Berdirinya 'Aisyiyah: Organisasi dan Habitus Baru di Indonesia

Publish

24 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
443
Tri Hastuti Nur Rochimah Foto PPA

Tri Hastuti Nur Rochimah Foto PPA

SLEMAN, Suara Muhammadiyah - Berdirinya 'Aisyiyah adalah habitus baru di Indonesia. Hal tersebut dikemukakan oleh Siti Syamsiyatun, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) saat Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat 'Aisyiyah pada Sabtu (23/3/24).

Dalam pengajian yang mengangkat tema "Mengokohkan dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta" ini Syamsiyatun menjadi pemateri dalam sesi "Dakwah Kemanusiaan Semesta : Pendekatan Teologis, Ideologis, dan Historis."

Habitus sendiri dalam ilmu Sosiologis adalah cara orang memandang dan merespons dunia sosial yang mereka
tinggali, melalui kebiasaan pribadi, keterampilan, dan watak karakter mereka. 'Aisyiyah disebut Syamsiyatun sebagai habitus baru di Indonesia karena pada saat didirikan pada tahun 1917, 'Aisyiyah merupakan struktur baru di Indonesia. "'Aisyiyah merupakan struktur baru di Indonesia yang dikenalkan dengan struktur yang kompleks yang pada tahun 1900 belum pernah ada di Indonesia."

Kehadiran 'Aisyiyah ini disebut Syamsiyatun dimulai dari adanya individu yang berani mengubah tata aturan dan menghadirkan institusionalisasi. Perubahan ini dimulai dari adanya imajinasi baru untuk mengubah perempuan di Indonesia. Di mana kita ketahui pada masa berdirinya 'Aisyiyah perempuan menjadi kelompok masyarakat kelas dua yang gerak dan kiprahnya dibatasi oleh berbagai aturan maupun budaya. 

Imajinasi ini menurut Syamsiyatun terus dikembangkan hingga kini salah satunya muncul di Muktamar ke-48 'Aisyiyah di Surakarta dengan adanya Risalah Perempuan Berkemajuan. "'Aisyiyah dengan imajinasi baru bisa mengubah perempuan Islam di Indonesia seperti di Muktamar terakhir 'Aisyiyah yang merumuskan Risalah Perempuan Berkemajuan, ini adalah imajinasi baru yang dirumuskan 'Aisyiyah."

Bukti perubahan yang dibawa oleh 'Aisyiyah ini disebut Syamsiyatun menjadi penguat bahwa kita bisa mengubah masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dengan melalui organisasi. Sejarah 'Aisyiyah menurutnya adalah sejarah kemanusiaan yang melintas budaya dan etnisitas bahkan melintas zaman dengan merangkul kemanusiaan dan merawat alam semesta. 

Keberpihakan pada Kelompok Termarginalkan

Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menyebut gerakan praksis bukan praktik namun dilandasi nilai perjuangan dan menjadi aksi nyata. Seperti yang dilakukan 'Aisyiyah dengan mendirikan amal usaha seperti universitas, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, posbakum, dan lain-lain.

Gerakan praksis disebut Tri adalah gerakan yang dilandasi pada nilai yang kemudian bisa melakukan aksi mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin (IRLA). Salah satu landasan nilai bagi gerakan Muhammadiyah dan 'Aisyiyah adalah nilai Al-Ma'un yang menunjukkan kepedulian pada mustadh'afin. 

Kepedulian pada mustadh'afin ini disebut Tri juga perlu diperluas konsep dan maknanya dimana tidak semata-mata miskin secara ekonomi. Akan tetapi juga harus merespon problem-problem kemanusiaan yang terjadi. "Penting juga untuk menguatkan konsep GEDSI dan analisis interseksionalitas untuk melihat kelompok yang paling membutuhkan," terang Tri.

Lebih lanjut Tri juga menekankan kepedulian pada kesetaraan laki-laki dan perempuan. Perempuan termasuk menjadi kelompok marginal karena bisa menjadi kelompok yang paling tidak memiliki akses. Terlebih perempuan disebut menjadi wajah dari kemiskinan karena data mencatat bahwa satu dari sepuluh perempuan berada pada garis kemiskinan.

Oleh karena itu untuk memperkuat gerakan praksis diperlukan perluasan penerima manfaat yang melintasi perbedaan identitas. "Yang harus dilakukan adalah melakukan analisis berdasarkan kelompok yang paling kurang beruntung dan kemudian mengembangkan model-model dakwah sesuai dengan kebutuhannya," tegas Tri

Dalam melakukan praksis dakwah kemanusiaan ini Tri menyebut kader-kader 'Aisyiyah harus memperhatikan enam prinsip yang ada yakni pertama, tidak top down, namun partisipatif, bagaimana program dibangun dengan partisipatif. Kedua, berbasis bukti atau ketersediaan data. "Hal ini seringkali diabaikan bahkan kita datang kepada kelompok dampingan dengan logika dan pikiran sendiri yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan."

Ketiga, penguatan nilai untuk membangun kesadaran. Keempat, mengembangkan model atau inovasi. Kelima, adanya kemampuan mendengar warga dampingan sehingga terdapat proses refleksi-aksi-refleksi. Keenam, merawat keberlanjutan. "Hal ini harus dilakukan agar apa yang sudah kita bangun bersama dapat terus berkelanjutan manfaatnya. Ini bisa dilakukan dengan penguatan local leadership, membentuk tim Qaryah Thayibah, juga melakukan advokasi ke pemerintah." 

Di akhir penyampaiannya, Tri juge menekankan pentingnya bagi kader-kader 'Aisyiyah untuk melakukan pengelolaan pengetahuan. "Mencatatkan dan mendokumentasikan kerja-kerja dakwah praksis yang sudah kita lakukan sehingga menjadi jejak sejarah sehingga pengalaman-pengalaman perempuan yang sudah dilakukan bisa menjadi basis bersama berada di tingkat nasional, lokal dan internasional." (Suri)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

LANGKAT, Suara Muhammadiyah -  Mudir Pesantren Modern Muhammadiyah Kwalamadu, Langkat, Ramdani ....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta menggelar ....

Suara Muhammadiyah

23 September 2023

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar mendapat kepercayaan dari....

Suara Muhammadiyah

23 September 2024

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan (Sulses) bakal m....

Suara Muhammadiyah

14 April 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah — Mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi UM Bandung memamerkan beragam ka....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah