Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (5)
Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra
Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (4) dikemukakan tiga langkah yang ditempuh anak saleh dalam ikhtiarnya menjemput jodoh, yakni (1) berdoa, (2) berikhtiar, dan (3) didoakan. Pada edisi itu telah diuraikan dengan ilustrasi tentang pentingnya didoakan dalam hubungannya dengan menjemput jodoh.
Telah diuraikan pula asbabun nuzul ayat 26 surat an-Nur (24). Pada dasarnya kita wajib husnuzan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala dan kita secara cerdas selalu dapat mengambil pelajaran dari semua yang terjadi, baik yang sesuai dengan kandungan isi ayat maupun yang berbeda atau, bahkan, bertentangan.
Perlu kita pahami bahwa kisah yang mirip dengan Fir‘aun dan Asiyah atau Nabi Luth dengan istrinya pada masa kini dan masa mendatang pun dapat terjadi. Berkenaan dengan hal itu, orang tua dan anaknya harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapinya dan dapat mengatasinya. Untuk keperluan itu, perlu ditegaskan kembali bahwa ketiga strategi sebagaimana disebutkan pada awaal tulisan ini pun perlu ditempuh.
Bukan Tujuan Akhir
Perlu kita pahami bahwa menikah bukanlah tujuan akhir, melainkan tujuan antara untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Pertanyaan yang timbul adalah apa tujuan hidup yang sebenarnya? Bagi orang beriman dan bertakwa, jawaban atas pertanyaan itu tidak dikarang-karang sendiri atau merujuk pada pendapat orang yang tidak beriman. Untuk menjawabnya, orang beriman dan bertakwa merujuk pada Al-Qur‘an dan hadis. Kalaupun tidak dapat menggali sendiri jawabannya dari kedua sumber itu, mereka merujuk pada pendapat ulama kompeten dan kredibel.
Di dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3 (hlm. 169) disebutkan ada tiga tujuan hidup, yaitu (1) memperoleh keridaan Allah, (2) memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan (3) menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya. Dengan merujuk pada tiga tujuan hidup itu, dalam hal memilih suami/istri, ketiga tujuan itu pun harus dijadikan rujukan.
Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (5) ini diuraikan tujuan hidup sebagai rujukan tujuan menikah.
Memperoleh Keridaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala
Dalam hubungannya dengan menikah, kiranya sangat penting bagi kita untuk memahami kandungan isi ayat-ayat Al-Qur‘an dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rujukan. Dengan berpegang teguh pada firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala dan sabda Rasulullah-Nya, ibarat pernikahan sebagai bangunan, fundasi bangunan itu benar-benar kokoh sejak awal. Bangunan pernikahan itu tidak runtuh meskipun terkena goncangan gempa atau badai yang dahsyat sekalipun.
Untuk memahami pernikahan yang memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta‘ala, kita perlu memahami kandungan isi firman Allah Subhanu wa Ta‘ala di alam Al-Qur‘an surat Ali ‘Imran (3): 15
قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰ لِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَ نْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَ زْوَا جٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَا نٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ بَصِيْرٌ بِۢا لْعِبَا دِ
"Katakanlah, Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya."
Di dalam ayat tersebut, rida Allah Subhanu wa Ta‘ala merupakan puncak kebahagiaan pernikahan karena pasangan suami istri ditempatkan di surga dengan keridaan-Nya. Bukankah keridaan-Nya lebih besar daripada segala sesuatu sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur 'an surat at-Taubah (9): 72
وَعَدَ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَا لْمُؤْمِنٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَ نْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسٰكِنَ طَيِّبَةً فِيْ جَنّٰتِ عَدْنٍ ۗ وَرِضْوَا نٌ مِّنَ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
"Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di Surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung."
Masya-Allah! Mereka kekal di surga! Adakah kebahagiaan lain yang lebih besar? Tidak ada!
Ayat ke-15 di dalam surat (3) itu tidak lepas dari ayat ke-14,
زُيِّنَ لِلنَّا سِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَا لْبَـنِيْنَ وَا لْقَنَا طِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَا لْفِضَّةِ وَا لْخَـيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَا لْاَ نْعَا مِ وَا لْحَـرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَا عُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَا للّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰ بِ
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."
Ada pelajaran sangat penting yang terdapat di dalam ayat ke-14 itu. Berikut ini dikemukakan sari Tafsir Al Azhar karya Hamka.
Perempuan
Perempuan mempunyai daya tarik yang luar biasa. Oleh karena itu, menurut Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. (720-721), sesulit apa pun dia harus didapatkannya. Hal itu terjadi sejak zaman dulu sampai kapan pun. Beliau menjelaskan juga bahwa ketertarikan pada perempuan (syahwat) mesti ada pada laki-laki karena memang demikianlah takdir Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Dalam pandangan beliau juga, tiap perempuan mempunyai daya tariknya masing-masing. Jika misalnya di dunia ada 1, 5 milyar perempuan, sejumlah itu pula daya tarik perempuan yang ada.
Masih menurut Hamka, sadar atau tidak, kehidupan sehari-hari suami dipengaruhi oleh istrinya. Pendapat tersebut nyata adanya! Apalagi, pada zaman sekarang. Banyak perempuan yang menghancurkan karier dan menghancurkan harga diri suami karena tidak mampu mengendalikan gaya hidup hedonisme. Ada perempuan yang menjadi penyebab jabatan suaminya “dicopot” atau pangkat suaminya diturunkan. Ada juga perempuan yang bergaya hidup hedonisme menjadi penyebab keluarganya “dimiskinkan” karena suaminya melakukan tindak korupsi. Bahkan, ada perempuan yang untuk memenuhi gaya hidup hedonismenya, dia merongrong suaminya melakukan tindak korupsi meskipun sebenarnya sudah bergaji tinggi karena sebagai pejabat tinggi. Akibatnya, sang suami mati di balik jeruji.
Ada kemenarikan lagi yang dikemukakan oleh Hamka. Jarang ada perempuan yang tergila-gila pada laki-laki seperti halnya laki-laki tergila-gila pada perempuan. Perempuan yang masuk dalam kelompok jarang itu adalah perempuan yang tidak beres (abnormal).
Umumnya yang ada pada perempuan adalah kesetiaan dan penyerahan. Namun, justru itulah daya pikat perempuan yang luar biasa. Hal itu bukan berarti padanya tidak ada syahwat. Mereka pun mempunyainya, tetapi umumnya termotivasi oleh naluri untuk mengasuh anak.
Laki-Laki
Penyaluran syahwat laki-laki kepada perempuan jika tidak dikendalikan sangat berbahaya, baik bagi dirinya maupun bagi perempuan. Tidak berlebihan apa yang dikemukakan oleh Hamka tentang daya tarik perempuan di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 721). Pada zaman jahiliyah, seorang laki-laki menyalurkan syahwatnya kepada perempuan dalam jumlah yang sangat banyak. Pada zaman itu perempuan benar-benar dijadikan objek pelampiasan berahi laki-laki.
Dalam hubungannya dengan penyaluran syahwat, agar harkat dan martabat manusia terjaga dengan baik, Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman di dalam Al-Qur ‘an surat an-Nisa (4): 3,
وَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَا نْكِحُوْا مَا طَا بَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا تَعْدِلُوْا فَوَا حِدَةً اَوْ مَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰۤى اَلَّا تَعُوْلُوْا
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."
Bagi muslim beriman dan bertakwa, tidak ada sedikit pun keraguan akan kebenaran firman Allah Suhanahu wa Ta‘ala yang berisi diizinkannya poligami dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan-Nya sebagaimana dijelaskan di dalam ayat tersebut, yakni adil. Sejak ayat tersebut turun, tentu muslim beriman dan bertakwa, taat pada perintah tersebut dengan melaksanakan prinsip sami‘na wa atha‘na. Saya dengar dan saya taat.
Tentu tidak dimungkiri bahwa di dalam kenyataan ada kesenjangan antara syarat dan ketentuan tersebut dengan pelaksanaannya. Cukup banyak laki-laki yang berlindung pada ayat tersebut untuk berpoligami. Bahkan, pernah di dalam seminar nasional yang diselenggarakan di salah satu Perguruan Tinggi Muhammadiyah paling terkenal di Jawa Tengah, dibahas subtema masalah poligami. Berkenaan dengan itu, dihadirkan narasumber laki-laki yang berpoligami. Kehadirannya di dalam seminar itu disertai para istri dan anaknya.
Dalam sesi tanya jawab, ada penanya yang mempersoalkan masalah sikap adil dengan merujuk pada firman Allah Suhanahu wa Ta‘ala berfirman surat an-Nisa (3): 129,
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْۤا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَا لْمُعَلَّقَةِ ۗ وَاِ نْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِ نَّ اللّٰهَ كَا نَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
"Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Apa jawaban narasumber tersebut? “Justru kami sedang berlatih untuk bersikap adil, maka kami berpoligami!” Tentu jawaban yang demikian menimbulkan "ger" pada peserta seminar seperti dikomando meskipun sesaat kemudian prihatin kepada para istri. Mengapa? Para peserta seminar berpendapat bahwa para istri seperti dijadikan perempuan uji coba oleh suaminya.
Kembali pada masalah syahwat laki-laki. Menurut Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 721), kesukaan laki-laki, setelah disalurkan kepada perempuan, adalah mempunyai anak laki-laki. Pendapat tersebut realilstis. Di dalam catatan sejarah, hal itu terjadi sejak zaman jahiliyah. Pada zaman itu, kelahiran bayi perempuan dianggap sebagai aib. Oleh karena itu, tiap lahir bayi perempuan dibunuh.
Pada zaman kini, ada laki-laki yang berpoligami gegara belum mempuyai anak laki-laki. Kalaupun tidak melakukannya, dia tetap berkeinginan mempunyai anak laki-laki. Berkenaan dengan itu, meskipun sudah mempunyai empat orang anak, karena semuanya perempuan, dia masih berharap dan berikhtiar agar anak kelimanya bejenis kelamin laki-laki. Sama sekali dia tidak peduli pada usia dan kesehatan istrinya.
Banyak orang saleh, baik teman, tetangga, maupun, lebih-lebih orang tuanya, menasihatinya bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Oleh karena itu, mereka harus diperlakukan sesuai dengan perintah-Nya. Ada juga nasihat bahwa dalam banyak hal, anak perempuan pun mempunyai kesamaan memperoleh kesempatan berbuat kebaikan, baik kepada orang tuanya maupun kepada orang lain. Hal ini berarti bahwa ada kesamaan pula dalam hal memperoleh balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa Ta‘ala, yang akhirnya berpengaruh baik terhadap orang tuanya. Bahkan, bagi orang tua yang berhasil mendidik anak perempuannya menjadi anak saleh, ada jaminan surga.
Nasihat itu tidak diperhatikannya sama sekali. Dia bersikukuh pada pendiriannya. Dia mencari pembenaran, bukan kebenaran yang bersumber pada firman Ilahi dan sunah Nabi.
Keinginan mempunyai anak laki-laki terus dituruti. Kiranya inilah salah satu akibat tidak dipahaminya sejak awal bahwa menikah adalah beribadah. Nasihat yang bersumber pada Al-Qur‘an dan hadis pun diabaikan. Pengabaian itu dapat saja menimbulkan pengaruh buruk yang lain. Lebih-lebih lagi, jika anak kelimanya pun perempuan. Dia mungkin memperlakukan kelima orang anaknya itu dengan buruk. Hal ini jelas bertentangan dengan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.
Jika anak kelimanya laki-laki sesuai dengan harapannya, mungkin menimbulkan akibat buruk juga. Tidak tertutup kemungkinan suami memperlakukan anak laki-laki satu-satunya itu sangat istimewa. Hal ini tentu dapat menimbulkan ketidakharmonisan pada anak-anak. Malahan, sangat mungkin pula perlakuan yang demikian menimbulkan ketidaksukaan pada istrinya. Jika kondisi keluarga sudah demikian, tidak ada lagi kenyamanan atau ketenteraman di dalam rumah tangga. Bagaimana mungkin beroleh keridaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala jika rumah tangga dipimpin oleh laki-laki yang demikian?
Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota
Iyus Herdiyana Saputra, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Purworejo