At-Taubah Ayat 3: Meluruskan Pemahaman Tobat dan Perjanjian dalam Islam

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
55
Foto Istimewa

Foto Istimewa

At-Taubah Ayat 3: Meluruskan Pemahaman Tobat dan Perjanjian dalam Islam

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas 

Pernahkah Anda membaca sebuah ayat, merasa telah mengerti esensinya, namun kemudian tersadar bahwa ada lapisan makna yang lebih kaya dan perspektif yang berbeda yang belum tersentuh? Di sinilah kita akan mengupas tuntas ayat-ayat semacam itu, membongkar asumsi lama, dan membuka cakrawala pemahaman baru.

Pada episode kali ini, perhatian kita tertuju pada sebuah ayat krusial dari Surah At-Taubah, Ayat 3. Ayat ini berbunyi: "Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Maka jika kamu bertaubat, itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih." Sekilas, ayat ini mungkin terdengar tegas, namun mari kita selami konteks dan kaitannya yang lebih luas untuk mengungkap hikmah di baliknya.

Ayat yang kita bahas ini, Surah At-Taubah ayat 3, tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari jalinan narasi yang kuat dalam bab yang sama, terutama yang berkaitan dengan kewajiban perjanjian. Dalam metodologi pemahaman Al-Qur'an, ada sebuah prinsip fundamental: satu bagian dari Kitab Suci seringkali berfungsi sebagai penjelas bagi bagian lainnya. Apa yang mungkin disinggung secara ringkas dalam satu ayat, bisa jadi diperluas dan dielaborasi secara detail di ayat lain, bahkan di bab yang berbeda sekalipun.

Dalam Surah At-Taubah ini, kita disuguhi sebuah rangkaian ayat yang menunjukkan keterikatan luar biasa. Ayat-ayat ini tidak hanya berbagi tema dan konsep yang sama, tetapi seringkali juga menggunakan diksi dan frasa yang serupa, menciptakan paralelisme yang mendalam dan perluasan gagasan yang kuat. Ayat 3, khususnya, bertindak sebagai semacam rekapitulasi, merangkum ide-ide kunci yang telah diperkenalkan di Ayat 1 dan 2, namun dengan formulasi yang sedikit berbeda yang menambahkan nuansa. 

Sebagai contoh, Ayat 1 hanya menyiratkan adanya "proklamasi" tanpa menjabarkannya secara lengkap, seolah-olah mengundang kita untuk mengisi kekosongan pemahaman. Nah, di sinilah Ayat 3 berperan. Ia datang untuk mengklarifikasi dan melengkapi, menegaskan bahwa itu adalah "pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik." Ini bukan sekadar pengulangan, melainkan penegasan yang memperdalam pemahaman kita tentang janji dan peringatan ilahi ini.

Salah satu titik krusial di mana pemahaman tentang ayat ini seringkali tergelincir, terutama di kalangan beberapa mufasir klasik, adalah interpretasi terhadap seruan untuk bertaubat. Selama berabad-abad, seruan ilahi ini kerap ditafsirkan sebagai tuntutan mutlak bagi kaum musyrik untuk meninggalkan kepercayaan politeistik mereka, secara harfiah. Konsekuensi dari penafsiran semacam itu sungguhlah berat: ia memicu pandangan bahwa jika mereka enggan bertaubat dari syirik, umat Islam diperintahkan untuk melancarkan peperangan tanpa henti, sebuah "perang abadi" yang bertujuan menjadikan seluruh wilayah sebagai negeri yang menganut monoteisme semata.

Namun, kami tegaskan bahwa penafsiran semacam ini merupakan kesalahpahaman yang sangat serius dan mendalam. Mengapa? Karena ia berdiri dalam kontradiksi yang mencolok dengan inti ajaran Al-Qur'an secara keseluruhan. Al-Qur'an, dalam banyak ayatnya, justru dengan tegas mendorong umat Islam untuk menjalin kehidupan yang harmonis dan damai dengan penganut kepercayaan lain. Spirit "hidup dan membiarkan hidup" adalah benang merah yang kuat, menjunjung tinggi prinsip kebebasan berkeyakinan. 

Ingatlah firman Allah yang begitu eksplisit: "Barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah ia kafir" (Surah Al-Kahf [18]: 29). Lebih jauh lagi, Al-Qur'an secara lugas menyatakan, "Tidak ada paksaan dalam agama" (Surah Al-Baqarah [2]: 256). Ayat-ayat fundamental ini dengan jelas menunjukkan bahwa keimanan adalah pilihan hati nurani, bukan hasil paksaan atau ancaman fisik. Menafsirkan seruan tobat sebagai pintu gerbang menuju konflik abadi tidak hanya menyempitkan, tetapi juga mencederai keluasan rahmat dan kebijaksanaan ilahi yang tercermin dalam Kitab Suci ini.

Lantas, apakah sebenarnya makna tobat yang dimaksud dalam ayat ini? Pemahaman yang lebih akurat dan selaras dengan spirit Al-Qur'an adalah bahwa seruan untuk bertaubat ditujukan agar mereka menghentikan agresi dan serangan terhadap umat Islam. Ini bukanlah seruan untuk mengubah keyakinan secara paksa, melainkan panggilan untuk mengakhiri permusuhan dan kekerasan. Konsep ini diperkuat oleh ayat-ayat lain yang begitu jelas dan gamblang. 

Ambil contoh Surah Al-Baqarah, Ayat 192, yang menyatakan dengan penuh rahmat: "Jika mereka berhenti menyerang umat Islam, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Begitu pula, Ayat 193 dari surah yang sama menegaskan kembali prinsip ini: "Jika mereka berhenti menyerang umat Islam, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim atau orang-orang yang melakukan kezaliman di muka bumi." Ini menunjukkan bahwa esensi dari permusuhan bukanlah perbedaan keyakinan, melainkan tindakan penindasan dan kezaliman. 

Oleh karena itu, ketika Surah At-Taubah, Ayat 3, berbicara tentang "taubat," ia mengacu pada tindakan praktis untuk menghentikan permusuhan dan kekerasan terhadap umat Islam. Sebaliknya, jika mereka bersikeras melanjutkan agresi, maka umat Islam diberi izin untuk membalas dalam rangka membela diri, bukan atas dasar perbedaan agama, melainkan sebagai respons terhadap ancaman fisik.

Klarifikasi yang lebih mendalam tentang prinsip-prinsip ini datang dari ayat berikutnya, Surah At-Taubah, Ayat 4. Ayat ini dengan tegas menyatakan: "Kecuali orang-orang musyrik yang telah kamu adakan perjanjian dengan mereka dan mereka sedikit pun tidak mengurangi janji mereka (dengan tidak mengkhianati) dan tidak (pula) menolong seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." 

Ayat yang luar biasa ini secara eksplisit mengizinkan, bahkan menganjurkan, adanya perjanjian damai dengan non-Muslim. Ia menekankan bahwa jika suatu perjanjian telah dibuat dan pihak lain memenuhi kewajibannya tanpa khianat atau membantu musuh, maka umat Islam wajib memenuhi perjanjian tersebut hingga akhir masa berlakunya. Ini adalah bukti nyata bahwa Al-Qur'an menghargai kesucian perjanjian dan komitmen.

Pernyataan ini secara fundamental bertentangan langsung dengan gagasan perang abadi yang didasarkan pada perbedaan keyakinan politeistik. Sebaliknya, ia memperkuat pesan Al-Qur'an yang lebih luas dan luhur tentang hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan menjunjung tinggi komitmen yang telah disepakati. Ini bukan tentang menghapus perbedaan, melainkan tentang bagaimana mengelola perbedaan tersebut dengan adil dan damai, menciptakan masyarakat yang harmonis berdasarkan prinsip keadilan dan penghormatan. Ini adalah undangan untuk membangun jembatan, bukan tembok, di antara sesama manusia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Pengumpulan dan Penulisan Hadits Oleh: Donny Syofyan Al-Qur’an memerintahkan kita mematuhi A....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Khazanah

Dari Darus-Salam Menuju Darus-sosialis: Cara Pak Kasman Memahami Perempuan dalam Islam Oleh: M....

Suara Muhammadiyah

27 September 2023

Khazanah

Kitab-Kitab Hadits (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas A....

Suara Muhammadiyah

15 December 2023

Khazanah

Bukan Perintah Pembantaian: Menguak Tafsir Sejati Surah Al-Anfal Ayat 67 Oleh: Donny Syofyan, Dosen....

Suara Muhammadiyah

21 July 2025

Khazanah

Madrid: Satu Ibu Kota Eropa Dibangun oleh Muslim Oleh: Prof Syamsul Anwar MA, Ketua PP Muhammadiyah....

Suara Muhammadiyah

10 July 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah