Belajar Kesederhanaan dari Pemimpin Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
70
Haedar Nashir. Foto: Cris

Haedar Nashir. Foto: Cris

Oleh: Herman Oesman, Dosen Sosiologi FISIP UMMU


Di tengah krisis kepemimpinan yang melanda banyak sektor kehidupan bangsa—politik, ekonomi, bahkan keagamaan—sosok Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, tampil sebagai oase kesederhanaan yang menyegarkan. Dalam situasi di mana banyak elite terjebak dalam gemerlap kekuasaan dan kemewahan, keteladanan Haedar Nashir menunjukkan bahwa, kepemimpinan bukanlah soal kekuasaan, melainkan soal pengabdian.

Haedar Nashir, sejak awal kepemimpinannya pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar, sudah menampakkan gaya kepemimpinan yang merakyat, intelektual, dan bersahaja. Ia jarang tampil dengan pengawalan berlebihan, tidak menampilkan simbol-simbol kekuasaan yang berjarak dari masyarakat, dan lebih senang berbicara melalui tulisan, kajian, dan dialog-dialog substantif. Kesederhanaannya menjadi kekuatan moral yang membedakannya dari banyak tokoh publik lain.

Indonesia kini menghadapi krisis moral kepemimpinan. Banyak pemimpin tampil populis, tetapi kehilangan kedalaman etik dan spiritual. Politik uang, penyalahgunaan kekuasaan, serta korupsi masih merajalela. Dalam konteks ini, kesederhanaan bukan sekadar gaya hidup, tetapi menjadi ethos kepemimpinan yang langka. 

Seperti yang ditulis Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977), salah satu penyakit sosial kita adalah kemunafikan, di mana pemimpin bicara moral tapi hidup dalam kemewahan. Haedar Nashir justru membalikkan pola itu, ia diam bekerja, sederhana hidupnya.

Syafii Maarif dalam karyanya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Maarif, 2016: 34), menegaskan, tantangan utama pemimpin bangsa ini bukanlah kurangnya visi, tetapi absennya integritas. Maarif menegaskan bahwa “pemimpin yang baik bukan yang banyak bicara, melainkan yang hidupnya menjadi teladan.”

Haedar Nashir tampak menerjemahkan prinsip itu dalam praktiknya sehari-hari, bahkan dalam kebijakan strategis Muhammadiyah sekalipun, Haedar Nashir mendorong kemandirian ekonomi, pendidikan inklusif, dan keberpihakan kepada umat marginal tanpa banyak retorika.

Sebagai seorang akademisi dengan latar belakang sosiologi, Haedar Nashir membawa pendekatan reflektif dan kritis dalam memimpin Muhammadiyah. Ia tidak segan berbicara tentang masalah bangsa dengan kedalaman analisis, tetapi tetap menyajikannya dengan bahasa yang membumi.

Dalam bukunya Islam Berkemajuan: Teologi Pencerahan dan Etika Sosial (Nashir, 2016), ia menguraikan bahwa Islam berkemajuan adalah jalan tengah antara tekstualisme kaku dan liberalisme kosong, dan bahwa nilai kesederhanaan adalah bagian dari etika Islam yang membebaskan dan memajukan.

Haedar Nashir adalah contoh dari apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai “intelektual organik” (Gramsci, 1971). Ia tidak memisahkan diri dari denyut masyarakat, melainkan menyatu dalam gerakan umat. Dalam berbagai kesempatan, Haedar Nashir lebih memilih naik kendaraan umum atau biasa saja ketika kunjungan kerja, bahkan acapkali tidak tampak dikawal ketat.

Hal ini bukan semata-mata simbolik, tetapi refleksi dari keyakinannya bahwa pemimpin harus menjadi bagian dari rakyat, bukan menempatkan diri di atas mereka. Salah satu sifat merakyat Haedar Nashir adalah selalu hadir pada setiap undangan dari Pengurus Daerah Muhammadiyah, tanpa mempersoalkan jarak dan fasilitas.

Kritik Atas Pemimpin Elitis

Budaya pemimpin elitis yang semakin menguat dalam lanskap politik Indonesia sangat kontras dengan gaya kepemimpinan Haedar Nashir. Ketika banyak pemimpin mengejar pencitraan di media sosial, Haedar Nashir tetap konsisten dalam jalur akademik dan dakwah.  
Ia selalu hadir menginspirasi untuk meneguhkan komitmen kebangsaan dan keislaman otentik.

Dalam wawancaranya dengan Republika (2023), Haedar Nashir menyatakan bahwa "pemimpin harus menjadi peneduh, bukan justru menambah gaduh,"—sebuah kritik tajam terhadap gaya kepemimpinan kontemporer yang gemar kontroversi dan minim substansi.

Di sinilah kesederhanaan menjadi alat kritik sosial. Ketika seorang tokoh publik memilih hidup bersahaja di tengah hedonisme elite, ia sedang menyampaikan pesan moral yang kuat. Ini sejalan dengan teori kepemimpinan transformasional dari James MacGregor Burns (1978), yang menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memengaruhi nilai dan perilaku pengikutnya melalui teladan dan visi yang berorientasi pada kebaikan bersama.

Dalam perspektif sosiologi agama, seperti diuraikan oleh Emile Durkheim (1912), agama memiliki fungsi memperkuat kohesi sosial melalui simbol dan nilai. Muhammadiyah, di bawah kepemimpinan Haedar Nashir, telah memperlihatkan bahwa organisasi keagamaan bisa menjadi lokomotif perubahan sosial, jika dipimpin dengan integritas dan kesederhanaan. 
Nilai-nilai ini juga penting dalam merawat kepercayaan publik terhadap institusi sosial.

Haedar Nashir bukan pemimpin yang sempurna. Ia sendiri kerap mengingatkan bahwa dirinya hanya manusia biasa. Namun, dalam zaman yang dipenuhi retorika kosong, kehadirannya menjadi cermin bahwa pemimpin bisa tetap berpijak pada akhlak dan kesahajaan. Dalam satu pidato Muktamar ke-48 di Surakarta tahun 2022, Haedar Nashir menegaskan bahwa “kesederhanaan bukan bentuk kemunduran, tapi jalan untuk membangun peradaban luhur.”

Bangsa ini butuh lebih banyak pemimpin seperti Haedar Nashir—yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga jernih dalam moral dan bersahaja dalam hidup. Kesederhanaannya bukan sekadar gaya personal, tetapi sebuah pilihan politik dan spiritual. Di tengah krisis kepemimpinan nasional, kita patut belajar dari sosok ini bahwa kekuatan pemimpin justru lahir dari integritas, keteladanan, dan kedekatan pada realitas rakyat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (16) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

7 November 2024

Wawasan

Memilih Kebaikan dan Menjauhi Keburukan Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Kehidupan dunia....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

"Moralitas Terjun Bebas", Refleksi Akhir Tahun Bangsa Beragama Oleh: Dani Yanuar Eka Putra Penulis....

Suara Muhammadiyah

30 December 2024

Wawasan

Tidak Berhenti Pada Jilbab Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso, Ta....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Oleh: Herman Oesman, Dosen Sosiologi FISIP UMMU Di tengah krisis kepemimpinan yang melanda banyak s....

Suara Muhammadiyah

18 May 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah