Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (13)

Publish

30 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
553
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (13) 

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Di dalam Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (IAMKS) (12) telah dijelaskan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah yang halal, baik zatnya maupun cara memperolehnya. Rezeki yang halal mendatangkan ketenteraman di dalam keluarga, sedangkan rezeki yang haram (misalnya hasil korupsi) pasti mendatangkan bencana. 

Hal tersebut harus dipahami dengan baik pada masa ta’aruf tidak hanya oleh calon suami istri, tetapi juga oleh keluarga besarnya masing-masing. Mengapa demikian? Pernikahan tidak hanya menyatukan dua orang, yakni seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tetapi juga dua keluarga besar. Inilah tantangan berat yang harus dijawab. Dikatakan tantangan berat karena jawabannya memerlukan kecerdasan yang komprehensif, yakni kecerdasan intelektual, sosial, emosi, dan spiritual. Perlu kita ingat kembali bahwa rujukan jawaban yang bersifat mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selama kita menjadikannya sebagai rujukan mutlak, seberat apa pun tantangan pasti kita dapat menjawabnya dengan benar! 

Cukup banyak kasus pernikahan yang tidak memperoleh ketenteraman karena sangat kuatnya pengaruh buruk dari keluarga suami atau keluarga istri. Ada calon suami dan calon istri yang mempunyai komitmen dalam berikhtiar menjemput rezeki. Mereka sangat memahami pengertian rezeki. Baginya, rezeki bukan hanya uang. Kesungguhan, kejujuran, dan kesabaran dalam ikhtiarnya menjemput rezeki merupakan bagian dari rezeki itu sendiri. Bahkan, mempunyai pemahaman bahwa rezeki telah diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala juga merupakan rezeki. 

Sementara itu, orang tua dari calon suami atau calon istri mempunyai pemahaman yang berbeda. Apa akibatnya? Mereka tidak mengizinkan ta’aruf berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. 

Ada kasus lain. Ketika ta’aruf, calon suami dan keluarganya diketahui mapan secara ekonomis. Calon suami adalah pebisnis sukses. Orang tuanya demikian pula. Ta’aruf berlanjut sampai pada jenjang pernikahan. 

Pada bulan-bulan awal, tahun-tahun awal, bahkan, sepuluh tahun pernikahan, “kebahagiaan” dapat dirasakannya. Namun, di luar perhitungan kecerdasan akalnya, terjadi musibah sehingga bisnisnya bangkrut. Dalam keadaan seperti ini, kegoncangan keluarga tidak dapat dihindari. Di antara mereka (suami atau istri) ada yang depresi karena merasa tidak ada lagi yang dapat membahagiakannya. 

Keluarga yang menganggap bahwa rezeki itu hanya uang, rumah, mobil, dan perusahaan pasti merasa sangat terpukul. Keluarga yang berpikiran bahwa rezeki dapat dicari cukup dengan kecerdasan intelektual dan bekerja keras, tentu berpikir bagaimana cara memperoleh kembali kekayaan hartanya tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Namun, di luar perhitungan nalarnya, keharaman cara yang ditempuhnya akhirnya diketahui juga oleh khalayak. Akibatnya, dia tidak memperoleh keuntungan, tetapi malah mengalami kerugiannya yang sangat besar.

Di dalam IAMKS (13) ini diuraikan lagi kriteria calon suami dengan rujukan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (3): 34, yakni calon suami harus mempunyai modal utama sebagai pelindung dan pemberi nafkah. Namun, uraian difokuskan pada perlunya suami istri saling memahami dalam pemanfaatan rezeki.  

Hanya Suami yang Berpenghasilan

Istilah berpenghasilan, bukan bekerja, sengaja digunakan di dalam artikel ini. Kiranya perlu kita pahami dengan baik bahwa istri yang tidak bergaji bukan berarti tidak bekerja. Dia bekerja juga, bahkan, dari volume pekerjaannya jauh lebih banyak. Dari jam kerjanya jauh lebih lama. Berkenaan dengan itu, tantangannya pun jauh lebih kompleks.

Dalam kenyataan ada suami yang menjadi satu-satunya yang berpenghasilan. Jika sudah ada komitmen sejak masa ta’aruf antara calon suami dan calon istri, bahkan keluarganya, dan semua pihak istiqamah melaksanakannya, dapat diharapkan keluarga itu dalam keadaan baik-baik saja. 

Keadaan keluarga yang semula baik-baik saja dapat berubah menjadi tidak baik-baik saja karena ada pihak yang memanfaatkan rezeki itu untuk kepentingan sepihak. Misalnya, karena pengaruh teman pergaulan, suami merokok, padahal semula tidak. Suami kembali merokok, padahal pernah berjanji berhenti merokok. Akibatnya, ada penambahan anggaran belanja. Pada awalnya dia merokok hanya ketika bersama teman-temannya (apalagi teman bisnisnya) di luar rumah. Lama-lama ketika teman-temannya datang ke rumahnya, dia merasa berkewajiban menjamunya dan rokok merupakan kelengkapan jamuannya. Konsekuensinya, anggaran belanja bertambah lagi. Hal itu tentu mengurangi “uang jatah” istri, yang sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 

Uang yang diberikan kepada istri makin berkurang karena ada kebiasaan baru pada suami, yakni makan di luar. Pada awalnya, suami mau membawa bekal makan yang disiapkan istrinya. Namun, terjadi perubahan: suami tidak mau lagi membawa bekal. Alasannya, rasional, yakni melaksanakan tugas luar. Ternyata pada hari berikutnya dia tidak mau juga membawa bekal. Alasannya berubah: agar ada variasi menu. Alasan tersebut pada awalnya dimaklumi oleh istri.

Pada hari-hari selanjutnya berubah lagi alasannya, yakni bosan dengan masakan istri atau masakan istri tidak enak. Alasan tersebut tentu membuat istri mulai “baper.” 

Masalah makin kompleks karena suami menjadi perokok berat! Di rumah pun merokok. Tidak ada tamu pun merokok. Dalam sehari dia mengisap rokok satu bungkus lebih apalagi jika bersama teman-temannya. Akibatnya, menambah anggaran belanja. 

Makin kompleksnya masalah itu terus bertambah ketika atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala nikotin dari rokok yang diisapnya membakar paru-paru suami sehingga dia harus dirawat di rumah sakit. Benar, sebagian biaya ditanggung oleh BPJS kesehatan, tetapi biaya yang lain, tentu menjadi tanggungan sendiri. 

Atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, suami dapat berkumpul kembali dengan keluarga. Namun, dia tidak mau berhenti merokok. Bahkan, dia mengatakan kepada istrinya, “Lebih baik tidak sarapan daripada tidak merokok.” Pada bulan Ramadhan pun dia tidak berpuasa karena merasa tersiksa jika tidak merokok. Baginya, meninggalkan makan dan minum sehari terasa enteng, tetapi meninggalkan merokok satu jam saja, sangat tersiksa. 

Kekompleksan masalah itu terus berkembang manakala anaknya yang masih sangat kecil sakit dan memerlukan biaya yang sangat besar karena harus dioperasi dan dirawat di rumah sakit-khusus yang terletak sangat jauh dari rumahnya. Bahkan, waktu tunggu pelaksanaan operasinya pun tidak cukup satu dua bulan. Demikian juga perawatan pascaoperasi pun tidak cukup satu bulan. 

Menjadi sangat tragis karena  menurut hasil pemeriksaan laboratorium, anaknya itu sakit akibat mengisap asap rokok yang diembuskan oleh ayahnya dan hal itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Istrinya sangat terpukul. Dia memohon dengan sangat agar suaminya berhenti merokok. Namun, betapa terkejutnya ketika suaminya mengatakan bahwa musibah apa pun terjadi atas izin Allah!  Sakit juga begitu! Orang yang tidak merokok pun dapat sakit paru-parunya!

Semua itu tidak hanya ada di dalam sinetron! Ada juga di dalam kenyataan hidup!

Ancaman bagi Pelaku Kezaliman

Jika suami tidak memberikan nafkah sebagaimana mestinya, berarti dia telah berbuat zalim. Apalagi, rezeki yang semestinya diberikan kepada istri justru digunakan untuk kepentingan yang lebih banyak mendatangkan bahaya atau keburukan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, dia terkena ancaman berat sebagaimana dijelaskan di Al-Qur’an dan As-Sunnah.

1. Al-Qur'an

a. Surat Ibrahim (14): 42

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَا فِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَ بْصَا رُ 

"Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,"

b. Surat al-An'am  (6): 21

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرٰى عَلَى اللّٰهِ كَذِبًا اَوْ كَذَّبَ بِاٰ يٰتِهٖ ۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan suatu kebohongan terhadap Allah atau yang mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak beruntung."

c.  Surat ash-Shaff (61). : 7

وَهُوَ يُدْعَىٰ إِلَى الْإِسْلَامِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah,.sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” 

 d. Surat al-Ghaafir (40): 52

يَوْمَ لَا يَنفَعُ ٱلظَّٰلِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ ۖ وَلَهُمُ ٱللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوٓءُ ٱلدَّارِ

“yaitu pada hari ketika permintaan maaf tidak berguna bagi orang-orang zalim dan mereka mendapat laknat dan tempat tinggal yang buruk.” 

e. Surat al-Ghaafir (40): 18

وَأَنذِرْهُمْ يَوْمَ ٱلْءَازِفَةِ إِذِ ٱلْقُلُوبُ لَدَى ٱلْحَنَاجِرِ كَٰظِمِينَ ۚ مَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ حَمِيمٍۢ وَلَا شَفِيعٍۢ يُطَاعُ.

“Dan berilah mereka peringatan akan hari yang makin dekat (hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan karena menahan kesedihan. Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zalim dan tidak ada baginya seorang penolong pun yang diterima (pertolongannya).” 

f. Surat Saba (55): 42

فَٱلْيَوْمَ لَا يَمْلِكُ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍۢ نَّفْعًۭا وَلَا ضَرًّۭا وَنَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّتِى كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ.

"Oleh karena itu, pada hari ini sebagian kamu tidak kuasa (mendatangkan) manfaat maupun (menolak) mudarat kepada sebagian yang lain. Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim, “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulu kamu dustakan.” 

2.As-Sunnah

a. HR Muslim (1)

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْلِي لِلظَّالِمِ فَإِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ ثُمَّ قَرَأَ {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ}.

“Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Namun, apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya.” Kemudian, Rasulullah membaca ayat yang berbunyi: “Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya, azab-Nya itu sangat pedih dan keras.”

b. HR Muslim (2)

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

"Hindarilah kezaliman, karena kezaliman itu adalah mendatangkan kegelapan pada hari kiamat kelak! Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan." 

c. HR Muslim (3)

فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ  (رواه مسلم) 

“Orang yang menderita bangkrut berat dari umatku adalah orang yang dibangkitkan  pada hari kemudian dengan membanggakan amal ibadahnya yang banyak, ia datang dengan membawa pahala salatnya yang begitu besar, pahala puasa, pahala zakat, sedekah, amal dan sebagainya. Namun, kemudian datang pula menyertai orang itu, orang yang dulu pernah dicaci maki, pernah dituduh berbuat jahat, orang yang hartanya pernah dimakan olehnya, orang yang pernah ditumpahkan darahnya. Semua mereka yang dianiaya orang tersebut, dibagikan amal-amal kebaikannya, sehingga amal kebaikannya habis. Setelah amal kebaikannya habis, maka diambillah dosa dan kesalahan dari orang-orang yang pernah dianiaya, kemudian dilemparkan kepadanya kemudian dicamppakkannya orang itu  ke dalam neraka."

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

"Mencari Simpati Hati dan Suara Pemilih" Oleh: Rumini Zulfikar Pemilu Tahun 2024 saat ini memasuk....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Meninjau Ulang Syarat Mencari Ilmu Menurut Imam Syafii Oleh: Al-Faiz MR Tarman, Dosen Universitas M....

Suara Muhammadiyah

1 April 2024

Wawasan

Menjadi Orang Tua Ideal (Bijak) di Era Digital Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si., Ketua Cabang &l....

Suara Muhammadiyah

26 October 2024

Wawasan

Oleh: Dr H Amirsyah Tambunan, MA Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Beg....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Wawasan

Mimpi dalam Islam Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Bisakah Alla....

Suara Muhammadiyah

25 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah