Kebijakan Publik, Pemberdayaan dan Kualitas Hidup Lansia

Publish

17 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
34
Foto TVRI/Pemprov Jakarta

Foto TVRI/Pemprov Jakarta

Kebijakan Publik, Pemberdayaan dan Kualitas Hidup Lansia

Oleh: Mukhlish Muhammad Maududi, S.Sos., S.H., M.H., Dosen Hukum dan Etika Profesi Komunikasi, FISIP, UHAMKA

Kegiatan ribuan lansia berseragam pink yang memenuhi Bundaran HI sambil memainkan angklung pada Car Free Day bukan sekadar perayaan seni, tetapi cermin penting tentang bagaimana ruang publik, kebijakan, dan kualitas hidup lanjut usia mulai mendapat perhatian baru di tengah meningkatnya angka harapan hidup Indonesia. Ketika para lansia dapat tampil percaya diri memainkan warisan budaya yang diakui UNESCO, publik seperti diingatkan bahwa penuaan bukan akhir produktivitas, melainkan bab baru yang tetap bisa berdaya bila negara menyediakan ruang, akses, dan dukungan yang memadai. 

Di tengah derasnya isu perpanjangan usia pensiun, tuntutan fasilitas publik yang lebih ramah lansia, dan penguatan jaminan sosial seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), momen harmoni angklung itu memantik pertanyaan besar bagi kita semua: apakah kebijakan publik Indonesia sudah cukup berpihak pada kehidupan lansia yang sehat, aktif, dan bermartabat atau justru kita masih tertinggal dalam menyiapkan masa depan populasi yang menua?

Isu kebijakan publik, pemberdayaan, dan kualitas hidup lansia penting dibahas karena Indonesia sedang memasuki fase populasi menua (aging population), yang ditandai meningkatnya angka harapan hidup dan bertambahnya jumlah warga berusia di atas 60 tahun, termasuk di DKI Jakarta. Fenomena ribuan lansia memenuhi Bundaran HI untuk bermain angklung menunjukkan bahwa kelompok usia ini bukan lagi sekadar objek perlindungan, tetapi subjek aktif yang membutuhkan ruang, akses, dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan. 

Jika momentum ini diabaikan, kita berisiko menghadapi tekanan ekonomi dan sosial yang berat, meningkatnya beban layanan kesehatan, ketimpangan akses fasilitas publik, memburuknya kesehatan mental dan fisik lansia, hingga meningkatnya ketergantungan pada keluarga dan negara. Karena itu, publik dan pemerintah harus memperhatikan isu ini, bukan hanya untuk memastikan lansia hidup sehat dan bermartabat, tetapi juga untuk menyiapkan tata kelola kota, jaminan sosial, dan anggaran yang mampu menghadapi realitas bahwa Indonesia sedang bergerak menuju aging population jauh lebih cepat dari yang dibayangkan.

Konteks masalah yang melatarbelakangi isu ini berada pada persimpangan dinamika politik, sosial, dan regulasi yang berubah cepat seiring meningkatnya populasi lansia di Indonesia. Secara sosial, masyarakat mulai menghadapi realitas aging population yang ditandai meningkatnya usia harapan hidup dan kebutuhan lansia akan ruang publik yang inklusif, kegiatan komunitas yang berkelanjutan, serta akses layanan kesehatan yang lebih intensif. Secara politik, tuntutan berbagai kelompok profesi untuk memperpanjang usia pensiun—mulai dari guru hingga notaris—bersanding dengan kebijakan pemerintah seperti perluasan batas usia pensiun PNS hingga 65 tahun, yang mencerminkan penyesuaian negara terhadap struktur demografi baru. 

Di sisi regulasi, pemerintah daerah seperti DKI Jakarta telah merespons melalui program jaminan sosial seperti Kartu Lansia Jakarta dan fasilitas transportasi gratis, namun masih terdapat kesenjangan antara kebijakan yang ada dan kebutuhan nyata di lapangan. Ribuan lansia bermain angklung di Bundaran HI menjadi simbol bahwa kelompok ini semakin aktif dan membutuhkan dukungan struktural yang lebih kuat, dari ketersediaan ruang publik yang ramah usia, pendanaan komunitas, hingga kebijakan kesehatan jangka Panjang.

Aktivitas lansia di ruang publik, seperti ribuan warga lanjut usia yang memainkan angklung di Bundaran HI, menunjukkan bahwa kualitas hidup di usia lanjut sangat ditentukan oleh partisipasi sosial, kesehatan fisik, dan dukungan lingkungan. Data BPS menunjukkan peningkatan usia harapan hidup di DKI Jakarta, dari 71,88 (laki-laki) dan 75,61 (perempuan) pada 2023 menjadi 72,08 dan 76,28 pada 2024, yang menandakan bertambahnya kelompok usia tua yang membutuhkan ekosistem kebijakan yang lebih adaptif. Kegiatan rutin seperti latihan angklung yang diikuti ribuan lansia membuktikan temuan riset global bahwa aktivitas komunitas memiliki pengaruh positif menjaga kesehatan fisik dan mental. Kondisi ini menegaskan perlunya kebijakan publik yang memfasilitasi active aging melalui ruang publik yang ramah lansia, program dukungan ekonomi seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), kebijakan transportasi (kartu layanan gratis), hingga penyesuaian batas usia kerja yang lebih realistis dengan tren demografi nasional. 

Meski upaya pemberdayaan lansia melalui kegiatan komunitas, perluasan akses ruang publik, serta dukungan kebijakan publik semakin menguat, penolakan biasanya muncul dengan argumen bahwa alokasi anggaran untuk lansia dianggap membebani fiskal daerah, bahwa program komunitas hanya bersifat seremonial, atau bahwa memperpanjang usia pensiun justru menghambat regenerasi tenaga kerja muda. Namun argumen ini mengabaikan realitas demografis, bahwa populasi menua adalah keniscayaan dan justru akan menimbulkan biaya sosial jauh lebih besar jika tidak dikelola sejak dini. 

Solusi realistis yang dapat ditawarkan adalah integrasi active aging policy dalam perencanaan kota, berupa penyediaan ruang publik inklusif, dukungan pendanaan rutin bagi komunitas lansia, serta peningkatan layanan transportasi dan jaminan sosial, yang terbukti lebih murah dan efektif dalam menjaga kesehatan dan kemandirian lansia. Pemerintah daerah harus menjadi penggerak utama melalui regulasi dan anggaran, pemerintah pusat melalui kerangka kebijakan nasional dan penyesuaian sistem pensiun, sementara komunitas dan organisasi masyarakat menjadi mitra pelaksana yang memastikan kegiatan berjalan berkelanjutan. Dengan kolaborasi ini, pendekatan berbasis pencegahan dan pemberdayaan dapat menggantikan paradigma beban menuju paradigma produktif dan bermartabat bagi seluruh lansia Indonesia.

Kegiatan ribuan lansia yang menari dan memainkan angklung di jantung Jakarta adalah pengingat kuat bahwa Indonesia tidak lagi bisa menunda penyesuaian kebijakan bagi populasi yang menua, setiap tahun usia harapan hidup meningkat, sementara kebutuhan ruang publik, dukungan komunitas, jaminan sosial, dan layanan kesehatan lansia tumbuh lebih cepat daripada respons kebijakannya. Jika momentum ini tidak segera diikuti dengan investasi serius pada active aging, dari pendanaan komunitas hingga perluasan akses transportasi dan perlindungan sosial, maka biaya sosial, kesehatan, dan ekonomi yang harus ditanggung negara akan semakin besar. 

Namun di balik urgensi itu, ada harapan nyata, bahwa kegiatan sederhana seperti angklung menunjukkan bahwa lansia tetap dapat sehat, bahagia, dan produktif ketika diberi ruang untuk berkembang. Dengan komitmen bersama pemerintah, komunitas, dan masyarakat, Indonesia dapat membangun ekosistem yang memungkinkan setiap warga menua dengan bermartabat, bukan sebagai beban, tetapi sebagai kekuatan sosial yang tetap berdaya. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan demi masa depan yang inklusif dan manusiawi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pelegalan Alat Kontrasepsi untuk Remaja Merusak Masa Depan Bangsa Oleh: Nur Ngazizah,S.Si.M.Pd., Ke....

Suara Muhammadiyah

9 August 2024

Wawasan

Teman Berjuang dan Berpesta Oleh: Iu Rusliana, Dosen Program Magister Manajemen (MM) Uhamka Jakarta....

Suara Muhammadiyah

5 September 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Istilah "jihad" sering kali dis....

Suara Muhammadiyah

7 October 2024

Wawasan

Losing My Religion: Mengapa Generasi Muda Kehilangan Iman? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

1 January 2025

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Mencintai Rasulullah Saw merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena, mencint....

Suara Muhammadiyah

13 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah