Hoaks dan Ekologi Komunikasi: Disinformasi Mengancam Konservasi Alam

Publish

11 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
53
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Hoaks dan Ekologi Komunikasi: Disinformasi Mengancam Konservasi Alam

Oleh: Mukhlish Muhammad Maududi, S.Sos., S.H., M.H., Dosen Hukum dan Etika Profesi Komunikasi, FISIP, UHAMKA

Ternyata hoaks, Potongan video dengan durasi pendek menampilkan tubuh manusia tidak utuh, diklaim sebagai mangsa dari Harimau Sumatera di Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung Barat.

Menurut Saputra (2020) Informasi palsu dapat menimbulkan kepanikan, bahkan kebencian terhadap satwa liar (Struebig et al., 2018). Fenomena disinformasi semacam ini berpotensi serius dalam memicu konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya harimau, mengingat narasi "pemangsa manusia" dapat merusak upaya konservasi yang telah berjalan (Crown & Doubleday, 2017). Padahal Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta berbagai organisasi non-pemerintah (LSM) seperti World Wildlife Fund (WWF) telah menetapkan untuk melindungi satwa liar dari ancaman kepunahan.

Harimau Sumatera merupakan salah satu satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, Harimau Sumatera merupakan salah satu satwa yang statusnya terancam punah, akibat penebangan hutan dan perburuan liar dan hilangnya habitat. Dengan potong video yang dinarasikan Harimau Sumatera menyerang manusia menimbulkan ketakutan dan berpotensi mengubah sikap public terhadap satwa liar dan konservasi.

Hoaks bukan sekader mengganggu informasi, tetapi ancaman bagi ekologi komunikasi. Dalam konteks ini, ekologi komunikasi merujuk pada jaringan kompleks interaksi dan pertukaran informasi yang membentuk pemahaman publik tentang isu-isu lingkungan, di mana disinformasi dapat merusak fondasi kepercayaan dan keselarasan antara manusia dan alam (Struebig et al., 2018). 

Penyebaran  hoaks  di  media  sosial  telah  menjadi  tantangan  besar  di  era  digital.  Hoaks  dapat menyebabkan  disinformasi, kepanikan publik, dan bahkan konflik sosial (Pradana, 2024). Di samping itu, narasi palsu mengenai serangan harimau terhadap manusia, seperti yang beredar di media sosial, dapat secara signifikan memperburuk konflik manusia-satwa liar yang sudah ada, khususnya dengan karnivora besar seperti harimau (Struebig et al., 2018). 

Komunikasi yang menghormati keseimbangan ekologis, berlandaskan pada kebenaran dan tanggung jawab moral. Ini menuntut pertimbangan etis yang mendalam dalam setiap pesan yang disampaikan kepada publik, terutama yang berkaitan dengan isu konservasi sensitif seperti perlindungan harimau Sumatera (Struebig et al., 2018). 

Komunikator memikul tanggung jawab etis yang esensial dalam penyampaian informasi lingkungan. Hal ini mencakup penggunaan narasi restoratif untuk membangun kembali kepercayaan publik dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya konservasi satwa liar (Nurdin et al., 2020).

Etika tidak hanya soal benar–salah informasi, tetapi juga soal dampak ekologis dari pesan yang disebarkan Oleh karena itu, penting untuk secara cermat menganalisis implikasi jangka panjang dari disinformasi terhadap sikap masyarakat. 

Dalam teori etika komunikasi Aristotelian ditegaskan bahwa komunikasi publik yang efektif dan etis harus berlandaskan pada truth (kebenaran), responsibility (tanggung jawab atas dampak pesan), dan goodwill (itikad baik untuk kesejahteraan bersama), yang esensial untuk membangun kepercayaan publik, mendorong pemahaman yang akurat, dan mempromosikan tindakan yang konstruktif, terutama dalam isu-isu sensitif seperti konservasi lingkungan. Prinsip-prinsip ini menjadi krusial dalam melawan narasi palsu yang berpotensi memicu ketakutan dan permusuhan terhadap satwa liar, seperti halnya hoaks tentang harimau pemangsa manusia, yang dapat merusak upaya konservasi (Campos et al., 2023). 

Dalam ekologi komunikasi, hoaks adalah “polutan informasi” yang secara serius merusak keseimbangan pertama karena hoaks menyebarkan ketakutan, kepanikan, dan kebencian terhadap satwa liar, menciptakan mispersepsi yang memicu konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya melalui narasi "pemangsa manusia" yang dapat merusak upaya konservasi yang telah berjalan (Crown & Doubleday, 2017; Struebig et al., 2018). Kedua hoaks mengganggu aliran informasi yang sehat dan merusak ekologi komunikasi, yang merujuk pada jaringan kompleks interaksi dan pertukaran informasi yang membentuk pemahaman publik tentang isu-isu lingkungan (Struebig et al., 2018). Ketiga hoaks merusak fondasi kepercayaan publik terhadap otoritas dan upaya konservasi, serta mengikis keselarasan antara manusia dan alam. Oleh karena itu, komunikasi publik yang efektif dan etis harus berlandaskan pada kebenaran, tanggung jawab, dan niat baik untuk membangun kepercayaan dan mempromosikan tindakan konstruktif (Campos et al., 2023; Struebig et al., 2018).

Untuk mengembalikan kepercayaan publik Komunikator perlu melakukan Pendekatan komunikasi yang menekankan pada pemulihan, empati, dan rekonstruksi kebenaran pasca-disinformasi. Pendekatan ini berupaya mengembalikan harmoni antara manusia dan alam dengan membentuk narasi positif yang menggantikan hoaks, serta mempromosikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya konservasi (Borkar & Paul, 2023) (Voci & Karmasin, 2023). Pentingnya literasi ilmiah dan komunikasi sains menjadi krusial dalam mengatasi disinformasi dan meningkatkan pemahaman publik mengenai hubungan antara konservasi keanekaragaman hayati, kesehatan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat (Lopes et al., 2024). 

Disinformasi lingkungan melampaui pelanggaran etika digital, ia merupakan ancaman fundamental terhadap keseimbangan ekologis dan interaksi manusia dengan alam. Oleh karena itu, esensial bagi setiap individu untuk mengadopsi peran sebagai "komunikator ekologis", yang berarti menyebarkan informasi dengan menjunjung tinggi tanggung jawab etis, kebenaran, dan empati guna mendukung harmoni ekologis Dengan demikian, integritas informasi menjadi pilar utama dalam membangun kembali kepercayaan, memulihkan keseimbangan ekologis, dan mempromosikan upaya konservasi yang berkelanjutan demi masa depan yang harmonis antara manusia dan alam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Membongkar Klaim Robert Spencer tentang Nabi Muhammad  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilm....

Suara Muhammadiyah

7 February 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas   Mari kita bedah Surah A....

Suara Muhammadiyah

30 May 2025

Wawasan

Upaya IMM dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Oleh: Hendra Apriyadi Kekerasan di satuan pend....

Suara Muhammadiyah

17 October 2023

Wawasan

Ki Bagus Hadi Kusuma Tokoh Kunci Ideologi Pancasila Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Wawasan

Anak Saleh (11) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

3 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah