Demokrasi, Kebebasan, dan Hukum: Menjaga Ruang Publik dari Kekacauan

Publish

2 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
44
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Demokrasi, Kebebasan, dan Hukum: Menjaga Ruang Publik dari Kekacauan

Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

Media sosial pada hakikatnya adalah anugerah teknologi yang membuka cakrawala komunikasi manusia seluas-luasnya. Di ruang digital itu, setiap individu memperoleh kesempatan untuk menyuarakan pendapat, mengajukan kritik, bahkan menggugat otoritas. Demokratisasi informasi berlangsung dengan cepat, menghadirkan peluang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan untuk memperoleh ruang. 

Partisipasi publik yang dahulu terbatas kini dapat mengalir bebas, dan pluralitas pandangan menemukan wadah untuk dipertemukan. Inilah wajah cerah dari kebebasan: hadirnya akses yang relatif setara bagi siapapun, tanpa dibatasi status sosial, ekonomi, maupun geografis.

Namun, dalam setiap kebebasan yang tidak diimbangi dengan etika dan aturan yang jelas, tersimpan potensi gelap yang mudah menjelma menjadi kekacauan. Media sosial yang semula dipuji sebagai ruang percakapan justru dapat berubah menjadi arena saling serang, ladang penyebaran hoaks, dan lahan subur bagi ujaran kebencian. 

Pertarungan di sana tidak jarang melampaui batas kewajaran; yang terdengar bukanlah argumentasi yang menyejukkan, melainkan teriakan yang menenggelamkan suara-suara jernih. Kebebasan yang dilepaskan tanpa pagar hukum laksana arus deras yang menghanyutkan, bukan hanya lawan bicara, melainkan juga kepercayaan sosial yang seharusnya menopang kehidupan bersama.

Kebebasan Tanpa Hukum dan Bayangan Kekacauan

Sejak lama filsuf politik mengingatkan bahwa kebebasan yang mutlak tanpa hukum akan melahirkan kondisi yang membahayakan. Hobbes menyebutnya sebagai keadaan alamiah, di mana kehidupan manusia terjebak dalam perang semua melawan semua. Hidup yang singkat, brutal, dan penuh ketakutan adalah konsekuensi dari absennya hukum yang menata. 

Apa yang tampak di ruang publik digital dewasa ini, pada satu sisi, dapat dibaca sebagai kembalinya bayangan keadaan alamiah itu dalam bentuk yang baru: simbol, narasi, dan opini dipertarungkan tanpa aturan yang kokoh.

Realitas serupa juga kita saksikan dalam politik global. Demokrasi yang tidak dipayungi oleh hukum yang tegak sering kali hanya menjadi janji kosong. Di sejumlah negara, kebebasan yang semestinya membuka partisipasi justru menjadi pemicu konflik horizontal dan kerusuhan politik. 

Ketika hukum lemah, demokrasi mudah dikuasai oleh kepentingan sempit. Kebebasan rakyat akhirnya dijadikan alat oleh segelintir kelompok untuk merebut kekuasaan, dan rakyat sendiri terperangkap dalam lingkaran ketidakpastian.

Paradoks Demokrasi di Indonesia

Indonesia dengan bangga menyebut diri sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilu yang melibatkan ratusan juta jiwa adalah pencapaian yang tidak bisa diremehkan. Namun, di balik kebanggaan itu, paradoks senantiasa mengintai. Suara rakyat memang dihargai, tetapi praktik korupsi merajalela, penegakan hukum sering goyah, dan kebebasan berekspresi kadang bergeser menjadi kebebasan menyerang. 

Demokrasi berjalan, tetapi tertatih-tatih, seperti seorang pengelana yang membawa beban berat idealisme, tetapi terperosok di jalanan berlumpur kenyataan.

Kebebasan pers, misalnya, adalah salah satu tonggak penting demokrasi. Ia diharapkan menjadi mata rakyat, penyeimbang kekuasaan, dan penjaga akuntabilitas publik. Akan tetapi, ketika kebebasan itu disalahgunakan untuk menyebar fitnah atau menjadi alat transaksi politik, ia justru meruntuhkan sendi kepercayaan sosial. Rakyat yang seharusnya tercerahkan malah terombang-ambing oleh informasi yang kabur antara fakta dan rekayasa.

Demikian pula dengan kebebasan berpolitik. Secara ideal, ia membuka pintu bagi rakyat untuk terlibat dalam menentukan arah bangsa. Namun dalam kenyataan, politik sering menyusut menjadi arena perebutan kursi, permainan koalisi pragmatis, dan transaksi kekuasaan. Partisipasi rakyat tereduksi menjadi sekadar angka di bilik suara, sementara keputusan-keputusan besar bangsa ditentukan dalam ruang-ruang tertutup yang jauh dari pengawasan publik.

Kelemahan hukum memperburuk paradoks ini. Hukum yang tidak ditegakkan secara adil melahirkan ruang abu-abu bagi penyalahgunaan kebebasan. Hoaks, ujaran kebencian, dan korupsi menemukan tempat yang nyaman ketika hukum hanya menjadi formalitas tanpa wibawa. Demokrasi dalam kondisi seperti itu bagaikan bangunan megah dengan fondasi rapuh: ia tampak gagah, tetapi sewaktu-waktu dapat runtuh.

Meneguhkan Demokrasi melalui Hukum dan Etika Sosial

Padahal, demokrasi sejatinya adalah keseimbangan. Kebebasan memberi rakyat ruang bernapas untuk menyampaikan aspirasi, sementara hukum menata agar kebebasan itu tidak melukai. Hukum bukanlah musuh kebebasan, melainkan pagar yang menjaganya. Tanpa pagar, kebebasan berpotensi menjerumuskan. Dengan demikian, memperkuat demokrasi berarti memperkuat supremasi hukum, membangun institusi yang berwibawa, dan menegakkan keadilan yang tidak pandang bulu.

Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan apabila hukum tegak. Amerika Serikat tetap menjaga stabilitasnya di tengah badai politik karena supremasi hukum menjadi rujukan yang tidak bisa ditawar. India, dengan segala keragamannya, tetap mampu bertahan sebagai demokrasi terbesar di dunia karena institusi hukum berfungsi sebagai perekat. Indonesia pun harus menapaki jalan yang sama, dengan menjadikan hukum bukan sekadar instrumen formal, tetapi nafas kehidupan berbangsa.

Meski demikian, hukum saja tidak cukup. Demokrasi memerlukan etika sosial yang mengakar dalam kesadaran warga. Media sosial, misalnya, tidak dapat disembuhkan hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan kesadaran kolektif untuk menjaga martabat percakapan. Kebebasan berekspresi menuntut tanggung jawab, bukan sekadar kepuasan pribadi. Jika kebebasan digunakan untuk membangun dialog, mempertemukan perbedaan, dan melahirkan kesalingpahaman, maka demokrasi akan bersemi.

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menumbuhkan kepercayaan, bukan kecurigaan; yang memperkuat solidaritas, bukan perpecahan. Untuk itu, kebebasan harus berjalan seiring dengan hukum, dan hukum harus ditegakkan dengan keadilan yang memberi rasa aman kepada semua. Demokrasi bukan sekadar prosedur politik, melainkan kultur kebangsaan yang menuntut kebijaksanaan kolektif.

Indonesia memiliki modal sosial dan budaya yang besar untuk menopang demokrasi. Nilai musyawarah, gotong royong, dan kebersamaan adalah warisan luhur yang dapat dijadikan fondasi. Apabila nilai-nilai itu disinergikan dengan hukum yang adil dan etika publik yang terjaga, maka demokrasi akan tumbuh bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai kebudayaan politik yang berakar.

Demokrasi pada akhirnya adalah janji yang terus diperjuangkan. Janji bahwa kebebasan tidak akan merusak, tetapi membangun. Janji bahwa hukum tidak akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tetapi adil bagi semua. Janji bahwa rakyat bukan sekadar penonton, tetapi aktor utama dalam panggung kebangsaan. Selama janji itu dijaga dengan konsistensi, demokrasi akan tetap tegak sebagai rumah bersama, bukan sekadar arena pertarungan kepentingan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Antara Literal dan Metaforis Memahami Bahaya Riba dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakulta....

Suara Muhammadiyah

25 April 2025

Wawasan

International Women’s Day; Apa Kabar Paradigma Kesetaraan dan Keadilan Gender IMM? Savanna Se....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Wawasan

Membangun Profetika Hukum Berkeadilan Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I. Berbicara masalah hukum,....

Suara Muhammadiyah

8 October 2023

Wawasan

Mukjizat di Balik Hukum Alam: Memahami Kuasa Ilahi di Tengah Tantangan Hidup Oleh: Donny Syofyan, D....

Suara Muhammadiyah

13 August 2025

Wawasan

Guru Hebat, Menginspirasi dan Bermutu  Oleh: Hendra Apriyadi, M.Pd, Dosen Pendidikan Bahasa da....

Suara Muhammadiyah

6 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah