Di Bawah Bayang-Bayang Narasi dan Polarisasi Informasi
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Politik kontemporer senantiasa bergerak dalam pusaran narasi. Realitas sosial-politik tidak lagi hadir dalam bentuknya yang polos, melainkan dibungkus, ditata, bahkan dipoles dalam rangkaian kata yang menawan. Narasi, dalam pengertian demikian, bukan sekadar cerita, melainkan konstruksi makna yang dimaksudkan untuk membentuk persepsi.
Melalui narasi, peristiwa dihadirkan dalam bingkai tertentu, sehingga khalayak tidak semata melihat apa yang terjadi, tetapi terlebih dahulu melihat bagaimana ia diceritakan.
Narasi menjadi medium untuk mengikat kesadaran. Ia dapat mengilhami, membangkitkan harapan, sekaligus mengarahkan dukungan. Namun pada saat yang sama, narasi dapat pula menutup mata, menyesatkan, bahkan mengasingkan manusia dari kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, narasi adalah pisau bermata dua: ia bisa menjadi sarana pencerahan, atau justru alat manipulasi.
Kehadiran teknologi informasi memperkuat kuasa narasi. Di era digital, informasi mengalir deras tanpa henti. Setiap orang dapat memproduksi, menyebarkan, dan memodifikasi narasi sesuai dengan kepentingannya.
Arus informasi yang melimpah tidak selalu memperkaya wawasan, melainkan kerap membingungkan dan menyesatkan. Di sinilah muncul gejala yang kita sebut sebagai polarisasi informasi: terbelahnya persepsi publik karena narasi yang berlawanan terus-menerus disebarkan dan dipertentangkan.
Polarisasi Informasi dan Ancaman bagi Demokrasi
Polarisasi informasi menjadikan masyarakat hidup dalam gelembung-gelembung pandangan yang terfragmentasi. Algoritma media sosial memperkuat kecenderungan itu dengan menghadirkan hanya informasi yang sesuai dengan keyakinan pengguna.
Akibatnya, yang lahir bukan ruang dialog yang sehat, melainkan gema monolog dalam lingkaran sempit. Satu kelompok hanya mendengar suara sendiri, sementara suara yang lain diperlakukan sebagai ancaman yang harus ditolak. Polarisasi demikian melahirkan keterbelahan sosial yang mendalam, hingga kebenaran tidak lagi diukur dari ketepatan fakta, melainkan dari sejauh mana ia selaras dengan keyakinan kelompok.
Demokrasi, dalam kondisi demikian, berada dalam risiko serius. Demokrasi seharusnya menjadi ruang deliberasi yang rasional, tempat argumen dipertukarkan, dan kebenaran dicari melalui dialog yang terbuka.
Akan tetapi, di bawah bayang-bayang narasi yang penuh kepentingan dan polarisasi informasi yang membelah, demokrasi kehilangan substansi. Ia tereduksi menjadi pertunjukan citra, di mana yang paling penting bukanlah isi gagasan, melainkan daya tarik narasi. Popularitas mengalahkan integritas, retorika menyingkirkan logika.
Rakyat pun berpotensi menjadi korban. Mereka dipaksa menyaksikan pertarungan narasi yang gemerlap di permukaan, tetapi miskin substansi pada kedalaman. Persoalan mendasar seperti kemiskinan, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial,sering tersisih dari panggung utama, tergantikan oleh drama politik yang disusun rapi untuk menguasai opini publik.
Dalam situasi demikian, rakyat tidak hanya kehilangan akses pada kebenaran, melainkan juga kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang hakiki dan yang semu.
Namun, sejarah selalu memberi peluang untuk keluar dari bayang-bayang itu. Jalan yang terbuka adalah membangun kesadaran kritis. Kesadaran kritis menuntut keberanian untuk menguji setiap narasi, menimbangnya dengan akal sehat, serta menilai relevansinya terhadap realitas konkret. Ia tidak berhenti pada apa yang tampak, melainkan menembus lapisan-lapisan wacana hingga menemukan substansi yang tersembunyi. Kesadaran demikian hanya mungkin tumbuh melalui pendidikan politik yang mencerahkan dan literasi media yang mendalam.
Demokrasi sejati memerlukan rakyat yang berpikir jernih. Tanpa daya kritis, demokrasi akan terjerat dalam tipuan narasi dan perang informasi. Tetapi dengan daya kritis, rakyat dapat menempatkan diri sebagai subjek yang aktif, bukan sekadar objek yang dipermainkan. Mereka dapat membedakan narasi yang memberi arah menuju kebaikan bersama dari narasi yang hanya melanggengkan kepentingan sempit.
Maka, berada di bawah bayang-bayang narasi dan polarisasi informasi sesungguhnya adalah tantangan zaman. Ia menguji kedewasaan nalar dan kematangan politik masyarakat. Tugas kita bukan sekadar menolak narasi tertentu atau memihak pada satu kutub informasi, melainkan melampaui keduanya, mencari titik terang di antara kabut yang menyesakkan.
Dengan demikian, kita dapat menata ruang publik yang sehat, di mana perbedaan pandangan bukanlah alasan untuk bermusuhan, melainkan kesempatan untuk memperkaya horizon bersama.
Apabila masyarakat berhasil keluar dari bayang-bayang itu, demokrasi akan menemukan kembali jati dirinya sebagai sarana bagi keadilan dan kesejahteraan. Tetapi jika masyarakat terus larut dalam permainan narasi dan polarisasi informasi, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara yang memperdaya, sementara rakyat tetap terpinggirkan dari substansi kehidupan yang mereka cita-citakan.