Dimensi Kemanusiaan Ibadah Haji

Publish

15 May 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
281
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Muhammad Qorib, Dekan FAI UMSU/ Bendahara PWM Sumut

 

Ibadah haji merupakan salah satu diantara lima arkaan al-Islaam (rukun Islam) yang membutuhkan persyaratan lahir maupun persiapan batin. Ibadah haji menjadi satu-satunya jenis ibadah yang dapat mengumpulkan umat Islam yang berasal dari berbagai latar belakang bahasa, budaya, suku dan bangsa yang berbeda dari seluruh penjuru dunia. Banyak dimensi yang beririsan langsung dalam pelaksanaan ibadah haji ini, diantara yang paling dominan adalah kemanusiaan.

Teologi Haji

Meskipun menuntut syarat yang ketat, setiap tahun jutaan calon jamaah haji terus menerus membanjiri Kota Mekah dan Kota Madinah. Secara keseluruhan, jumlah jamaah haji pada 2025 ini mencapai 1.8 juta jiwa. Khusus Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Agama RI, jumlah calon jemaah haji pada tahun ini mencapai 221 ribu. Jumlah itu menjadi yang terbesar di dunia. Bahkan antrian untuk menunaikan ibadah haji dapat lebih dari 10 tahun. Begitu besar ekspektasi terhadap ibadah ini sehingga setiap Muslim berdoa untuk menjadi salah satu dari Dhuyuuf al-Rahmaan (Tamu Allah) itu. 

Ibadah haji merupakan perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah. Muara dari ibadah haji ini adalah predikat mabrur. Predikat tersebut tidak berbalas apa pun kecuali surga. Selain itu, pada saat musim haji, Arafah menjadi salah satu tempat yang sakral  untuk berkontemplasi dan memohon doa. Terlebih lagi doa-doa yang dimohonkan pada golden moment (momen emas) tersebut akan dikabulkan. Kesempatan tersebut tidak bisa datang setiap waktu, hanya setahun sekali.

Banyak ayat Alquran yang mendeskripsikan perintah haji ini. Dalam Surah Ali-Imran (3) ayat 96 dan 97 dijelaskan bahwa Rumah Ibadah pertama yang dibangun  adalah Ka’bah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan petunjuk bagi umat Manusia. Kata diberkati seakar dengan baraakah, yang berarti ziyaadah al-khair (melahirkan kebaikan yang kontinyu). Karena memang Baitullaah, nama lain untuk Ka’bah, senantiasa menjadi sumber terpancarnya kebaikan.

Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa perintah haji ini diwajibkan kepada semua manusia. Namun Allah Maha Mengerti, bahwa manusia yang wajib melaksanakan ibadah haji harus bernar-benar istithaa’ah (berkemampuan). Istithaa’ah dalam ayat ini diartikan dengan terpenuhinya kebutuhan lahir, seperti;  Biaya Perjalanan Ibadah Haji, kebutuhan selama perjalanan, dan bekal untuk keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, istithaa’ah dapat juga dipahami sebagai sikap lapang dada untuk berinteraksi dengan banyak orang yang melaksanakan ibadah haji.

Sementara dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 197 Allah menjelaskan bahwa haji dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu. Sebab itu, waktu-waktu haji harus digunakan secara produktif, bukan sebatas melaksanakan ritual, namun terjadinya proses ta’aruf (saling mengenal) dan silang budaya antar umat Islam. Dengan itu, umat Islam memiliki wawasan yang semakin luas. Pada ayat tersebut Allah juga menegaskan bahwa ada tiga larangan dalam melaksanakan ibadah haji, yaitu; tidak boleh rafats, tidak boleh fusuuq, dan tidak boleh jidaal.

Rafats diartikan dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung pesan pornografi dan pornoaksi. Pada tingkat yang lebih tinggi, rafats diartikan dengan melakukan hubungan suami istri. Allah menempatkan rafats pada urutan pertama karena memang persoalan pornografi dan pornoaksi dengan berbagai variannya menjadi persoalan individual dan sosial tersendiri dan ini lekat dengan kehidupan dan kebutuhan dasar manusia. Tarikan ke arah itu sangat besar sehingga diperlukan self controlling (kontrol diri) yang kokoh.

Fusuuq diartikan dengan penyakit-penyakit batin yang dapat mencederai ikatan sosial. Fusuuq dapat memutus mata rantai persaudaraan. Fusuuq dapat mewujud dalam bentuk kesombongan. Kesombongan muncul karena berbagai hal, misalnya; karena ilmu, karena kekayaan, karena jabatan, karena kecantikan. Muara dari hal tersebut adalah perasaan lebih baik dan menganggap rendah orang lain. Fuusuq juga mewujud melalui sifat buruk sangka, dengki, curiga dan iri hati.

Jidaal diartikan sebagai perdebatan dengan tujuan untuk menjatuhkan rekan bicara. Jidaal muncul karena lemahnya kesabaran sehingga berbantah-bantahan dan saling cemooh dalam berbicara. Untuk sebuah urusan ketika kepentingan pribadi dan kelompok lebih dominan, maka lahirlah jidaal. Jidaal senantiasa abai dengan orang lain dan merasa terganggu dengan hadirnya orang lain. Jidaal berujung pada tindakan saling mengumpat, serta melahirkan pertengkaran dan permusuhan. 

Ketiga larangan haji itu juga ditegaskan oleh Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Barangsiapa haji dan dia tidak rafats, dan tidak berbuat fasik, maka dia kembali seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Majah). Ayat dan hadis tersebut menjelaskan bahwa puncak haji sesungguhnya adalah self controlling (pengendalian diri) dan terwujudnya etika publik dalam berbagai dimensi kehidupan. Ibadah haji mengantarkan pelakunya semakin tertib dalam beribadah dan semakin peka rasa sosialnya.

Dimensi Kemanusiaan

Substansi ibadah haji sejatinya adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Berkumpulnya umat Islam dari seluruh dunia  dengan berbagai varian latar belakang sosial budaya mengajarkan al-akha (persaudaraan). Berkumpulnya manusia di satu tempat dan meleburnya status sosial mengajarkan al-Musawa (persamaan). Sementara itu, perbedaan untuk masalah-masalah furu’iyah (cabang dan ranting) mengajarkan al-Tasamuh (toleransi). Boleh jadi masih banyak ciri lain yang terpancar dari pelaksanaan ibadah haji. Haji mabrur yang didambakan setiap orang mengandung ciri-ciri seperti itu.

Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa produk haji mabrur terlihat dari keadaban publik yang dipraktikkan oleh pelaksana haji itu. Haji mabrur ditandai dengan hubungan yang semakin baik kepada Allah dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Puncak dari nilai-nilai haji mabrur melekat dalam pribadi yang semakin mencintai persaudaaran, semakin rendah hati, santun dalam bertutur sapa, senantiasa berbagi, dan semakin toleran dalam kehidupan sehari-hari.

Secara sederhana, jalan untuk meraih haji mabrur dapat ditempuh melalui niat yang tulus karena Allah, cara mendapatkan rezeki yang halal, rasa peduli yang tinggi untuk membantu sesama jamaah haji, kerelaan menerima teman dalam satu penginapan, mematuhi ketentuan-ketentuan selama haji, atau menerima akomodasi dan konsumsi tanpa reaksi berlebihan. Haji mabrur tidak muncul secara otomatis sesaat setelah musim haji selesai. Haji mabrur tidak saja dilihat dari syarat, rukun dan wajib haji yang mesti dikerjakan, namun terdapat pada komitmen untuk senantiasa berbuat baik dan memberi manfaat bagi kemanusiaan. Semoga bermanfaat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Agus setiyono Teknologi terus berkembang pesat, dari era revolusi industri 4.0 hingga society....

Suara Muhammadiyah

31 October 2023

Wawasan

Ibrah Keluarga Ibrahim Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Saya in....

Suara Muhammadiyah

8 August 2024

Wawasan

Wasiat dan Warisan: Memahami Hak Perempuan dalam Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fak....

Suara Muhammadiyah

16 April 2025

Wawasan

Merdeka: Ketika Kita Menjadi Mahardika Seutuhnya Oleh: Agus setiyono Merdeka adalah nyanyian jiw....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Bagaimana Islam Melihat Sosok Isa Al Masih (Mesias)?  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

21 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah