesederhanaan pemimpin itu menjadi semacam legasi istimewa untuk Muhammadiyah dalam mengarungi babat kehidupan ke depan. Tentu ini jadi tantangan besar Sang Surya, bagaimana ke depan para kadernya bisa konsisten meneladani laku hidup pendiri dan para pemimpin terdahulu yang heroik itu, bukan?


