Awan Gelap Masih di atas Hukum

Publish

23 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
84
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Awan Gelap Masih di atas Hukum

Oleh: Sobirin Malian, Dosen Magister Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Teori kausalitas telah mengajarkan, bahwa “apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari pekerjaan kita di masa lalu.” Dalam konteks putusan hakim terhadap Tom Lembong, tak jauh dari teori itu. Apakah itu mengagetkan kita semua? Tidak juga,  karena antara pembelaan, kenyataan dan putusan sering memang tidak koheren. Bahkan substansi kasus yang dituduhkan kepada Tom Lembong kan mirip sama (koherensi) dengan menteri-menteri yang mengimpor itu, tetapi hanya Tom Lembong yang “dipaksakan” masuk pengadilan. Itulah yang dikatakan pengacara Tom Lembang, Dr. Ari bahwa,  “jika putusannya tetap dipaksakan, maka sejatinya keadilan itu memang masih jauh”. Istilah bang Todung Mulya Lubis, “Langit Hitam Pemberantasan Korupsi” masih menyelimuti Indonesia (Kompas, 22/7/2025). Pengadilan memang bukan tempat mendapat keadilan melainkan tempat mengadili saja. 

Dalam konteks momentum untuk menegakkan kepastian hukum dan keadilan lembaga hukum kita (kepolisian, Kejaksaan, kehakiman) memang sudah beberapa kali gagal merebut kesempatan terbaiknya. Awal reformasi, semestinya itu menjadi titik balik dan momentum terbaik bagi lembaga penegak itu hukum untuk merebut dan menegakkan hukum sebaik-baiknya. Reformasi hukum seharusnya dapat diwujudkan dari momentum itu. Sayangnya, alih-alih momentum itu didapat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman makin jauh dari harapan. Oleh karena itu, muncullah beberapa lembaga peradilan yang diharapkan mampu mewujudkan wajah negara hukum kita lebih berwibawa. 

Ada Mahkamah Konstitusi (MK), ada Komisi Yudisial (KY), ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang paling banyak menarik perhatian publik dan muncul berbagai lembaga watchdog seperti komisi kepolisian, komisi kejaksaan, komisi penyiaran, ombudsman dan lain-lain sebagai penopang tegaknya negara hukum dengan garis lurus. Berbagai lembaga baru itu diharapkan menjadi langit cerah penegakkan hukum secara umum dan menjadi cahaya baru dalam pemberantasan korupsi. Apa lacur ? hingga hari ini harapan tinggal harapan “awan hitam” itu ternyata belum pergi.

Interpretasi Polisi, Jaksa dan Hakim

Hukum memang memiliki berbagai aliran dan itu sering menjadi pegangan hakim dalam memutus sebuah perkara. Salah satu aliran yang paling sering digunakan di Indonesia adalah aliran legisme__yang digagas oleh Austin, Kelsen dll. Aliran ini mengkonsepsikan, “hukum adalah peraturan yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk undang-undang, tidak ada hukum diluar undang-undang.” Aliran atau paham ini menempatkan undang-undang yang dibuat  oleh lembaga legislatif (dan eksekutif) sesuai Pasal 20 UUD 1945 sebagai satu-satunya sumber hukum. Peranan kepolisian, jaksa dan hakim tinggal mencocokkan saja antara fakta hukum dengan undang-undang. Berasal dari sinilah, hakim/jaksa dikatakan hanya menjadi corong undang-undang.

Bahkan seringkali bukan hanya menjadi corong undang-undang tetapi menjadi corong “penguasa”. Dalam kasus Tom Lembong hal ini seperti ada koherensinya. Istilah lain_banyak juga yang menggunakannya__dengan istilah judikokrasi, di sini dominasi keputusan hakim dan lembaga peradilan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan atau menangani perkara-perkara sesuai “pesanan” penguasa. Hakim menjadi penafsir hukum yang absolut. Model seperti ini  menjadi se frekuensi” dengan rezim yang ingin menyingkirkan lawan-lawan politik dengan tangan hukum.

Dari sinilah, para ahli tata negara sering berteriak kencang agar hukum tidak dikangkangi oleh rezim yang zalim. Penting ketegasan pemisahan “trias politika” dalam kekuasaan, ini teriakan para ahli hukum tata negara. Mengapa ? semata agar hukum tidak menjadi alat kekuasaan. Intinya, agar lembaga peradilan mampu mandiri, terlepas dari “kepentingan” sempit penguasa untuk menyingkirkan lawan politiknya.

Adalah  Satjipto Rahardjo yang gerah dengan pandangan jaksa atau hakim adalah corong undang-undang. Menurut Satjipto, cara pandang  dan doktrin potivisme itu telah melahirkan “mafia peradilan” walaupun hal ini selalu dibantah oleh Mahkamah Agung atau Kejaksaan Agung. Sejak tahun 70-an Satjipto Rahardjo konsisten menggagas “hukum progresif”.  

Dikatakanya saatnya peradilan Indonesia keluar dari cara pandang doktrin positivisme yang terbukti gagal mengusung kepastian hukum dan keadilan. Hukum kata Satjipto kala itu, telah bergeser dari “social engineering” menjadi “dark engineering” karena hukum digunakan hanya untuk mempertahankan kekuasaan orde baru. Selanjutnya ia mengatakan, “hukum adalah ciptaan manusia dan harus melayani kebutuhan serta kepentingan manusia dalam masyarakat.” 

Dalam konteks masyarakat yang mencari keadilan,hukum harus reponsif terhadap kebutuhan masyarakat dan bertujuan untuk mencapai keadilan serta kemanfaatan bagi manusia.  Hukum harus senantiasa berinteraksi dengan dinamika masyarakat. Pertanyaannya, lalu apa bedanya hukum di masa orde baru itu dengan hukum yang ada sekarang dalam konteks kasus Tom Lembong.  Tampaknya ada koherensi…hukum masih berdasar pesanan penguasa.

Belajar Dari Sejarah

 Kondisi hukum yang kita alami sekarang sejatinya tidak berbeda dengan hukum di Amerika pada abad ke-19.  Perbedaannya, bangsa Amerika khususnya para penegak hukum segera menyadari kekeliruannya. Para penegak hukum itu__terutama hakim__bersegara melakukan restorasi hukum (law restoration). Mereka ingin mengembalikan atau memperbaiki sistem hukum yang bobrok kepada hukum yang lebih baik, lebih responsif, lebih efektif adil, dan sesuai dengan kebutuhan demi menegakkan keadilan. 

Restorasi hukum di Amerika lalu ditampakkan dengan melakukan “rule breaking” yaitu membuat berbagai putusan hukum yang mendukung kebutuhan masyarakat dan secara keseluruhan membangkitkan kewibawaan bangsa. Putusan-putusan hukum hakim Amerika era itu, sering tidak mengikuti tradisi teori hukum yang ada. Tidak sedikit teori positivisne hukum yang mereka kesampingkan. Mereka mengatakan, “ini adalah konsep hukum Amerika”, “ini adalah doktrin hukum Amerika”. Hal terpenting dari putusan itu, hakim yang memutus memiliki jiwa kenegarawanan sekaligus hakim yang peka terhadap keadaan masyarakatnya, bangsanya.

Belajar dari “cara Amerika” itu,  hakim kita nampaknya masih terkungkung  dalam teori-teori klasik yang dikembangkan pemikir-pemikir hukum klasik itu, yang jika diterapkan malah jauh dari rasa keadilan masyarakat.

Di era sekarang, apa yang hadapi pengadilan jauh lebih kompleks__seperti dikatakan Dworkin , “setiap kali hakim memutus suatu perkara, maka saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu”. Hakim dalam memutus perkara melibatkan pemahaman teoritis hukum, termasuk prinsip-prinsip, norma-norma, dan konteks penerapannya. Masyarakat pun tidak lagi dapat menerima begitu saja putusan hakim, mereka akan melihat relevansi, koherensi putusan itu dan apakah memberi kepastian dan rasa keadilan. Ataukah putusan itu hanyalah pesanan penguasa !?

 

                

                


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Sambut Hari Kemenangan dengan Gembira dan Istiqamah dalam Kebajikan Oleh: Rumini Zulfukar (Gus Zul)....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Wawasan

HEBATNYA PEREMPUAN: Menguatkan Peran di Rumah dan Organisasi Oleh: Bahren Nurdin Dalam lintasan se....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Anak Saleh (26) Oleh: Mohammad Fakhrudin  "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh mela....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

Oleh: Teguh Pamungkas Indonesia merayakan HUT ke-78 kemerdekaan RI pada bulan lalu. Kemerdekaan yan....

Suara Muhammadiyah

20 September 2023

Wawasan

Dakwah Menjawab Jiwa Zaman: Belajar Dari KH Ahmad Dahlan Keharusan Peta Dakwah Oleh: Saidun Derani....

Suara Muhammadiyah

7 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah