YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Fenomena job hugging kini kian marak ditemui di dunia kerja. Istilah ini merujuk pada kondisi ketika karyawan terlalu “melekat” pada pekerjaannya, meski ada peluang untuk berkembang atau berpindah. Menurut Dr. Rini Juni Astuti, SE., M.Si., Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), fenomena ini ibarat pedang bermata dua.
“Job hugging bisa meningkatkan loyalitas, tetapi juga berisiko menimbulkan stagnasi. Kuncinya adalah menciptakan lingkungan kerja yang menyeimbangkan stabilitas dengan tantangan perkembangan karier,” jelas Rini saat diwawancarai secara daring, Senin (15/9).
Faktor utama yang mendorong karyawan cenderung melakukan job hugging biasanya terkait rasa aman dan persepsi risiko. Banyak pekerja khawatir kehilangan stabilitas finansial maupun psikologis, bahkan ada yang kurang percaya diri menghadapi tantangan baru. Kondisi ini diperkuat oleh budaya kerja di Indonesia yang kolektif, hierarkis, dan paternalistik. Loyalitas kepada atasan maupun organisasi masih sangat dihargai, sehingga meski karier stagnan, karyawan sering memilih tetap bertahan.
“Budaya Indonesia cenderung menjaga harmoni dan menghindari konflik, sehingga banyak pekerja lebih memilih stabilitas. Loyalitas dianggap sebagai bentuk bakti dan dedikasi. Selain itu, banyak yang lebih menekankan pada job security berupa gaji tetap, tunjangan, dan pensiun, ketimbang tantangan karier. Inilah sebabnya fenomena job hugging sangat kuat, terutama di sektor pemerintahan dan BUMN,” tambahnya.
Selain faktor budaya, sistem manajemen SDM perusahaan juga berperan besar. Perusahaan dengan jalur karier tidak jelas, reward statis, budaya paternalistik, serta minim program up-skilling cenderung memperkuat job hugging. Sebaliknya, praktik manajemen modern seperti talent management, rotasi kerja, sistem reward berbasis kinerja, serta budaya inovasi dapat membantu menguranginya.
“Perusahaan tidak perlu menghapus job hugging sepenuhnya karena loyalitas tetap bernilai. Namun, fenomena ini harus dikelola dengan baik. Strategi yang bisa dilakukan antara lain membangun jalur karier yang jelas, memperkuat pelatihan, menerapkan rotasi, hingga menghadirkan coaching dan mentoring. Dengan begitu, karyawan tidak sekadar bertahan, tetapi juga produktif,” tegas Rini.
Bagi generasi muda yang baru memasuki dunia kerja, Rini menekankan pentingnya membangun kompetensi dan keberanian menghadapi perubahan.
“Anak muda sebaiknya fokus pada pengembangan diri, berani keluar dari zona nyaman, dan membangun mindset karier jangka panjang. Jangan takut dengan perubahan, perluas jejaring, serta kelola keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan,” ujarnya.
Menurutnya, titik temu terbaik adalah ketika perusahaan mampu memberikan rasa aman yang sehat sekaligus peluang pengembangan, sementara karyawan memanfaatkan stabilitas tersebut untuk tumbuh dan adaptif.
“Prinsipnya adalah security as a foundation, growth as a direction. Dengan begitu, loyalitas berubah dari job hugging pasif menjadi loyalitas produktif,” tutup Rini. (NF)