Keadilan Sosial sebagai Masalah Kemanusiaan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1100
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Keadilan Sosial sebagai Masalah Kemanusiaan 

Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.

Problem kemanusiaan  akan menjadi masalah dan agenda penting Indonesia saat ini dan ke depan. Masalah stunting, kekerasan, perbuatan nista terhadap perempuan dan anak, dampak bencana alam, terpinggirkannya masyarakat lokal di berbagai daerah, bahkan hak-hak rakyat yang tidak terpenuhi oleh negara merupakan masalah kemanusiaan yang memerlukan perhatian seluruh pihak di negeri ini. Pandemi Covid-19 yang berlangsung sekitar dua tahun merupakan masalah  berdampak luas sebagai problem kemanusiaan dengan korban meninggal tercatat 6.003.081 orang, bahkan World Health Organization (WHO) mengumumkan angka resmi jumlah korban pandemi Covid-19 selama kurun 2020-2021 sekitar 14,9 juta orang, atau dalam kisaran lebih luas yakni 13,3-16,6 juta orang (https://www.cnbcindonesia.com/news/20220505210650-4-336917/who-korban-meninggal-akibat-covid-capai-166-juta-orang, 2023). 

Karenanya penting semua pihak baik negara maupun kekuatan masyarakat memandang persoalan kemanusiaan seperti keadilan sosial, kesenjangan sosial, dan masalah sosial lain sebagai agenda dan perhatian yang serius karena menyangkut hajat hidup dan nasib masa depan umat manusia. Muhammadiyah penting melihat persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari gerakannya sebagaimana dalam berbagai Isu Strategis hasil Muktamar ke-48.

Keadilan dan Kesenjangan

Sejatinya masalah kesenjangan sosial, kemiskinan, dan keadilan sosial merupakan masalah kemanusiaan yang serius. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan korupsi, oligarki, dan berbagai paradoks lainnya dalam kehidupan kebangsaan. Betapa nirmoral para koruptor yang dengan tega mencuri uang negara di saat rakyat kecil miskin, sakit, dan mati akibat banyak penderitaan dalam kehidupannya. Padahal sebagai aparatur negara seharusnya melayani rakyat sepenuh hati untuk menyejahterakannya. Apalagi bila korupsi itu makin tamak sampai uang negara triliunan rupiah dijarah melalui instrumen kekuasaan yang mandatnya justru diberikan rakyat sebagai amanat.

Tulisan  pemikir kebhinekaan, Sukidi P.hD, tentang “Kemiskinan di Tengah Ketamakan Pemimpin” di Harian Kompas, memberikan wawasan sekaligus kesadaran mendalam betapa masalah kemanusiaan bukan sekadar masalah sosial biasa, tetapi  menyangkut kondisi disparitas kehidupan yang paradoks yang disebutnya sebagai “bencana moral terbesar yang memalukan”. Frasa awal tulisan itu sangat tajam, “Di republik yang mayoritas warganya rentan miskin  dan lebih dari 26 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, ketamakan pemimpin adalah bencana moral terbesar yang memalukan. Terdorong oleh keinginan yang egois dan eksesif, pemimpin yang rakus pada kekuasaan, kekayaan, dan uang terlibat dalam parade keserakahan di tengah  kemelaratan rakyatnya” (Kompas, 4 Mei 2023).

Masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, dan masalah sejenis lainnya bukanlah soal gini rasio dan angka atau persentase. Tetapi masalah kondisi kehidupan yang nestapa di tengah situasi kehidupan yang paradoks di kutub ekstrim lain, yang menggambarkan luruh atau hilangnya akal budi manusia sebagai “Homo Sapiens”. Apalagi bila ketamakan itu terkait dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan atas nama negara, di mana Sukidi mengutip pendapat satire Usman Hamid, “atas nama negara, aku bisa kaya dan foya-foya”. Berfoya-foya dari uang pajak rakyat, pungutan liar, dan setoran ilegal lainnya (Kompas, 4 Mei 2023).

Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan masalah kemanusiaan lainnya terutama yang lahir akibat ketidakadilan sosial dan struktural merupakan masalah kemanusiaan yang substantif lebih dari sekadar angka dan data. Manusia sejatinya tidak boleh menjadi korban tindakan manusia lainnya, lebih-lebih dengan menyalahgunakan dan bersembunyi di balik kekuatan sistem kekuasaan. Praktik “siapa yang kuat, siapa menang dan menguasai” dalam hukum Darwinian penting untuk dikritisi karena dapat menimbulkan nestapa dalam dunia kemanusiaan. 

Kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan ketidakadilan sosial merupakan masalah kemanusiaan besar yang tidak boleh dibiarkan atau dipandang sebagai masalah pinggiran. Lebih-lebih jika ketiga masalah tersebut berdampingan dengan pragmatisme politik yang melahirkan oligarki, transaksi-transaksi politik sesaat, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta berbagai bentuk eksploitasi yang menggambarkan keserakahan dalam kehidupan di era dunia modern postkolonialisme. Era modern yang dikenal era antroposen semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan yang dapat melindungi sebesar-besarnya umat manusia dari kemiskinan dan segala bentuk nestapa dalam kehidupan agar tidak terjadi “paradoks dunia modern” sekaligus menjadi “paradoks dunia kemanusiaan”. 

Eksploitasi dari kekuatan besar kepada kelompok-kelompok kecil, rentan, dan marjinal merupakan paradoks dunia modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokrasi, dan kesetaraan manusia tanpa diskriminasi. Perilaku eksploitatif atas nama apapun tidaklah dibenarkan karena menunjukkan homo homini lopus. Manusia menjadi hilang kemanusiaannya yang autentik dan meluap hasrat menaklukkannya untuk menguasai manusia lain tanpa pijakan akal budi. Insan modern juga menunjukkan sikap  ganas merusak alam dan ekosistem tempat mereka hidup. Keangkuhan manusia antroposen yang ambisius itu sudah lama digugat oleh para pemikir dan pegiat kemanusiaan, sebagaimana satire sebuah film dokumenter tahun 2012 karya Samuel McAnallen, The Superior Human?

Reorientasi Pandangan

Masalah keadilan bukan sekadar persoalan hukum dan politik, tetapi juga masalah kemanusiaan yang memerlukan reorientasi pandangan. Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo dan Medische Adviseur Muhammadiyah (penasihat dalam urusan kesehatan), memberikan kritik tajam pada teori Darwin ketika  meri tis berdirinya “poliklinik” Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)  Muhammadiyah di Surabaya. Tokoh pergerakan nasional tersebut memberikan inspirasi penting tentang ajaran “welas asih” atau “cinta kasih” versus teori Darwin. Melanjutkan gagasan Kyai Haji Ahmad Dahlan tentang ajaran “Al-Ma’un” yang memelopori berdirinya “Hospital” (Poliklinik) pertama 15 Februari di Yogyakarta, sebagai  inspirasi awal berdirinya seluruh lembaga pelayanan kesehatan dan sosial di bawah nama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). 

Dr Soetomo dengan tafsir baru Al-Ma’un mengkritik  tesis Charles Darwin tentang hukum “survival of the fittest” (keberlangsungan hidup manusia yang paling kuat) dalam karya terkenal,  “On the Origin of Species” (1869). Teori Darwin menurutnya tidaklah dapat diterapkan di Indonesia dan bertentangan dengan prinsip “welas asih” atau belas kasih (compassion).  Penasihat Muhammadiyah tersebut dalam pidato pembukaan poliklinik PKO Surabaya pada  hari Ahad 14 September 1924 menyatakan:  “Meskipun Perserikatan kami itu kelihatannya dan wujudnya ada berlainan dengan Perserikatan yang lainnya yang timbul di dunia pada waktu yang kurang lebih bersama-sama. Yakni Perserikatan kami ini ada bersifat Islam. Tetapi pada hakikatnya Persyarikatan kami itu tiada lain hanya satu dari beberapa pertunjuk lahirnya pikiran baru yang menggetarkan bahagian antero dunia yang berfikir. Lagi pula boleh dikatakan akan pertimbangan atau perlawanan pengajaran Darwin. Bukankah pengajaran Darwin itu berasas peperangan hidup?”

Soetomo melanjutkan, “Sudah tentu saja kejadiannya pengajaran ini menindas dan memusnahkan yang bersifat lembek. Karena bermaksud untuk diri sendiri supaya dalam dunia ini mendapat tempat yang baik. Sedang fikiran baru itu timbul dari asas yang lain. Yakni asas cinta kasih. Asas cinta kasih ini sudah barang tentu tiada mengizinkan, tiada memberi kesempatan, beberapa untuk keperluan diri sendiri. Akan tetapi mewajibkan berkurban untuk mencapai hidup mulia bagi umum. Dan kalau begitu, apakah yang disebut cinta kasih pada orang tua, pada istri dan anak dan lainnya? Tiada lain hanyalah mengorbankan diri untuk keselamatan dan kebahagiaan orang lain. Begitu juga perserikatan kami. Ini kemasakan (kentelan: Jawa) fikiran cinta kasih yang akan kita curahkan kepada sesama manusia supaya dengan cinta kasih dan kurban dapatlah tercapai hidup mulia yang kita maksud seperti yang tersebut di atas.” (Soeara Moehammadijah, 1925).

Manusia antroposen yang serbadigdaya dan menjadi makhluk superperkasa itu sungguh bebal karena telah kehilangan jangkar metafisika kehidupan seperti dikritisi Roy Scranten dalam “Learning How to Die in the Anthropocene” (2014). Director of Environmental Humanities Initiative tersebut memperingatkan, “tantangan terbesar yang dihadapi  manusia abad ini adalah tantangan filosofis, yakni bagaimana mengerti bahwa peradaban ini diambang kematian”. Penulis   Modern Ethics in 77 Arguments tahun 2017 itu menegaskan bahwa kematian dunia kemanusiaan dapat beragam wajah yang bersifat alami, budaya, ekonomi, dan lainnya yang meniscayakan lahirnya kearifan baru dalam menghadapi kehidupan manusia dengan segala ekosistemnya yang kompleks. 

Bangsa Indonesia tentu harus terhindar dari bencana kemanusiaan yang paradoks itu karena di dalam jati dirinya terbangun fondasi kuat Pancasila yang berintegrasi  dengan agama dan kebudayaan luhur yang hidup di negeri tercinta. Jika Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa itu benar-benar diwujudkan dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka paradoks kehidupan itu tidak akan terjadi. Dalam politik dan ekonomi tidak terkonsentrasi dalam kekuatan oligarki yang mencengkeram seluruh aspek kehidupan, menyuburkan praktik mafia,  transaksi-transaksi ekonomi-politik yang kotor, mempertukarkan hukum, serta merusak tatanan  keindonesiaan yang telah diletakkan pondasinya dan diperjuangkan dengan segenap pengorbanan jiwa-raga oleh para pejuang dan pendiri Negara Republik Indonesia!

“Kekuasaan itu bekerja bagaikan obat bius”, tulis Rutger Bregman dalam “Human Kind” (2019). “Kekuasaan itu merusak, dan kekuasaan yang mutlak merusak secara mutlak”, tulis Lord Acton. Bagi para pihak yang oleh Tuhan dan rakyat diberi mandat kekuasaan, pergunakanlah kekuasaan  untuk sebesar-besarnya hajat hidup orang banyak. Tahta, harta, dan segala kuasa dunia manakala dimanfaatkan dengan benar dan baik maka akan menjadi jalan membangun kehidupan bersama yang diberkahi Tuhan. Kita mesti percaya masih banyak orang baik di negeri ini maupun di ranah global untuk terus menebar kebaikan melalui banyak jalan, termasuk jalan kekuasaan secara bertanggungjawab. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan penting terus menggarap lahan dakwahnya antara lain dalam mewujudkan keadilan sosial sebagai agenda dan pandangan kemanusiaan yang strategis berwawasan keislaman yang mencerahkan!

Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2023


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Editorial

Muhammadiyah Sebagai Sistem Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si. Muhammadiyah dikenal sebagai orga....

Suara Muhammadiyah

4 April 2024

Editorial

109 TAHUN UJUNG TOMBAK LITERASI BERKEMAJUAN Demokrasi memerlukan rakyat yang pandai. Negara demokra....

Suara Muhammadiyah

9 September 2024

Editorial

PENDIDIKAN ANAK DI USIA EMAS Cerita tentang Pendidikan Anak Usia Dini di Jepang kerap membuat kita ....

Suara Muhammadiyah

7 November 2023

Editorial

Keluasan Ajaran Islam Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si Akhir-akhir ini ada kecenderungan berisla....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Editorial

108 TAHUN MENGINSPIRASI Banyak pertanyaan tentang kapan Majalah Suara Muhammadiyah terbit untuk per....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah