Iman dan Arah Kemajuan
Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta
Sulit bagi hati yang beriman untuk berdiam diri ketika kemungkaran meluas dan kezaliman seolah mendapat ruang tanpa batas. Kepekaan itu muncul bukan karena dorongan emosional semata, tetapi karena iman yang hidup menuntun manusia untuk membedakan mana yang benar dan mana yang batil. Namun hidup tidak selalu memberi kita ruang atau kemampuan untuk bertindak. Ada kondisi ketika seseorang tidak mampu mengubah keadaan, tidak memiliki kekuatan untuk berbicara, atau bahkan terancam jika ia menunjukkan penentangan secara terbuka. Dalam situasi seperti itu, diam dengan penolakan hati yang tulus dan rasa prihatin yang mendalam tetap menjadi bentuk perlawanan moral.
Rasulullah SAW telah memberikan panduan sangat jelas tentang posisi ini ketika bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa diam bukan berarti mati rasa. Diam yang dibarengi penolakan adalah tanda bahwa iman masih menyala, meskipun lemah.
Namun hadits yang sama juga menunjukkan bahwa seorang mukmin sejati tidak seharusnya berhenti pada tingkatan terlemah tersebut. Iman yang kuat akan mendorong seseorang untuk berbuat lebih—berpikir, merencanakan, berusaha mencari jalan, dan mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Di sinilah letak hubungan antara iman dan hidup berkemajuan. Kemajuan apa pun tidak akan pernah lahir dari hati yang pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, kemajuan terlahir dari keyakinan bahwa segala sesuatu bisa berubah jika manusia menggunakan potensi yang Allah SWT berikan kepadanya.
Iman adalah energi moral yang menggerakkan potensi manusia. Tanpa iman, kekuatan berubah menjadi kesewenang-wenangan, kekayaan menjadi keserakahan, dan kekuasaan menjadi alat penindasan. Al-Qur’an memberi peringatan tegas agar manusia membawa keadilan dalam setiap aspek kehidupan.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...” (QS. An-Nahl [16]: 90). Ketika iman menjadi dasar, manusia memahami bahwa segala potensi yang ia miliki—ilmu, harta, kedudukan, dan pengaruh—bukan semata-mata miliknya, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Inilah nilai moral yang melahirkan kehidupan berkemajuan, sebab kemajuan sejati lahir dari keadilan dan kebaikan, bukan dari kerakusan dan ambisi tanpa batas.
Kepekaan Sosial sebagai Modal Peradaban
Iman juga menumbuhkan kepekaan sosial. Hati yang beriman tidak tenang ketika melihat ketidakadilan. Ia terdorong untuk melakukan sesuatu, sekecil apa pun. Bahkan jika ia tidak mampu bertindak secara nyata, ia tetap berdoa, bersedih, mengingkari dalam hati, dan berharap munculnya kesempatan untuk mengubah keadaan. Kepekaan seperti ini adalah modal besar dalam membangun peradaban. Masyarakat tidak akan maju jika anggotanya kehilangan rasa peduli atau terbiasa berpaling dari kemungkaran. Peradaban yang kuat berdiri di atas akhlak kolektif yang peka terhadap kebenaran dan keadilan.
Rasulullah SAW sendiri menegaskan bahwa misi utama beliau adalah menyempurnakan akhlak. Dalam sebuah hadits beliau bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad). Akhlak adalah fondasi utama peradaban dan akar dari hidup berkemajuan. Bangsa mana pun yang kehilangan akhlak akan kehilangan arah, meskipun memiliki teknologi canggih dan kekayaan melimpah. Sebaliknya, bangsa yang berakhlak akan terus melangkah menuju kemajuan, meskipun kondisi awalnya sederhana.
Iman juga melahirkan etos kerja yang kuat. Keyakinan bahwa setiap amal memiliki nilai di sisi Allah membuat seorang mukmin tidak mudah putus asa. Al-Qur’an menegaskan: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7). Ayat ini menanamkan kesadaran bahwa tidak ada upaya yang sia-sia. Kesadaran seperti ini sangat penting dalam hidup berkemajuan, karena kemajuan hanya bisa dicapai dengan kerja keras, optimisme, dan konsistensi.
Namun ada pertanyaan penting yang sering muncul: bagaimana iman tetap mendorong kemajuan ketika seseorang tidak mampu bertindak? Jawabannya adalah bahwa iman bekerja pada banyak tingkatan. Diam yang dibarengi penolakan bukan berarti berhenti. Diam yang bernilai adalah diam yang menyimpan tekad untuk berubah, diam yang menabung kekuatan hingga suatu saat ia mampu bertindak, diam yang tetap menjaga prinsip, bukan diam karena putus asa. Iman membuat seseorang tidak pasrah pada keadaan. Ia terus memperbaiki dirinya, memperkuat pemahaman agamanya, mendidik keluarganya, memperluas kebaikan di lingkungannya, serta memanfaatkan kesempatan kecil yang ada untuk memberi pengaruh positif. Allah mengingatkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11). Perubahan besar dalam masyarakat selalu bermula dari perubahan kecil dalam diri manusia.
Dalam konteks hidup berkemajuan, kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan adalah instrumen yang sangat menentukan. Namun instrumen-instrumen tersebut membutuhkan bingkai iman. Tanpa iman, kekuatan melahirkan kesombongan, kekayaan melahirkan kerakusan, dan kekuasaan melahirkan tirani. Islam mengajarkan bahwa semua potensi duniawi ini hanyalah amanah. Allah berfirman bahwa Dia mengutus para rasul dan menurunkan kitab bersama neraca (timbangan) agar manusia menegakkan keadilan (QS. Al-Hadid: 25). Ini menunjukkan bahwa kemajuan yang sejati terletak pada bagaimana manusia menggunakan sarana kekuatan untuk menciptakan masyarakat yang adil.
Ketika iman menjadi dasar dalam mengelola potensi, maka kemajuan tidak hanya berupa kemajuan fisik atau material, tetapi juga kemajuan spiritual dan moral. Masyarakat akan tumbuh menjadi masyarakat yang sejahtera tanpa keserakahan, kuat tanpa kesewenang-wenangan, dan berilmu tanpa kesombongan. Kemajuan seperti ini bukan hanya membahagiakan manusia, tetapi juga mendatangkan ridha Allah.
Iman mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kuasa yang dimiliki, tetapi pada kemampuan menggunakan kuasa itu untuk menegakkan kebenaran. Inilah makna mendalam dari hidup berkemajuan dalam perspektif Islam: kemajuan yang dibangun dengan iman sebagai pondasi, akhlak sebagai arah, dan amal saleh sebagai langkah nyata. Kemajuan sejati adalah perjalanan panjang yang dimulai dari hati yang tidak mati, dari iman yang menyala, dan dari rasa peduli yang tidak pernah padam terhadap kebenaran.


