Haruskah Wanita Safar Bersama Mahram?
Oleh: Safwannur, Alumnus Ponpes Ihyaussunnah Lhokseumawe dan PUTM Yogyakarta
Masalah bepergian keluar (safar) bagi wanita masih menjadi tema menarik saat ini seiring meningkatnya intensitas aktivitas di luar rumah, baik bekerja, traveling atau belajar. Pertanyaannya, apakah harus disertai mahramnya atau tidak? Mengingat meningkatnya tindak kriminal dewasa ini. Sejatinya, urgensi mahram (orang yang dilarang-haram dinikahi) bagi wanita adalah memberikan perlindungan dari beragam kemungkinan buruk, seperti salah satu sebutan al-Qur’an untuk kaum pria dengan, qawwamuna ‘ala an-nisa’, yang dapat dimaknai memiliki tanggung jawab memberi perlindungan dan rasa aman pada kaum wanita. Memang, terdapat sebuah hadits eksplisit akan ketidakbolehan seorang wanita bepergian sehari atau lebih tanpa didampingi mahram atau suaminya, kecuali untuk keperluan yang diizinkan syariat serta aman,
عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ: سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبَنِي، قَالَ: لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةً يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ ... (رواه البخاري)
“Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. yang berperang bersama Nabi Saw dua belas kali, ia berkata: Aku mendengar empat hal yang menakjubkan dari Nabi Saw, sabdanya: “tidak boleh seorang wanita bepergian dalam suatu perjalanan yang lamanya dua hari kecuali dengan suami atau mahramnya... (HR. Al-Bukhari)
Tetapi, hadits itu mengandung ‘illah (alasan) hukum, dimana saat itu kondisi keamanan selama perjalanan tidak kondusif, maka wanita dilarang bepergian karena jiwanya dapat terancam. Jika kondisi aman, tentu saja kekhawatiran itu hilang dan tidak ada halangan bagi kaum wanita untuk keluar rumah dan bepergian sendirian. Pun hukum itu berlaku terkait dan berkisar pada ‘illat-nya, seperti rumusan ulama ushul,
الْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَماً
“Hukum itu berkisar pada 'illat-nya, ada atau tidaknya 'illat tersebut.”
Hadits di atas yang melarang wanita bepergian bersifat umum dan masuk kategori muamalah, bukan bagian ibadah mahdhah (khusus) yang ketentuannya diatur dalam nash syariat. Pelarangan tersebut untuk menjaga keselamatan dan menutup bahaya yang bisa terjadi, yang dapat terwujud dengan banyaknya teman wanita yang menemani, apalagi kondisi wilayah tujuan safar aman. Hadits lain yang sering menjadi dasar pelarangan wanita bepergian seorang diri adalah sebuah hadits dhaif karena ada seorang rawi ternilai dusta dalam jalur sanadnya, yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir yaitu,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ في الخُرُوجِ إِلاَّ مُضْطَرَّةً - يَعْنِي: لَيْسَ لَهَا خَادِمٌ- إِلاَّ في العِيْدَيْن: الأضْحَى والفِطْر، وَلَيْسَ لَهُمْ نَصِيْبٌ في الطُّرُقِ إِلاَّ الحَوَاشِي (رواه الطبراني)
“Dari Ibn Umar ra. berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperkenankan bagi wanita keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa (karena tidak mempunyai pembantu) dan hanya pada dua hari raya: (‘ied) al-adha dan (‘ied)al-fitri saja dan selagi berjalan hanya di pinggir jalan saja” (HR. At-Thabrani)
Dalam hadis yang lain Nabi tidak melarang wanita bepergian, bahkan menganjurkan untuk diberi izin bagi wanita yang hendak ke masjid, menuntut ilmu agar berpendidikan sebagai bekal mendidik anak-anaknya dan kepentingan lainnya,
لَا تَمْنَعُوْا اِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَإِذَا اسْتَأْذَنَتْكُمْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ اِلَى الْمَسَاجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا (رواه البخاري)
“Hendaknya kamu tidak melarang hamba-hamba Allah wanita pergi ke Masjid. Apabila istri seseorang minta izin pergi ke masjid, janganlah ia melarangnya” (HR. Al-Bukhari)
قَدْ أَذِنَ اللَّهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ (رواه البخاري)
“Allah telah memberi izin kepada kamu sekalian para wanita keluar rumah untuk mencukupi apa yang menjadi kepentinganmu” (HR. Al-Bukhari)
Para istri Nabi juga pernah melaksanakan ibadah tanpa didampingi oleh mahramnya, seperti dalam riwayat bahwa 'Aisyah dan ummahat al-mu’minin lain pergi haji di masa khalifah Umar dan justru ditemani oleh Abdurrahman bin ‘Auf dan Utsman bin Affan, dan tak ada sahabat lain yang menyelisihi, hingga perihal ini dianggap ijmak sahabat (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, vol. IV, Beirut: Dar al-Ma’rifah, h. 76). Mahram bagi wanita sejatinya adalah keamanan dan kemaslahatan, tidak mutlak dimaksudkan pada individu atau personal. Maka Majelis Tarjih Muhammadiyah membolehkan wanita keluar rumah meski tanpa mahram untuk safar, arak-arakan dan demonstrasi untuk kepentingan agama dan kemaslahatan dirinya dengan tetap memperhatikan rambu-rambu syari’at Islam dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, serta tetap memelihara adab-adab kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan sesuai tuntunan Islam, yang termaktub dalam tuntunan Adabul Mar’ah fil Islam (Muktamar Tarjih ke-20, 1976 di Garut, Jawa Barat) antara lain sebagai berikut:
1) Tidak boleh memamerkan diri pribadinya atau perhiasannya, sebagaimana firman Allah, “wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyah, dan janganlah kamu para wanita berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu" (Q.s. al-Ahzab [33]: 33);
2) Tidak boleh bercampur baur dengan laki-laki, seperti hadits riwayat Ibnu Juraij dan Atha’, bahwa istri-istri Nabi Saw tawaf bersama dengan lelaki, lalu Ibnu Juraij bertanya: “Bagaimana mereka itu sampai bercampur baur dengan laki-laki?”, jawab ‘Atha’: “benar mereka tawafnya bersama lelaki, tapi mereka tidak bercampur baur dengan para lelaki tersebut” (HR. Al-Bukhari);
3) Tidak boleh memakai wangi-wangian yang menarik perhatian/merangsang, seperti hadits dari Abu Musa al-Asy’ari, “Wanita yang berminyak wangi kemudian lewat di tengah-tengah orang banyak dengan maksud agar mereka mencium harumnya, maka dia (sama dengan berzina), dan seluruh mata (pandangan) itupun berzina (dapat menarik perhatian pada zina)” (HR. Ibnu Hibban)
Para ulama sepakat pensyariatan mahram bertujuan memberi perlindungan pada wanita dari berbagai gangguan. Namun dalam pemahamannya, sebagian ulama mengharuskan adanya mahram secara mutlak, dan sebagian lain tidak mengharuskannya. Yusuf al-Qaradhawi (2002) dalam Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah berpendapat, bahwa ‘illat dalam hal ini adalah kekhawatiran akan keamanan wanita, apalagi di masa lalu alat tranportasi masih tradisional seperti unta, kuda dan melewati gurun padang pasir yang penuh risiko keamanan serta kehormatan wanita tersebut. Berbeda dengan era sekarang, maka tidak ada salahnya dari sisi syariat dan bukan pelanggaran terhadap hadits tersebut, jika wanita bepergian tampa mahram.
Maka wajar, jika saat itu Nabi mengharuskan adanya mahram untuk melindungi wanita dalam perjalanannya. Kini konsep mahram tidak lagi harus suami atau keluarganya yang mendampingi, melainkan dalam model yang lain dengan tetap mengedepankan substansinya yaitu perlindungan. Perubahan zaman, berdampak pada perubahan hukum, sesuai dengan kaidah fikih,
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الْأَزْمَانِ
“Tak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran perubahan masa.”
Pada masa Nabi adanya larangan bagi wanita untuk keluar rumah tanpa ada mahram atau suami yang mendampinginya merupakan kemaslahatan bagi kaum wanita ketika itu, karena belum adanya jaminan kemanan pada waktu itu. Akan tetapi, di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, ketika situasi dan kondisi sudah berubah, keamanan perjalanan terjamin, maka kemaslahatannya pun berubah. Mahram tidak hanya dimaknai secara tekstual sebagai individu yang mendampingi seorang wanita, akan tetapi bisa media lain yang dapat memberikan rasa aman bagi seorang wanita dalam perjalanannya. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2020