Apakah Benar Ada Ayat Al-Qur`an yang Dihapus? Menuju Pemahaman yang Lebih Utuh
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dalam Surah Al-Baqarah (2:106), Al-Qur`an menyampaikan sebuah prinsip ilahi yang mendalam: "Ayat mana saja yang Kami batalkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?" Di sini, kata kunci ayat dalam bahasa Arab. Ia menyimpan makna yang lebih luas, merujuk pada tanda-tanda kebesaran Allah, baik yang terhampar di cakrawala maupun yang terukir di bumi. Namun, dalam konteks ayat ini, fokusnya tertuju pada ayat-ayat dalam kitab suci.
Penting untuk dicatat bahwa rujukan ini tidak terbatas pada Al-Qur`an semata. Bisa jadi, yang dimaksud adalah ayat-ayat dari kitab-kitab suci terdahulu. Sebagai ilustrasi, Al-Qur`an sendiri dalam Surah Ali Imran menyinggung tentang Ahli Kitab, yang diidentifikasi kemungkinan sebagai kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka digambarkan membaca firman-firman Allah, yang ditafsirkan sebagai ayat-ayat suci sebelum kedatangan Al-Qur`an. Mereka bahkan bersujud, mengamalkan ajaran tersebut siang dan malam. Dengan demikian, Al-Qur`an memberikan apresiasi kepada mereka yang menghayati kitab suci mereka dan merespons seruan Ilahi dengan tulus.
Kembali pada inti Surah Al-Baqarah (2:106), ayat ini menekankan bahwa “ayat mana saja yang Kami hapuskan atau Kami lupakan” akan digantikan dengan “yang lebih baik daripadanya, atau setidaknya serupa dengannya”. Penutup ayat ini kembali menegaskan keagungan dan kekuasaan mutlak Allah: “Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” Para mufasir klasik Al-Qur`an memahami ayat ini sebagai indikasi adanya penghapusan (abrogasi) sebagian ayat Al-Qur`an oleh ayat lainnya.
Istilah 'menghapus' atau 'abrogasi' dalam konteks ini adalah konsep hukum yang lazim dikenal dalam dunia perundang-undangan, mirip dengan 'mencabut' sebuah undang-undang lama untuk digantikan dengan yang baru seiring perubahan zaman dan kebutuhan. Pemahaman inilah yang mendasari interpretasi para ulama terdahulu mengenai kemungkinan adanya aturan dalam Al-Qur`an yang berlaku pada suatu masa, namun kemudian digantikan oleh aturan yang lebih sesuai dengan perkembangan selanjutnya.
Namun, interpretasi klasik mengenai penghapusan ayat melahirkan skenario yang cukup kompleks. Para ulama terdahulu mengajukan gagasan bahwa dalam Al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang datang lebih awal dan ayat-ayat yang datang kemudian. Menurut pandangan ini, hanya ayat yang datang belakanganlah yang dianggap berlaku, sementara ayat sebelumnya dianggap telah dihapus. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah munculnya kebingungan di kalangan umat Islam. Ketika menemukan sebuah ayat, mereka tidak dapat langsung yakin apakah ayat tersebut masih berlaku atau sudah dihapus, sehingga memerlukan rujukan kepada para ulama untuk mendapatkan kepastian.
Hal ini secara tidak langsung menimbulkan kesan bahwa pemahaman langsung terhadap firman Allah menjadi terhalang, kecuali melalui perantara penjelasan para ahli. Lebih jauh lagi, muncul pula pandangan bahwa mungkin ada ayat Al-Qur`an yang bacaannya telah dihapus dari mushaf, namun hukum yang terkandung di dalamnya tetap berlaku. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin umat Islam harus mengamalkan sesuatu yang tidak lagi tertulis dalam kitab suci mereka, dan menganggapnya sebagai wahyu Ilahi. Kompleksitas ini semakin bertambah dengan adanya pendapat bahwa sebagian ayat bahkan dihapus secara keseluruhan, baik lafaz maupun hukumnya, meskipun hal ini secara praktis tidak menimbulkan masalah karena keberadaannya telah tiada.
Namun, gagasan tentang ayat yang hilang namun hukumnya tetap berlaku terasa janggal. Mengapa Allah mewahyukan sesuatu, menghapusnya dari kitab-Nya, namun tetap memerintahkan untuk mengikutinya? Dan sebaliknya, mengapa ada ayat yang tetap tertulis namun tidak boleh diamalkan? Kompleksitas inilah yang menunjukkan bahwa pemahaman tentang penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an itu sendiri menimbulkan banyak pertanyaan dan potensi kebingungan.
Dalam konteks diskusi ini, menjadi semakin jelas bahwa ayat 2:106 tidak sedang membicarakan tentang penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an itu sendiri. Justru, konteksnya mengarah pada kedatangan Al-Qur`an sebagai wahyu terakhir yang menggantikan atau menyempurnakan wahyu-wahyu sebelumnya. Keyakinan ini memang merupakan pandangan yang umum di kalangan umat Islam.
Jika kita menelusuri lebih jauh dalam Surah Al-Baqarah, kita akan menemukan bahwa di bagian-bagian awal surah ini telah dibahas tentang penciptaan langit dan bumi, kisah penciptaan Adam dan pasangannya di surga, cerita tentang kejatuhan mereka yang memiliki kemiripan dengan kisah dalam Kitab Kejadian di Alkitab, serta sejarah bangsa Israel dan bagaimana Allah menurunkan wahyu-wahyu sebelumnya kepada para nabi seperti Musa dan Isa, termasuk Injil. Kemudian, muncullah ayat 2:106 yang menyatakan bahwa Allah menghapus sebagian dari wahyu sebelumnya. Hal ini menjadi semacam pengantar atau landasan bagi Allah untuk memperkenalkan syariat atau legislasi Al-Qur`an yang baru.
Sebagai contoh konkret, ketika kita beranjak ke ayat nomor 142 dalam surah yang sama, kita menyaksikan diperkenalkannya sebuah sistem legislasi yang baru, ditandai dengan perubahan arah kiblat umat Islam. Sebelumnya, umat Islam dan bahkan umat beragama lainnya menghadap ke Masjid Al-Aqsa atau setidaknya ke arah Bukit Bait di Yerusalem, yang pada saat itu masih berdiri meskipun bangunan Masjid Al-Aqsa yang kita kenal sekarang belum dibangun. Mereka menghadap ke apa yang mereka yakini sebagai Bait Suci Yerusalem atau sisa-sisa Bukit Bait.
Namun, Al-Qur`an kemudian memberikan pengarahan baru. Perubahan kiblat ini juga diikuti dengan penetapan hukum-hukum baru, seperti aturan mengenai makanan, pernikahan dan perceraian, serta transaksi keuangan, termasuk larangan riba. Dengan demikian, surah 2:106 berfungsi mempersiapkan pemahaman bahwa sebagian hukum-hukum yang ada dalam kitab suci sebelumnya akan dihapus atau digantikan. Meskipun hukum-hukum tersebut berasal dari Allah, umat Islam tidak perlu khawatir karena ini adalah cara Allah dalam mengatur umat manusia. Apapun yang Allah hapuskan dari wahyu sebelumnya, Dia pasti akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik atau setidaknya serupa. Jadi, tidak ada yang hilang atau perlu dikhawatirkan.
Dengan perspektif yang lebih jernih ini, kita tidak perlu lagi membebani Al-Qur`an dengan keyakinan pada sistem penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an yang rumit, yang telah dirumuskan oleh sebagian ulama. Sistem ini justru menimbulkan keraguan, di mana seorang Muslim tidak dapat secara langsung memahami dan mengamalkan sebuah ayat tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan para ahli untuk memastikan statusnya, apakah masih berlaku atau telah dihapus. Ironisnya, bahkan di antara para ulama sendiri terkadang terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat mana yang menghapus ayat mana.
Lebih jauh lagi, gagasan tentang adanya ayat Al-Qur`an yang pernah diwahyukan namun kemudian dihilangkan dari mushaf, namun hukumnya tetap berlaku, terasa sulit diterima akal. Demikian pula dengan konsep ayat yang dihapus secara total, baik lafaz maupun hukumnya, meskipun tidak menimbulkan masalah praktis karena keberadaannya telah tiada. Kejanggalan semakin terasa ketika membayangkan Allah mewahyukan sebuah pesan, lalu menghapusnya dari kitab-Nya, namun tetap mewajibkan umat-Nya untuk mengikutinya. Begitu juga sebaliknya, mengapa Allah membiarkan sebuah ayat tetap tertulis dalam Al-Qur`an namun tidak menghendaki umat-Nya untuk mengamalkannya?
Koreksi terhadap kesalahpahaman ini akan membawa dampak yang signifikan. Kita akan menyadari bahwa banyak bagian dalam Al-Qur`an yang selama ini dianggap telah dihapus oleh ayat lain, sebenarnya masih relevan dan dapat diamalkan. Pandangan keliru tentang penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an telah membuat sebagian besar Al-Qur`an terkesan lemah atau tidak berfungsi secara utuh. Ayat-ayatnya tetap kita baca, namun seringkali hanya untuk mencari berkah tanpa berani mengamalkan ketentuan yang terkandung di dalamnya.
Menariknya, terdapat beberapa penerjemah dan mufasir Al-Qur`an modern yang menyadari bahwa konsep penghapusan dalam surah 2:106 tidak merujuk pada penghapusan di dalam Al-Qur`an itu sendiri, melainkan pada penggantian atau penyempurnaan wahyu-wahyu sebelumnya. Sebagai contoh, Safi Kaskas memberikan catatan dalam terjemahannya bahwa ayat yang dihapuskan atau dilupakan adalah ayat dari wahyu sebelumnya, yang kemudian diganti dengan yang lebih baik atau serupa. Taha Jabir Al-Alwani, mantan presiden IIIT (International Institute of Islamic Thought), juga telah memberikan kajian mendalam dan menulis tentang problematik penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an.
Banyak sarjana modern lainnya juga mengakui bahwa konsep penghapusan ayat di dalam Al-Qur`an seringkali menjadi strategi yang dianggap mudah oleh para ulama terdahulu ketika menemukan adanya potensi pertentangan antara dua ayat Al-Qur`an. Alih-alih mencari solusi harmonis, mereka memilih jalan pintas dengan menyatakan salah satu ayat telah dihapus. Namun, pandangan yang lebih kontemporer menawarkan solusi yang lebih integratif, yaitu memahami bahwa kedua ayat tersebut mungkin memiliki konteks atau tingkat spesifisitas yang berbeda. Satu ayat mungkin berbicara secara lebih umum, sementara yang lain lebih spesifik, sehingga keduanya tetap relevan dan dapat diterapkan dalam situasi yang berbeda.
Dengan pemahaman ini, kita dituntut untuk berpikir lebih mendalam dalam memahami Al-Qur`an, melihat bagaimana berbagai ayat saling melengkapi dan berlaku dalam konteks yang sesuai. Al-Qur`an sebagai kitab terakhir dari Allah akan tetap relevan dan berfungsi secara utuh dalam membimbing umat manusia hingga akhir zaman.