Karakteristik Ayat-ayat Puasa (2) Membangun Semangat Menaklukkan Tantangan Berat
Ust. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran & Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia
Dalam pemberlakuan syariat ilāhiyyah dan pemberian amanah taklīfiyyah, Allah selalu memperhatikan sisi insāniyyatu al-insān (kemanusiaan manusia) yang kemampuannya terbatas dan Allah tidak menggunakan standar ilāhiyyah (ketuhanan) yang kekuatan-Nya tidak terbatas.
Sehingga harus diyakinkan kepada semua mukallaf bahwa tidak ada satupun kewajiban beban agama yang beratnya di luar batas kemampuan manusia. Lā yukallifu Allāhu nafsan illā wus`ahā.
Semuanya sangat mungkin dilakukan manusia. Termasuk ibadah puasa. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan itu hanya ada di satu tempat yaitu di Q.S. al-Baqarah [2]: 183 ini saja yang dirangkai dengan empat ayat penjelas setelahnya.
Ayat-ayat puasa itu unik. Ini satu-satunya perintah puasa ramadhan dan tidak kita temui di ayat dan surat lain. Tetapi rangkaian ayat-ayat itu mengisyaratkan bahwa puasa itu tidak bisa menjadi sempurna sendiri. Artinya bahwa kesempurnaan ibadah puasa harus didukung oleh ketertiban dan keajegan pelaksanaan ibadah yang lain.
Cara mewajibkannya juga berbeda dengan ibadah fardlu lainnya: kewajiban puasa dinyatakan dengan ungkapan kutiba alā.
Struktur bahasa yang memberi kesan psikologis bahwa puasa itu ibadah berat. Karena tradisi yang lazim di dalam al-Quran menunjukkan bahwa syariat-syariat yang berat selalu diungkap dengan ungkapan struktur bahasa semacam ini seperti hukuman mati qishāsh, kutiba alaykum al-qishāsh yang sekarang banyak ditentang oleh aktifis abu-abu atas nama HAM.
Perintah berperang, kutiba alaykum al-qitālu wa huwa kurhun lakum yang juga sempat jadi polemik karena akan dihilangkan dari bahasan kurikulum fiqih Indonesia.
Untuk itu hal-hal semacam ini membutuhkan kesiapan dan faktor pendukung yang lain.
Prinsipnya semua ibadah itu terasa berat bagi orang-orang yang tidak memiliki motivasi spiritual. Shalat pun terasa berat bagi orang munafik, wa innahā lakabīratun. Dan lebih lanjut di Q.S. al-Nisa dijelaskan bahwa orang munafik itu memang bermalas-malasan dalam menunaikan shalat kecuali ada ruang untuk menjadi populer, wa idzā qāmū ilā al-shalāti qāmū kusālā yurā'ūna al-nāsa.
Allah menginginkan manusia secara umum dan umat islam secara khusus menunaikan setiap amānah ilāhiyyah dengan spirit ayat haqqa tuqātihī (kesungguhan) dan haqqa jihādihī (kegigihan).
Di ayat 183 surat al-Baqarah ini Allah mengajarkan kepada kita bagaimana membangkitkan semangat untuk menaklukkan tantangan yang berat. Dan kalau kita cermati satu ayat itu akan ada tiga hal yang bisa digarisbawahi:
Pertama, dengan menumbuhkan kepercayaan diri umat islam melalui panggilan khusus: yā ayyuhā alladzīna āmanū.
Sebagaimana yang sudah kita tekankan pada kajian terdahulu bahwa iman adalah kekuatan. Maka orang yang beriman tidak boleh merasa lemah dan rendah diri.
Harus percaya diri mampu menaklukkan setiap tantangan. Sebagaimana penegasan di Q.S. Ali Imran [3]: 139: walā tahinū walā tahzanū wa antum al-a`lawna in kuntum mu'minīn.
Puasa Ramadhan yang dinarasikan sebagai ibadah berat akan mudah dilakukan oleh orang-orang beriman yang percaya dengan kemampuan dirinya.
Kedua, dengan melihat keberhasilan orang lain.
Menaklukkan tantangan beribadah dengan sempurna ternyata tidak cukup hanya dengan modal kepercayaan diri, terkadang kita butuh orang lain yang menginspirasi untuk penguatan motivasi, baik sebagai partner maupun sebagai pesaing dalam pengertian positif.
Prinsipnya puasa secara umum seperti puasa senin-kamis itu berat karena sendiri, tetapi kalau dilakukan bersama akan terasa ringan sebagaimana puasa ramadhan ini. Shalat malam itu berat kalau dikerjakan mandiri, tetapi kalau dilakukan dengan format tarawih yang berjamaah maka akan terasa ringan.
Mengapa? Karena kita punya partner yang membersamai pelaksanaan ibadah kita.
Itulah tujuan Allah menuturkan kewajiban puasa umat-umat terdahulu: kamā kutiba `alā al-ladzīna min qablikum. Bukan hanya untuk menyatakan bahwa puasa itu ibadah wajib semua umat, tetapi Allah sedang menumbuhkan ghīrah dalam beribadah, kalau mereka mau dan mampu, pasti kamu lebih baik dalan menunaikan amanah ini.
Selain partner kita juga membutuhkan pesaing dalam beribadah. Penggalan ayat Fastabiqū al-khayrāt juga mengandung semangat persaingan secara positif. Bersaing bukan untuk saling menjatuhkan tetapi untuk saling menopang terwujudnya kesempurnaan ibadah.
Ketiga, dengan menetapkan target yang realistis. La`allakum tattaqūn adalah salah satu target yang ditetapkan oleh Allah berkaitan dengan ibadah puasa untuk memberi motivasi tambahan menghalau perasaan berat dalam menunaikan ibadah puasa ini.
Faktanya memang tidak ada satu ibadahpun disyariatkan di dalam islam yang tidak ditentukan target akhirnya. Semua ibadah ada targetnya.
Shalat misalnya ditarget sebagai tanhā `an al-fahsyā'i wa al-munkar. Zakat disyariatkan untuk tuthahhiruhum wa tuzakkīhim bihā. Dan begitu selanjutnya, termasuk tujuan penciptaan manusia dan jin adalah terwujudnya totalitas dalam penghambaan kepada Allah Yang Mencipta, wa mā khalaqtu al-jinna wa al-insa illā liya`budūn[ī].