Hukuman Mati Bagi Koruptor dalam Pandangan Islam
Oleh: Krisna Nurhuda, S.H., M.H. Sekretaris Majelis Hukum & HAM PDM Kota Banjar Jawa Barat
Dunia telah pada kesimpulan bahwa koruptor adalah musuh bangsa dan negara. Koruptor merampas hak negara dan rakyatnya dengan berbagai cara, ia bagaikan kanker yang membunuh seluruh organ tubuh manusia sampai manusia itu mati, menantang nilai-nilai agama dan mengkhianati warisan luhur para pendiri bangsa. Karena mereka, cita-cita serta harapan para pendiri bangsa kian lumpuh. Tanpa hukum yang tegas, mereka akan menghancurkan suatu bangsa, lantas hukuman apa yang tepat untuk membuat mereka jera? Apakah hukuman mati dapat memberikan efek jera dan rasa keadilan bagi masyarakat? Jika hukum tumpul terhadap mereka, siapa yang akan menjadi korban? Tentu, manusia-manusia tidak berdosa.
Tinda pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia di kalsifikasikan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yaitu kerugian uang negara, suap-menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Hukuman bagi koruptor di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara konstitusional kedua undang-undang tersebut memang telah memasukkan hukuman mati sebagai salah satu opsi bentuk hukuman bagi koruptor. Namun dalam praktik, hukuman mati belum pernah divoniskan di Indonesia, melainkan hukuman penjara dan ganti rugi/denda yang kerap Hakim putuskan. Lantas, apakah hukuman mati ini menjadi solusi dalam pemberantasan korupsi?
Hukuman Mati Dalam Pandangan Hukum Islam
Pandangan Islam terhadap hukuman mati bagi koruptor bukanlah sesuatu yang eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau hadis, tetapi para ulama fikih telah membahasnya dalam konteks kezaliman dan pengkhianatan terhadap amanah publik. Apabila dilihat dari dampak, tentu koruptor adalah musuh Allah SWT dan Rasulnya. Korupsi dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan kepercayaan publik. Dalam literatur fikih, seperti yang dijelaskan oleh Imam Muhib al-Thabari dan Imam Abdurrahman Ba’alawi, pejabat yang melakukan kezaliman besar terhadap rakyat termasuk korupsi yang merugikan banyak orang boleh dijatuhi hukuman mati jika kejahatannya sudah sangat merusak.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu. Dimana beliau mengatakan bahwa suatu kejahatan yang tidak bisa diberantas terkecuali dengan cara dibunuh maka harus dibunuh. Sebagaimana beliau katakan;
ومن لم يندفع فساده في الأرض إلا بالقتل قتل , مثل المفرق لجماعة المسلمين , والداعي إلى البدع في الدين
“Orang yang kejahatannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka ia (harus) dibunuh”( Wahbah az-Zuhaili, Fikih al-Islamy wa Adillatuhu, juz. 7, halaman 5595)
Dapat disimpulkan meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam sumber utama Islam, korupsi yang sangat merusak bisa dikategorikan sebagai kezaliman berat yang dalam kondisi ekstrem dapat dikenai hukuman mati menurut sebagian ulama. Tapi penerapannya tetap harus melalui proses hukum yang adil dan penuh kehati-hatian. Dalam konteks ini, sebagai perbandingan dalam penjatuhan hukuman mati bagi koruptor, seperti di China, misalnya yang sudah menerapkan hukuman mati bagi para pejabat yang terbukti melakukan pidana korupsi.
Pemerintah China menerapkan pemutihan terhadap koruptor yang melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap bersih, tetapi bila sehari sesudah pemutihan, terdapat pejabat yang melakukan korupsi, ia langsung dijatuhi hukuman mati. Diketahui dari berbagai sumber yang ada, sampai saat ini China telah menghukum mati lebih dari 10 pejabat. Kedepan kiranya Indonesia bisa mencontoh negara China yang telah berani menjatuhkan hukuman mati uuntuk koruptor, karena tidak hanya memberi efek jera yang kuat saja, namun hal tersebut akan menjadi keadilan bagi rakyat serta menjadi simbol ketegasan negara terhadap pengkhianatan.
Hal yang mengundang gelak tawa di negara kita adalah ketika Koruptor tidak sadar dirinya seorang Koruptor, lebih mengerikannya adalah ketika Koruptor menyerukan pemberantasan Koruptor.