Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I
Dalam khazanah agama islam dosa sering disebutkan ketika melakukan sebuah kemaksiatan. Akan tetapi ada satu dosa yang sebenarnya banyak dilakukan oleh ilmuwan dan mungkin tidak dirasakan, yaitu plagiasi ilmu Allah SWT.
Dalam tradisi ilmiah, seorang ilmuwan muslim jarang sekali menyebutkan nama Allah SWT dalam kajian ilmunya. Apakah memang secara etik tidak sesuai dengan etika ilmu atau memang menganggap ilmu adalah hasil pikir manusia secara murni? Inilah yang menyebabkan penulis merasa perlu menulis akan hal ini.
Dalam perdebatan paradigma keilmuan, banyak yang berusaha melakukan integrasi ilmu dengan agama, akan tetapi masih dalam tataran konsep yang sangat variatif. Sehingga masih menganggap bahwa ilmu itu terpisah antara ilmu dunia dan akhirat.
Dalam konteks ini, hakikatnya ilmu tidak ada pemisahan, karena sebagai ilmuwan muslim seharusnya menjadikan Allah SWT sebagai Zat yang memberikan ilmu dan menetapkan ilmu dalam kehidupan micro dan macro. Dalam asma'ul husna disebut al 'aliim atau Zat Yang Maha Mengetahui dengan Ilmu Nya.
Dengan sifat ini Allah SWT hakikatnya menciptakan alam semesta dengan ilmu-Nya, menetapkan hukum Nya dengan ilmu Nya, itulah yang disebut dengan ayat kauniyah (ayat alam semesta). Langit dan bumi ditetapkan hukumnya dengan ilmu Allah SWT maka melahirkan ilmu Fisika, keteraturan zat-zat dalam air, udara dan lainya, maka melahirkan ilmu kimia. Gunung dengan strukturnya melahirkan ilmu vulkanologi. Interaksi sosial manusia ditetapkan hukumnya oleh Allah SWT yang akhirnya melahirkan ilmu sosiologi, hukum dan lain sebagainya. Manusia dengan morfologi dan anatominya didistribusikan ilmu Allah SWT yang disebut dengan biologi, serta prilakunya menghadirkan ilmu psikologi dan antropologi.
Semua ilmu adalah distribusi ilmu Allah SWT yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam alam semesta, sehingga siapapun yang mempelajari, baik membaca, meneliti, mengamati, mengembangkan ilmu pengetahuan, hakikatnya sedang mempelajari ilmu Allah SWT.
Lalu mengapa banyak yang tidak mau menyebut nama Allah SWT dalam menyebarkan ilmunya, sebagai pemilik tunggal ilmu pengetahuan? Bukankah ini plagiasi ilmu dari sang empunya? Betapa tersinggungnya seorang ilmuwan yang teorinya dikutip oleh ilmuwan lain, tanpa mensitasi namanya dan sumbernya, sedangkan ilmuwan tersebut hanya menemukan ilmu yang Allah SWT telah tetapkan dalam alam semesta.
Itulah yang dimaksud dosa ilmiah, ketika ilmuwan tidak mengakui bahwa ilmunya hanyalah Hukum- hukum ketetapan ilmu Allah SWT yang ada dalam alam semesta, dan kewajiban manusia adalah mempelajari dan mengembangkan dengan akalnya. Bukan mensabotase dan menyembunyikan sang pemilik mutlak ilmu tersebut.
Mungkin hal ini akan menurunkan kesan kehebatan seorang ilmuwan, karena dirinya bukan pencipta awal, akan tetapi hal ini akan menjadikan manusia memiliki sikap takjub kepada Allah SWT, sehingga menghadirkan iman yang luar biasa kepada kekuasaan Allah SWT. Sehingga dalam al Qur'an disebutkan:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)
Dengan memahami hal ini semua ilmuwan hanyalah penyampai ilmu Allah SWT dalam segala bidang, tidak terkecuali. Tugas ilmuwan hanya mempelajari alam semesta baik eksak, sosial, humaniora dan agama, serta mengembangkanya, bukan memplagiasi dengan lupa bahwa semuanya adalah ilmu Allah SWT. Sehingga dalam jurnal-jurnal ilmiah tidak malu menyebutkan nama Allah SWT sebagai pemilik ilmu, dalam kajian scientific tidak malu menyebutkan nama Allah SWT, sehingga nama Allah bergaung didalam kajian ilmiah.
Hendaknya dosa ilmiah ini diminimalisir, sehingga ilmu pengetahuan kembali pada kebenaran. Dan suatu hari sudah tidak ada pemilahan ilmu, karena semua ilmuan dalam bidangnya adalah penyampai ilmu Allah SWT, yang semakin tinggi ilmunya akan semakin takut kepada Allah SWT dan semakin tunduk, Allah Ta’ala berfirman:
( إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ )
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)
Demikianlah seharusnya ilmuwan muslim berfikir, sehingga ilmu pengetahuan adalah jalan menebarkan keimanan, jalan surga bagi semuanya. Tidak harus ilmu agama, karena mengenal Allah SWT dapat dilakukan dengan memahami ayat-ayat Allah SWT yang kauniyah, yang terstruktur dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I, Dosen UM Metro