Bukan Sekadar Vonis: Menyingkap Nuansa Ayat Kaum Luth dalam Al-Qur'an

Publish

30 June 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
45
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya ingin membahas salah satu ayat Al-Qur'an yang acap kali memicu kesalahpahaman dan interpretasi yang kaku, yaitu Surah Al-A'raf ayat 81. Ayat ini, yang menjadi kelanjutan dari kisah Nabi Luth AS dan kaumnya, berbunyi, "Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk memenuhi syahwatmu, bukan kepada perempuan. Bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas."

Sekilas, ayat ini mungkin terbaca sebagai sebuah pernyataan keras yang menghakimi. Namun, saya hendak mengupas lapisan-lapisan makna di baliknya, mengungkapkan sebuah nuansa dan kedalaman yang patut direnungkan.

Salah satu poin paling krusial yang perlu diangkat adalah variasi bacaan (qira'at) dari ayat ini di kalangan para qari Al-Qur'an yang diakui. Ada dua pendekatan utama: beberapa qari membacanya sebagai pernyataan langsung, seolah-olah Nabi Luth sedang mendeklarasikan sebuah fakta yang tak terbantahkan. Namun, sejumlah qari lain, yang mayoritas, membacanya sebagai pertanyaan. Perbedaan ini bukanlah sekadar detail linguistik kecil; ia memiliki implikasi besar terhadap pemahaman kita tentang pesan yang disampaikan.

Dalam bahasa Arab klasik, yang merupakan bahasa Al-Qur'an, tanda baca modern seperti tanda tanya belum ada. Namun, bahasa itu sendiri telah terstruktur sedemikian rupa untuk menyampaikan pertanyaan melalui partikel-partikel tertentu di awal kalimat. Bahwa partikel seperti 'a' (seperti dalam 'a-ra'aytum') sering digunakan untuk menandakan sebuah pertanyaan.

Mayoritas qari yang diterima membacakan ayat ini dengan partikel pertanyaan tersebut, sehingga secara tata bahasa dan konteks, ia menjadi sebuah pertanyaan yang jelas dan bukan sekadar deklarasi.

Mengapa penting untuk memahami ayat ini sebagai pertanyaan? Kita perlu menggarisbawahi konsistensi Al-Qur'an dalam mengisahkan kembali kisah-kisah kenabian. Kisah Nabi Luth dan kaumnya muncul berkali-kali di berbagai surah dalam Al-Qur'an. Menariknya, dalam setiap kemunculan kisah ini di surah-surah lain, pernyataan serupa yang diucapkan oleh Nabi Luth selalu disajikan dalam bentuk pertanyaan. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Ankabut ayat 29, kisah yang sama diceritakan, dan lagi-lagi, kalimat yang serupa disampaikan sebagai pertanyaan.

Ini bukanlah suatu kebetulan. Konsistensi ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an secara sengaja memilih untuk mengajukan pertanyaan retoris kepada kaum Luth, dan pada akhirnya, kepada pembaca Al-Qur'an itu sendiri. Ini adalah undangan untuk merenung, bukan sebuah vonis yang langsung menghukum. Pemilihan kata dan struktur kalimat ini memberikan ruang bagi refleksi, memungkinkan audiens untuk menginternalisasi pesan dan memahami implikasinya, daripada hanya menerima sebuah putusan.

Pilihan Al-Qur'an untuk menyajikan dialog ini sebagai pertanyaan menjadi lebih menonjol ketika kita membandingkannya dengan narasi dalam kitab-kitab suci sebelumnya, khususnya Alkitab. Ada perbedaan mencolok dalam pendekatan ini. Dalam Imamat 20:13 dari Perjanjian Lama, terdapat pernyataan yang sangat eksplisit dan tegas yang memerintahkan hukuman mati bagi dua pria yang terlibat dalam tindakan homoseksual.

Demikian pula, dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27 mengutuk baik pria maupun wanita yang melakukan tindakan homoseksual, dengan Rasul Paulus merujuk pada hukuman mati yang disebutkan dalam Perjanjian Lama.

Al-Qur'an, yang seringkali mereferensikan kisah-kisah dari tradisi kenabian sebelumnya, tidak memilih untuk mereproduksi bagian-bagian yang begitu keras dan menghukum ini. Ini bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah pilihan sadar dan disengaja. Pertanyaannya adalah, mengapa?

Jawabannya terletak pada upaya fundamental Al-Qur'an untuk mencapai keseimbangan – sebuah konsep yang dalam bahasa Arab disebut insaf. Ini adalah prinsip keadilan dan moderasi yang mendasari pendekatan Islam. Di satu sisi, Al-Qur'an dengan jelas menyoroti dan mengutuk perilaku yang dianggapnya tidak bermoral atau menyimpang.

Namun, di sisi lain, ia dengan hati-hati menghindari pengutukan yang ekstrem terhadap individu hingga mereka dianggap benar-benar terbuang atau tidak memiliki harapan lagi. Al-Qur'an mendorong umat Muslim untuk mendekati orang lain, termasuk mereka yang memiliki perilaku yang tidak disetujui, dengan cara yang rasional dan proporsional, terutama dalam isu-isu yang sensitif seperti ini.

Dalam narasi Alkitab, kisah kaum Luth seringkali berfokus pada tuntutan mereka yang agresif untuk "berhubungan seks" dengan para tamu Nabi Luth, yang sebenarnya adalah malaikat yang menyamar sebagai manusia. Ini akan menjadi tindakan pemerkosaan homoseksual. Al-Qur'an, meskipun tidak merinci tindakan pemerkosaan secara eksplisit dalam ayat ini, menempatkan penekanan pada konsep melampaui batas.

Nabi Luth bertanya kepada kaumnya, "Apakah kamu mendatangi laki-laki dengan nafsu, bukan kepada perempuan? Tetapi kamu adalah kaum yang melampaui batas." Fokus di sini adalah pada ekses dan pelanggaran norma-norma yang telah ditetapkan, baik secara moral maupun sosial. Meskipun mungkin ada persentase kecil orang di setiap masyarakat yang memiliki kecenderungan homoseksual, terlepas dari bagaimana kecenderungan itu terbentuk, kaum Luth dihukum karena melampaui batas dalam perilaku mereka. Perilaku mereka telah mencapai tingkat yang ekstrem dan merusak tatanan masyarakat.

Kelebihan dan pelanggaran batas ini juga dapat menjelaskan mengapa wanita dan anak-anak dihukum bersama para pria dalam kisah kehancuran kaum Luth. Seseorang mungkin bertanya mengapa mereka yang tidak terlibat langsung dalam tindakan spesifik tersebut juga dihukum. Boleh jadi ada kemungkinan para wanita juga turut mendorong atau mendukung perilaku menyimpang tersebut, bahkan mungkin menganggapnya sebagai bentuk "kejantanan" atau kekuatan bagi pria mereka.

Jika demikian, partisipasi tidak langsung ini juga dapat dianggap sebagai bentuk "melampaui batas" dalam konteks sosial dan moral. Ini menunjukkan bahwa ada kompleksitas dalam kisah ini yang memerlukan pemikiran cermat dan tidak bisa disederhanakan begitu saja.

Pada akhirnya karena ayat ini diajukan sebagai pertanyaan, ini meninggalkan banyak ruang untuk refleksi dan pemikiran yang cermat. Pesannya tidaklah sejelas atau setegas yang seringkali dibayangkan oleh banyak Muslim. Ada banyak aspek yang perlu dipikirkan, disatukan, dan dipecahkan, daripada sekadar menerima dogma yang kaku.

Ini adalah panggilan bagi umat Muslim untuk tidak menjadi terlalu dogmatis dan kaku dalam cara kita berbicara tentang hal-hal ini dan dalam cara kita mengutuk orang lain. Pendekatan yang terlalu keras dan menghakimi dapat menyebabkan kita sendiri "melampaui batas" dalam pengutukan kita.

Al-Qur'an, pada dasarnya, membayangkan pernikahan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita, dan seks di luar ikatan pernikahan adalah dilarang. Ini adalah prinsip dasar dalam Islam. Namun, memegang prinsip ini tidak berarti kita harus secara berlebihan memaki atau mengucilkan orang lain yang mungkin memiliki orientasi atau gaya hidup yang berbeda. Kita harus senantiasa mengambil posisi yang seimbang – baik dalam hal-hal yang kita cintai maupun dalam hal-hal yang tidak kita setujui atau bahkan benci.

Pendekatan ini mendorong umat Muslim untuk menjadi empatik, tidak menghakimi, dan bijaksana dalam interaksi mereka dengan semua manusia. Ini mengajarkan pentingnya menahan diri dari ekstremitas, baik dalam penilaian maupun dalam respons kita terhadap perilaku orang lain.

Dengan memahami kisah Nabi Luth dari perspektif ini, kita tidak hanya memahami pesan Al-Qur'an dengan lebih akurat, tetapi juga mengembangkan karakter yang lebih adil dan penuh kasih sesuai dengan ajaran Islam. Pelajaran ini adalah anugerah dari Tuhan, yang terus-menerus membuka pikiran kita melalui diskusi dan refleksi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Dahlan dan Kennedy Oleh: Abdul Hafiz, Wakil Ketua PWM Bengkulu Kedua tokoh ini bisa dipastikan tid....

Suara Muhammadiyah

29 December 2023

Wawasan

Pandangan Masyarakat Sekitar “Kisruh” Muhammadiyah Vs BSI Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, ....

Suara Muhammadiyah

10 July 2024

Wawasan

Puasa Bukan Hukuman, Tapi Jalan Kebahagiaan Menuju Tuhan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

11 March 2024

Wawasan

Oleh: Rivandy Azhari Ali Harahap Indonesia adalah negara yang unik dengan kekayaan budaya, agama, d....

Suara Muhammadiyah

20 September 2023

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi Mencintai Rasulullah Saw merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena, mencint....

Suara Muhammadiyah

13 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah