Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Di dunia kita yang semakin sibuk dan didominasi digital, menemukan waktu untuk refleksi spiritual seringkali terasa mewah. Namun, setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim memulai ibadah haji, dengan sengaja menjauh dari rutinitas padat mereka untuk terhubung kembali dengan keyakinan mereka. Lewat artikel ini saya mencoba memberikan wawasan mendalam tentang daya tarik perjalanan ini dan dampaknya yang mendalam serta transformatif.
Haji berfungsi sebagai penawar penting bagi kekosongan spiritual yang sering dialami dalam kehidupan material dan digital kita. Kini orang merasa kurang terhubung dengan spiritualitas dan lebih terhubung dengan hal-hal materi. Keterpisahan ini tidak hanya produk dari era digital; ini meluas ke teknologi canggih kita yang secara progresif mengasingkan kita dari keberadaan yang membumi.
Di masa lalu, orang tidur di tanah, mereka makan di tanah. Sekarang, dengan perabotan dan gedung-gedung bertingkat tinggi, kita mengangkat diri kita tinggi-tinggi, kita mulai merasa lebih bangga. Seolah-olah setiap orang duduk di singgasananya.
Ketinggian ini, ditambah dengan transportasi modern dan perluasan kota, membuat kita di udara,terputus dari sisi spiritual fundamental keberadaan kita. Haji, oleh karena itu, menjadi waktu istirahat yang krusial, sebuah retret yang disengaja yang memungkinkan individu untuk mencari koneksi spiritual yang sangat dibutuhkan ini.
Bagi umat Muslim, ini melambangkan puncak pengalaman spiritual, sebuah pemisahan sementara namun mendalam dari gangguan duniawi, yang mengarah pada pengalaman yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Seseorang hanya perlu menjadi bagian dari aliran itu dan mengalaminya sendiri.
Secara historis, haji adalah usaha yang berat dan seringkali hanya sekali seumur hidup bagi sebagian besar Muslim. Orang-orang akan menabung sepanjang hidup mereka, berharap dapat mengumpulkan cukup uang untuk melakukan perjalanan di usia tua mereka. Ini sangat mahal, dan kebanyakan orang tidak mampu melakukan haji. Kelangkaan ini memberikan nilai yang sangat besar dan harapan yang tinggi pada ibadah haji.
Beberapa orang yang berhasil melaksanakannya seringkali dianugerahi gelar khusus seperti haji untuk pria atau hajah untuk wanita, yang menandakan status mereka sebagai peziarah. Penghormatan budaya yang mendalam ini mengangkat haji dalam kesadaran kolektif Muslim, menetapkan standar tinggi untuk potensi transformatifnya. Secara mental dipersiapkan untuk perubahan, terutama mengingat banyak yang melaksanakannya di usia lanjut, para peziarah sering mendekati haji sebagai pengaturan ulang spiritual yang lengkap.
Aspek penting dari transformasi ini berakar pada tradisi kenabian yang menjanjikan bahwa jika seseorang melakukan ibadah haji "dengan cara yang diridhai Allah" – yang berarti tanpa bertengkar atau menggunakan kata-kata kotor – orang tersebut akan kembali dari haji seperti hari ia dilahirkan.
Dari perspektif Islam, ini menandakan bebas dari semua dosa sebelumnya, karena Islam mengajarkan bahwa individu tidak dilahirkan dalam dosa tetapi bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri. Janji yang kuat ini menyebabkan banyak orang memandang haji sebagai pemurnian utama, kesempatan untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu dan memulai jalan baru yang bebas dosa.
Meskipun ketidaksempurnaan manusia tetap ada, dosa-dosa besar pasti akan dihindari oleh orang setelah melakukan haji, dan mereka telah mengubah arah dan orientasi mereka menjauh dari hal-hal dunia ini dan melihat ke arah akhirat. Tindakan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah selama haji, melupakan gangguan dunia, memang merupakan praktik yang mengubah hidup.
Namun, saya juga melihat adanya kekhawatiran kontemporer: potensi haji untuk merosot menjadi sekadar liburan lain atau hanya daya tarik wisata. Ini terlihat, misalnya, lewat tren yang meningkat dari swafoto dan penggunaan telepon yang tidak pantas di situs-situs suci seperti ka'bah. Kita mempertanyakan rasa hormat yang ditunjukkan ketika orang membelakangi Ka'bah untuk mengambil swafoto, membandingkannya dengan ajaran Islam klasik yang menekankan penghormatan, seperti tidak membelakangi atau meluruskan kaki ke arah Ka'bah.
Meskipun itu tidak dilarang keras, tapi banyak yang menganggap hal ini sangat tidak pantas bagi para jemaah haji untuk menghabiskan saat-saat berharga ini dengan mengobrol di telepon padahal mereka bisa berdoa, diam-diam memohon ampunan, atau terlibat dalam zikir kepada Allah. Para Jemaah seharusnya menggunakan kesempatan unik ini untuk berkomunikasi secara tulus dengan Allah, menekankan bahwa tidak seperti agama lain, dalam Islam, "kita tidak pergi dan mengaku kepada seorang imam tetapi kita mengaku kepada Allah." Saya menekankan bahwa para jemaah harus berusaha menjauhkan dunia digital selama haji, mencegahnya mengikis esensi spiritual yang mendalam dari perjalanan tersebut.
Kesimpulannya, haji tetap menjadi pengalaman spiritual yang sangat mendalam dan seringkali mengubah hidup bagi banyak Muslim di seluruh dunia. Ini menawarkan kesempatan unik untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk material dan digital kehidupan modern dan membangun kembali hubungan yang mendalam dengan Yang Ilahi.
Meskipun kemudahan perjalanan dan teknologi telah mengubah beberapa aspek ibadah haji, perjalanan spiritual inti berupa kerendahan hati, pemurnian, dan pengabdian terus mengubah hidup, meskipun dengan tantangan kontemporer untuk mempertahankan fokus sakralnya.