Hiduplah dengan Menghidupkan Muhammadiyah
Oleh: Salahudin M.I.Kom, Sekertaris PCM Pagedangan, Dosen UMT, Profesional Bankir
"Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu.
Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari-cari kehidupan di Muhammadiyah.
Menjadi apa saja, kembalilah ke Muhammadiyah.”
Tiga pesan inilah yang diwariskan KH Ahmad Dahlan kepada para penerusnya. Pesan yang lahir di awal abad ke-20 itu telah menjadi pegangan moral bagi seluruh warga Persyarikatan selama lebih dari seabad.
Namun, di tahun-tahun mendekati Muktamar Muhammadiyah 2027 yang akan diselenggarakan di Kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), patutkah kita bertanya: Apakah pesan itu masih relevan secara literal dalam konteks hari ini? Ataukah kita memerlukan qaul jadid—rumusan baru—tanpa mengurangi rasa hormat kepada Sang Pendiri?
Konteks Lahirnya Pesan
Pada awal berdirinya Muhammadiyah, tahun 1912, situasi bangsa masih terjajah. Segala sesuatunya serba terbatas, modal kecil, fasilitas minim, sumber daya insani (SDI) sedikit, dan suasana perjuangan penuh tekanan.
Wajar jika KH Ahmad Dahlan mewanti-wanti, “Jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.” Saat itu, yang dibutuhkan adalah pengorbanan total, bukan ekspektasi imbalan. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) pun masih bersifat rintisan—sekolah kecil, klinik sederhana, panti asuhan yang nyaris tanpa dana.
Lompatan Zaman
Hari ini, Muhammadiyah telah menjelma menjadi salah satu gerakan Islam modern terbesar di dunia, dengan ribuan AUM di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial yang mempekerjakan puluhan ribu SDI.
Banyak dari mereka adalah profesional dengan kualifikasi tinggi: dokter, dosen, guru, peneliti, tenaga manajerial, hingga pakar teknologi. Mereka bekerja penuh waktu, berkontribusi besar, dan menopang keberlangsungan serta reputasi Muhammadiyah di mata publik.
Pertanyaannya:
Masih relevankah kita mengulang pesan “jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” tanpa tafsir kontekstual?
Bukankah layak jika para pengabdi itu memperoleh rewards yang setara dengan kinerja dan dedikasi mereka, sebagaimana jika mereka bekerja di luar Persyarikatan?
Paradigma Baru yang Perlu Diformulasikan
Paradigma baru yang saya tawarkan bukanlah pengingkaran terhadap pesan KH Ahmad Dahlan, melainkan pembaruan makna sesuai zaman:
“Hidupilah Muhammadiyah dengan karya, inovasi, dan pengabdian. Izinkan Muhammadiyah menghidupkan pengabdinya dengan kehidupan yang layak, agar semangat berkhidmat semakin tumbuh, dan manfaat Muhammadiyah semakin luas.”
Dengan paradigma ini, spirit awal “hidup-hidupilah” tetap terjaga, tetapi Muhammadiyah juga memberi pengakuan profesional yang sehat bagi para pengabdinya. Bukan sekadar gaji, melainkan penghargaan, perlindungan, dan ruang berkembang.
Mengapa Ini Penting?
Menjaga Keberlanjutan SDI – Profesional berkualitas akan bertahan jika merasa dihargai secara moral dan material.
Mencegah Salah Tafsir – Pesan pendiri yang dimaknai kaku dapat menimbulkan beban psikologis bagi SDI, seolah mencari nafkah di Muhammadiyah adalah “tidak etis”.
Meningkatkan Marwah AUM – AUM yang sehat secara finansial dan manajemen akan menjadi role model lembaga Islam modern.
Menuju Muktamar 2027
Artikel ini tidak dimaksudkan memberi jawaban final, melainkan memantik diskursus di ruang publik Muhammadiyah. Harapannya, para pimpinan dari ranting hingga pusat, para aktivis, alumni, dan simpatisan, bisa menangkap gagasan ini sebagai bahan perumusan resmi yang kelak dibahas dan disepakati di Muktamar Muhammadiyah 2027 di UMSU.
Di sinilah tantangan kita: merumuskan qaul jadid yang menjaga roh pengabdian, namun juga memuliakan para pengabdi. Muhammadiyah bukan hanya organisasi dakwah dan amal, tetapi juga rumah profesionalisme dan penghargaan yang setara dengan zaman.
Fastabiqul khairat.
Nashrum minallah wa fathun qarib wa basyiril mu’minin.


