Buya Hamka: Nasionalisme dan Sedikit Cerita, Wawancara Abdul Hadi Hamka (Cucu Buya Hamka, Penulis Buku Nambo Hamka)
Oleh M. Panji Gozali, Pendidik Sejarah di SMA Islam Al Azhar 1
Ada beberapa pertanyaan yang sudah saya susun. Ketika saya meneliti Hamka, beliau adalah penulis yang produktif, seketika itu saya berpikir akan sulit jika mengandalkan perpustakaan saja. Dari buku-buku tentang Hamka itu memang ada beberapa perbedaan. Terutama di bagian tanggal lahir, ada yang menyebutkan 16 Februari tahun 1908 dan ada juga 17 Februari tahun 1908. Kiranya mana yang betul di antara keduanya?
Iya seratus lebih ya bukunya? Yang validnya itu 17 Februari 1908, jadi mungkin di buku Kenang-Kenangan Hidup ada kesalahan karena sudah dicetak ulang. Pastinya karena kakak saya, kita berdua dulu tinggal dengan beliau di Jl. Raden Patah 3, Nomor 1, karena ibu saya anaknya Buya Hamka. Dia tidak biasa merayakan ulang tahun, tetapi mengadakan syukuran atau tasyakuran. Di saat yang sama, ibu saya melahirkan anak pertama yaitu kakak saya. Jadi beliau bilang karena tanggal lahirnya sama, ini pernyataan dari beliau, berarti ini valid.
“Karena dia lahirnya sama dengan saya maka nama saya, saya berikan sama dia,” jadi kakak saya itu namanya Abdul Malik. Sama persis dengan almarhum Buya Hamka. Jadi saya kira itu valid karena dari dia sendiri yang menamakan cucunya Abdul Malik. Saya pun diberi nama oleh beliau, Abdul juga. Tepatnya Abdul Hadi. Jadi kita lahir di sana dan besar di sana. Dari kecil sampai berumur sembilan lebih.
Kita melihat beliau itu seorang pendidik yang luar biasa. Karena ayah saya mengajar, pagi pergi pulang baru gini hari, setelah menjelang maghrib atau sesudah maghrib. Jadi hari-hari diisi bersama dengan Buya Hamka. Oleh sebab itu saya tulis buku di Gema Insani, Nambo Hamka itu sebagian daripada ingatan saya bersama dia. Waktu di rumah beliau ada pekerjaan memasak, karena Hamka banyak tamu, dia kalau menjamu tamu itu selalu dengan makanan. Jadi hobi beliau mengajak tamu, selalu siapa saja diajak makan. Jadi ibu saya bantu-bantu di situ. Kita yang berdua ini, saya dan kakak saya sehari-hari melihat dia mengetik, melihat dia sebagai seorang kakek bukan sebagai orang besar.
Hamka luar biasa sekali, dia mengajarkan kita cara dan pengertian-pengertian hidup bahwa itu semua harus dihadapi. Kehidupan orangtua kita itu terbatas karena orangtua kita tidak bergantung dengan keluarga lain. Di situ kita melihat ketimpangan, jadi kurang lebih kakek saya itu mengajari banyak hal untuk hidup. “Kita jangan takut, biasa saja jadi yang luar biasa itu ketika kita bisa bersyukur,” katanya. Makanya nama Abdul Malik itu karena kakak saya sama dengan nama beliau, jadi itu mungkin jawabannya untuk klarifikasi yang pertama ya.
Kiranya pada tahun berapa Hamka mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir? Di beberapa buku ada yang ditulis tahun 1958 dan 1959.
Kebetulan saya ada sampul mukanya, beliau digelari Doktor Honoris Causa itu 21 Januari 1958. Berdasarkan teks pidato pengukuhannya, Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, jadi di sini dia menerima Doktor Honoris Causa di Universitas Al Azhar, Mesir tanggal 21 Januari 1958. Jadi bukan 1959, karena tahun 1959 sudah Dekrit Presiden Soekarno.
Boleh diceritakan apa saja yang pak Hadi ketahui tentang Buya Hamka?
Karena kesusahan hidup kita itu, kita ditampung di rumah beliau. Tapi justru di situ dia menjelaskan kepada kita, itulah rahasia Tuhan. “Kamu tahunya hidupmu susah, orangtuamu tidak bisa punya rumah sendiri. Tapi justru karena itu kamu bisa bersama saya,” katanya. Dia setiap ke luar negeri selalu mengirimkan kartu pos. Jadi dua cucu laki-lakinya ini yang selalu menghiburnya di sana. Kita juga sering berkeluh kesah dengan beliau, komunikasi mendidiknya itu tanpa terasa. Kakak saya kebetulan dia dokter spesialis di Batam, jadi dia terinspirasi dari penyakitnya. Kakek saya tanya “Kamu mau jadi apa?” Kakak saya jawab, “Saya mau jadi dokter saja.” Didoakan beliau pada saat itu, alhamdulilah. Sekali waktu karena kakak saya ini sakit-sakitan, sering sekali diejek keluarga yang lain.
Kemudian disampaikan ke kakek saya. Kakek saya bilang, “Tidak ada yang tidak mungkin di muka Bumi ini kalau Allah menghendaki terjadi maka terjadi.” Sekarang benar terkabul menjadi dokter spesialis paru-paru. Jadi dia itu testimoni keluarga kita. Kalau adik saya yang kecil sekarang di Departemen Agama, itu juga ada ceritanya. Jadi sewaktu sebelum beliau meninggal, ibu saya hamil sehingga kita meminta nama untuk adik kita, singkatnya diberikan nama Abdul Fatah oleh beliau, karena beliau tinggal di Jalan Raden Patah. “Dia akan jadi pengingat saya untuk kalian,” katanya. Sekarang adik saya itu bekerja di Bimas Haji atau Bimas Islam di Departemen Agama dan bertempat tinggal di Raden Patah. Jadi adik saya betul mengingatkan kami bahwa kakek saya dulu pernah di Departemen Agama.
Dalam pemikiran, beliau mengaitkan antara pendidikan dengan kerohanian, bahwa tujuan kita hidup di dunia ini untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat itu dicapai dengan menuntut ilmu. Sedangkan secara umum menuntut ilmu biasanya untuk memperbaiki nasib sehingga dapat hidup lebih baik. Tetapi secara keagamaan kita mengenal Tuhan, mengenal maksud-maksud Tuhan terhadap kehidupan kita. Itu merupakan salah satu pemikiran yang diajarkan beliau. Semua masalah apapun ujungnya adalah agama. Isme apa saja tidak akan berlaku jika mengalahkan agama tadi, jadi itu adalah pandangan beliau.
Ada yang menarik dari pendapat bapak tadi. Hamka itu mengajarkan kita justru dari hal-hal yang sederhana, tapi menurut bapak kira-kira apa yang membuat hal sederhana itu berkesan, apa kiranya sehingga dapat berdampak besar?
Kakek saya mengajarkan yang besar itu terdiri dari yang kecil-kecil. Jika kamu mengabaikan hal-hal kecil jangan harap bisa mendapatkan hal-hal besar. Itu semua diajarkan dalam rangkaian pendidikan. Hamka seorang yang berprinsip pada proses, bukan hasil. Proses itu yang menentukan hasil. Hamka itu manajemen waktunya baik, tempatnya rapih, tutur katanya baik, tepat waktu dan tidak sembarangan memperlakukan orang. Kita diajarkan tata krama akan mencerminkan seperti apa pribadi kita, itu yang saya dapatkan dari beliau.
Bagaimana pandangan bapak tentang Hamka dalam dunia pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus?
Beliau memandangnya dari tujuan pendidikan itu dahulu, semua hal itu harus ada tujuannya, jadi beliau tidak akan pernah mau melakukan sesuatu yang tidak ada tujuannya. Tujuan pendidikan Islam itu adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurut Hamka manusia itu adalah pemimpin, baik di skala besar, kecil, maupun lingkup dirinya sendiri. Sejatinya Hamka tidak bisa melepaskan pemikirannya dari agama sehingga beliau mengembangkan pemikiran yang bersumber dari ajaran Islam, khususnya yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasul.
Salah satu contoh, sekitar 1400 tahun lalu Rasullallah pernah berkata bahwa masjid itu jangan seperti kuburan yang tidak ada kegiatannya. Dari sana Hamka melakukan terobosan yang besar, beliau mampu menghadirkan konsep Rasullallah itu dalam wujud nyata. Sekarang konsepnya menjadi pilot project dari semua pendidikan Islam. Masjid Al Azhar pun begitu, yang dahulu orang-orang enggan datang, menjadi masjid yang diterima semua kalangan. Begitu juga dengan pendidikannya, Hamka dapat memodifikasi perintah agama dalam kabar baik. Sehingga agama adalah kabar baik, kabar yang menggembirakan, bukan yang menakutkan. Hamka berhasil membawa kenikmatan beragama, itulah sumbangsih Buya Hamka yang terbesar dan itu banyak ditiru.
Beliau juga yang memprakarsai agar sekolah-sekolah negeri diberikan pelajaran agama, sekularisasi yang dilakukan di sekolah-sekolah ditentangnya. Materi-materi keimanan Islam itu harus tertanam dan dikembangkan. Dibuatnya menjadi seperti hal yang disandingkan sehingga kesadaran akan timbul. Hamka itu jenius, beliau membuat suatu kerangka pemikiran, menyiapkan instrumen serta kemungkinan-kemungkinan hasil akhir yang seperti apa sudah beliau pikirkan. Hamka ini bukan tipe pemaksa, tetapi mencontohkan dengan persuasif.
Tingkat pemahaman keagamaan Hamka sangat luar biasa. Ada skala prioritas dalam prinsip Hamka bahwa yang perlu diselamatkan lebih dahulu adalah keimanan dan takut akan Allah. Jika kedua hal tersebut telah terpenuhi sisanya akan mengikuti. Jadi konsepnya yang dimiliki itu diwujudkan dengan turut membangun lembaga pendidikan Islam Al Azhar. Dengan semangat barunya Hamka memilih untuk mengabdikan hidupnya kepada umat. Itu membuktikan bahwa Hamka waspada terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Hamka tidak sekedar berbicara tetapi diwujudkan. Sekiranya itulah konsep-konsep pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam.
Bagaimana dengan nasionalisme seorang Hamka?
Beliau itu nasionalis sejati. Bahkan dari tulisan-tulisannya dapat kita simpulkan, bukan hanya dia, tetapi setiap muslim yang menjalankan agamanya otomatis akan menjadi seorang nasionalis. Karena dia ini memahami nasionalis itu sebagai bentuk cinta, cinta kepada tanah air. Tetapi beliau menekankan nasionalis itu tidak menjauhkan kita dari berpikir secara Islam. Karena Islam itu harus diletakkan di atas segalanya, bukan nasionalisme yang di atas Islam. Itu prinsip yang harus dia pegang karena di dalam Islam itu ada nasionalis. Jadi bukan nasionalis yang mengislamkan, tetapi istilahnya nasionalis itu bagian daripada pelaksanaan ibadah.
Menurut Hamka, agama Islam itu mengakui nasionalisme. Di mana perbedaan suku bangsa itu bukan untuk bertengkar tetapi untuk saling mengenal, itu poinnya. Bahwa setiap muslim itu kalau menjalankan agamanya dengan benar, akan nasionalis. Jika dikatakan cinta tanah air sebagian dari iman, maka di waktu yang lain cinta tanah air itu dapat merusak dan membinasakan iman kalau kecintaannya melebihi kecintaan kepada Tuhan.
Banyak orang menyalahartikan bahwa Hamka bukan nasionalis. Sebenarnya orang dari aliran agama tidak mau dikatakan tidak nasionalis. Tetapi kalau orang nasionalis itu cenderung berlebihan dan akhirnya membuat sistem pemisahan, yang penting agama dipisahkan dari politik sehingga timbul sekuler. Orang yang berlebihan kecintaannya selain kepada Tuhan dilihatnya bangsa dan tanah air sebagai pokok cinta, jadi semuanya itu hanya tentang tanah air, bangsa dan negara. Bahkan nasionalis itu nantinya menjadi pangkal bencana di dunia.
Terbukti nasionalis yang berlebihan, dapat menimbulkan perpecahan, di situ Hamka melihat bahwa agama adalah hal yang mampu menyatukan. Jadi cinta kita itu hanya kepada Allah, begitu pemikiran beliau. Orang yang tidak mengerti, seperti Soekarno pasti akan menuduh Hamka sebagai anti nasionalis. Tapi sebetulnya kalau Soekarno mau duduk bersama mungkin berbeda, karena dulu di tahun 30-an mereka sudah berkawan tapi karena di belakang Soekarno ada macam-macam yang punya kepentingan, di balik isme-isme itu. Ibaratnya Hamka bilang nasionalisme itu urusan dunia bentuknya tabiat.
Dia melihat kalau di Mekkah itu ada bendera Indonesia bangganya minta ampun, itu tabiat, nasionalis juga. Jadi Hamka seorang nasionalis, bahkan karena nasionalisnya itu, jiwanya terganggu ketika Belanda menyerang. Dia ikut angkat senjata masuk keluar hutan. Itu karena dalam ajaran Islam bila hakmu diganggu, apa yang menjadi kepunyaanmu—tanah airmu—dan kamu diusir, maka perangi! Itu nasionalis.
Bagaimana nasionalisme dalam konsep pendidikan Islam model Hamka?
Pegangan seorang Hamka itu Al-Qur’an dan apa saja yang diajarkan nabi. Hamka melihat aspek kehidupan harus berdasarkan pada sandaran agama. Jadi dalam konsep pendidikan dan pengajaran, semua kaidah keislaman itu diajarkan agar setiap insan kelak dapat berguna bagi bangsa, agama dan negara. Di situ hidup bermasyarakat, yang ditekankan oleh Hamka dalam konsep pendidikannya terdapat pendidikan formal, informal dan non formal. Kelak setelah dewasa, bekal dengan masyarakat itu yang harus mewujudkan wajah Islam. Jadi setelah kita bermasyarakat, berbangsa dan negara. Kita tunjukkan wajah Islam itu. Dia perfeksionis, pasti. Dia itu tertib dan rapih. Itu kurang lebih gambarannya tentang beliau.