Bencana Akhlak
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Di dalam kolom “Resonansi” Republika, Selasa, 30 Mei 2011 disajikan tulisan yang berjudul “Keruntuhan Moral Elite Politik”. Tulisan tersebut merupakan refleksi Ahmad Syafi’i Ma’arif (ASM) terhadap keadaan bangsa Indonesia ketika itu. Sebagian isi tulisannya itu merupakan hasil percakapan kritis melalui telepon antara beliau dengan Junus Effendi Habibie (JEH).
Mereka mempunyai pandangan yang sama, yakni masalah penilaian tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, telah makin longgar dan kabur. Dikatakannya bahwa jika moral sudah tidak ada, apa lagi yang masih tersisa pada diri seseorang.
JEH mengatakan bahwa masalah hukum biarlah berjalan sebagaimana mestinya, tetapi masalah moral dan etika tidak boleh dibiarkan terus meluncur, jika saja elite partai politik masih punya kepekaan moral. Bila kepekaan itu sudah menghilang, runtuhlah seluruh bangunan integritas seseorang.
Sementara itu, ASM menyatakan bahwa orang yang seperasaan dengan JEH hampir merata di mana-mana, di kota dan di desa. Kepercayaan publik kepada para elite telah makin sirna dari waktu ke waktu, termasuk kepercayaan kepada pemerintah yang dinilai tidak tanggap terhadap masalah-masalah yang sedang membebani bahu bangsa ini. Beliau menyitir pernyataan peraih hadiah Nobel tahun 1970, sastrawan Rusia, Alexandr Solzhenitsyn. Di dalam sebuah novelnya dia pernah menulis ungkapan dalam bentuk pertanyaan: jika moral dan etika telah meninggalkan diri seseorang, apa lagi yang tersisa pada orang itu?
ASM menyitir juga peringatan pujangga Ronggowarsito juga tentang zaman edan tampaknya selalu berulang sepanjang masa. Jika tidak turut edan, tidak mendapat apa-apa, tetapi sikap "eling" (ingat) yang dapat membawa keselamatan. Kritik publik terhadap berbagai ketimpangan moral itu tidak kurang, tetapi perbaikan tak kunjung datang.
Tulisan ASM tersebut berisi keprihatinan yang luar biasa mendalamnya. Kita sangat maklum karena dampak keruntuhan akhlak elite bangsa jelas sangat dahsyat. Dikatakan demikian karena hal itu berdampak sangat buruk terhadap kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab.
Sekarang peringatan pujangga Ronggowarsito itu boleh jadi “diplintir” menjadi “Jaman edan: wis ngedan wae ora keduman.” (Zaman edan. Sudah berperilaku seperti orang gila pun tidak kebagian). Jika sudah demikian, agar kebagian, orang harus berperilaku lebih gila daripada orang gila! Nauzubillah!
Sikap Para Elite Bangsa
Ada perbedaan sikap yang sangat mencolok ketika elite bangsa menghadapi bencana. Jika ada gubernur yang di wilayahnya terjadi bencana banjir, tetapi gubernur itu bukan orang dari partai yang didukungnya, caci-maki pada gubernur itu pun sangat gencar dilakukan. Bahkan, dia dinilai sebagai gubenur terbodoh di dunia.
Sepertinya sekarang lebih banyak elite bangsa kita yang lebih peka mengatasi dampak bencana banjir, gunung meletus, longsor, dan puting beliung daripada mengatasi bencana akhlak, padahal dampak bencana akhlak lebih dahsyat. Ketika elite bangsa diingatkan atau dikritik karena telah berbohong kepada rakyat atau membodohi rakyat, justru orang yang mengingatkannya dipolisikan atau dirundung! Tentu hal itu berpengaruh sangat buruk terhadap kepercayaan rakyat. Mereka mengingat kembali janji elite politik itu ketika berkampanye dan sadar bahwa telah dibohongi. Apa yang dapat diharapkan dari elite bangsa yang "bobrok" akhlaknya? Jika sudah demikian, bukankah keadaan itu merupakan bencana akhlak?
Boleh jadi; bencana banjir terjadi karena telah terjadi bencana akhlak. Akibat "bobroknya" akhlak, penebangan hutan dilakukan secara sembrono. Lahan subur diubah menjadi mall atau bangunan pabrik. Akibatnya, ketika terjadi hujan, banjir pun tidak dapat dihindari.
Di sisi lain, jembatan dan jalan dibangun tidak sesuai dengan standar kualitas karena dananya dikorupsi secara bersama-sama. Dampaknya tentu sangat luas.
Dampak Bencana Akhlak
Tidak hanya orang zalim yang terdampak, tetapi juga orang-orang saleh dan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Anfal (8): 25
وَا تَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَآ صَّةً ۚ وَا عْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا بِ
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya."
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan siksaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum Nabi Hud, Nabi Luth, Nabi Nuh, dan Nabi Saleh karena durhaka pada Nabinya. Allah Subḥanahu wa Ta'ala menjelaskan sikap kaum ‘Ad kepada Nabi Hud sebagaimana terdapat di dalam surat Hud (11): 53
قَا لُوْا يٰهُوْدُ مَا جِئْتَـنَا بِبَيِّنَةٍ وَّمَا نَحْنُ بِتٰـرِكِيْۤ اٰلِهَـتِنَا عَنْ قَوْلِكَ وَمَا نَحْنُ لَـكَ بِمُؤْمِنِيْنَ
"Mereka (kaum 'Ad) berkata, "Wahai Hud! Engkau tidak mendatangkan suatu bukti yang nyata kepada kami, dan kami tidak akan meninggalkan sesembahan kami karena perkataanmu dan kami tidak akan mempercayaimu,"
Nabi Hud terus berusaha menyadarkannya, tetapi mereka tetap saja membangkang. Sebagai pembelajaran bagi umat manusia, Allah Subḥanahu wa Ta'ala mengazab orang-orang yang membangkang, tetapi menyelamatkan Nabi Hud dan orang-orang beriman sebagaimana dijelaskan pada ayat: 58 dan 59,
وَ لَمَّا جَآءَ اَمْرُنَا نَجَّيْنَا هُوْدًا وَّا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ بِرَحْمَةٍ مِّنَّا ۚ وَ نَجَّيْنٰهُمْ مِّنْ عَذَا بٍ غَلِيْظٍ
"Dan ketika azab Kami datang, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat Kami. Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat."
وَتِلْكَ عَا دٌ ۗ جَحَدُوْا بِاٰ يٰتِ رَبِّهِمْ وَعَصَوْا رُسُلَهٗ وَا تَّبَعُوْۤا اَمْرَ كُلِّ جَبَّا رٍ عَنِيْدٍ
"Dan itulah (kisah) kaum 'Ad yang mengingkari tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan. Mereka mendurhakai rasul-rasul-Nya dan menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi durhaka."
Bagaimana halnya kaum Luth? Kaum Nabi Nuh dan sesudahnya? Mereka yang tidak mematuhinya pun diazab. Di dalam surat al-Israk (17): 16 Allah Subḥanahu wa Ta'ala berfirman,
وَاِ ذَاۤ اَرَدْنَاۤ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)."
Di dalam _Tafsir Al-Azhar_, Hamka menjelaskan, ayat: 16 menunjukkan betapa kekayaan dan kemewahan dapat meruntuhkan sebuah negeri. Orang-orang yang berkuasa di dalam satu negeri mendapat kesempatan yang amat luas dengan sebab kekuasaannya itu. Allah Subḥanahu wa Ta'ala membuka kesempatan bagi mereka seluas-luasnya dengan kekuasaan yang ada padanya. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap orang banyak, terhadap negeri yang mereka diami, orang-orang yang terkemuka dan berkuasa itu diperintah-Nya agar lebih dahulu menjadi contoh dalam menghormati undang-undang. Mereka harus memelopori dalam hal mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Namun, perintah itu kerapkali diabaikannya.
Kekuasaan itu membuat manusia menjadi mabuk. Itulah yang dinamakan mabuk kekuasaan. Jiwa mereka tidak lagi terkendali oleh iman. Lalu berbuat fasiklah mereka! Berbuat maksiat dan memelopori pendurhakaan kepada Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Mereka mengakui dengan mulut bahwa mereka bermaksud hendak mengerjakan perbaikan, padahal bekas dari perbuatannya bukanlah perbaikan, melainkan perusakan.
Selanjutnya, Allah Subḥanahu wa Ta'ala menjelaskan pada ujung ayat: 16 tersebut, Lantaran itu, patutlah turun ke atas mereka azab, maka Kami hancurkan sehancur-hancurnya.”
Selanjutnya, pada ayat: 17 Allah Subḥanahu wa Ta'ala berfirman,
وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُوْنِ مِنْۢ بَعْدِ نُوْحٍ ۗ وَكَفٰى بِرَبِّكَ بِذُنُوْبِ عِبَا دِهٖ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا
"Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya."
Pada ayat tersebut Allah Subḥanahu wa Ta'ala memperingatkan kepada penduduk negeri Mekkah yang menantang Nabi dan pemimpin-pemimpinnya yang berkuasa karena mereka kebanyakan kaya dan mewah, bahwa banyak negeri sesudah Nabi Nuh yang telah dihancurkan kerena kefasikan penguasa-penguasanya. Dan ayat ini pun menjadi peringatan bagi umat manusia selanjutnya bahwa Allah Subḥanahu wa Ta'ala: sewaktu-waktu dapat berbuat demikian. Ancaman-ancaman seperti ini kadang-kadang ditantang oleh kafir Quraisy.
Penolakan terhadap kebenaran dengan kesombongan orang Quraisy itu didapati juga pada segala zaman. Mereka meminta dicepatkan azab yang menghancurkan itu “kalau memang ada” Mereka berani berkata demikian karena memang tidak mau percaya. Bukankah pada masa sekarang di antara elite bangsa kita pun ada orang yang demikian?
Allahu a’lam