Omon-Omon Soal Tambang
Oleh: Wahyudi Nasution
Sudah lama Pak Bei tidak kedatangan tamu rombongan mahasiswa seperti malam ini. Sesuai pesan Fauzi via WA tadi siang, nanti malam sekitar isya' dia akan sowan bersama 10 temannya, mahasiswa Klaten yang kuliah pada beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Fauzi ini putra bungsu Kang Dayat, sahabat Pak Bei sejak jaman sekolah di SMP Muhammadiyah 2 Jatinom, Klaten awal 1980an, hingga saat ini. Jadi, sejak kecil Fauzi sudah kenal Pak Bei yang sering bertandang ke rumahnya.
Ternyata benar, Fauzi dan teman-temannya datang tepat waktu, di saat suara azan terdengar bertalu-talu dari corong masjid-masjid sekitar kampung Pak Bei. Anak-anak muda itu pun langsung diajaknya ke masjid depan rumah untuk ikut sholat berjamaah. Seusai sholat, mereka diajak kembali ke nDalem Pak Bei, duduk lesehan di karpet yang sudah tergelar di teras. Dan tak lupa, Pak Bei order ke Mas Cahya putra sulungnya, 11 gelas kopi untuk teman ngobrol dengan tamunya.
Sambil menunggu kopi tersaji, obrolan ringan pun dimulai dengan ta'aruf. Fauzi memperkenalkan nama, rumah, dan asal kuliah teman-temannya. Ada yang dari UMY dan UAD Jogja, dari UMS Solo, dan Unimus Semarang. Ternyata, meski wajah-wajahnya tampak masih culun, mereka aktivis di kampusnya masing-masing. Beberapa aktif di IMM, dan ada juga yang aktif di HMI.
Cahya keluar menyajikan 11 gelas kopi di nampan, lalu menyalami anak-anak muda tamu ayahnya itu satu-persatu.
"Kalau gak ada kerjaan, sini ikut ngobrol, Le," kata Pak Bei pada Cahya.
"Waduh maaf, Yah, Cahya harus nyelesaikan editing video," jawab Cahya sambil mohon ijin undur diri. Pak Bei pun maklum, pekerjaan Cahya untuk urusan marketing online produk-produk Bundaco memang lebih banyak dilakukannya di malam hari.
"Ayo, Adik-Adik, silakan diminum kopinya, baru kita lanjut ngobrol," Pak Bei mempersilakan tamunya. Anak-anak muda itu pun nyeruput kopinya masing-masing.
"Pak Bei, kami sowan kemari ini untuk bincang-bincang soal keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akhirnya menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan dari Pemerintah Jokowi," Fauzi mulai membuka tema.
Pak Bei tidak terkejut. Tema itu memang masih hangat di kalangan kader Muhammadiyah sejak di tingkat Pusat hingga Ranting, di kalangan mahasiswa sambil ngopi di cafe hingga pemuda-pemuda kampung di gardu ronda.
"Kami ini tidak habis pikir, Pak Bei, kenapa PP Muhammadiyah akhirnya menerima juga tawaran IUP itu. Ada apa? Padahal selama ini sangat kritis terhadap kerusakan lingkungan dan dampak sosial dari usaha pertambangan," kata Doni.
"Benar, Pak Bei. Sungguh kami tidak rela kalau Muhammadiyah yang selama ini moderat, independen, dan bersahaja ternyata berubah menjadi sekelompok orang yang 'membawa kerusakan di muka bumi' gara-gara tergiur tambang," sambung Irfan.
"Kami juga kecewa kalau gara-gara IUP ini Muhammadiyah yang kita banggakan ternyata berubah menjadi subordinat Pemerintah sehingga kehilangan daya kritis terhadap kemungkaran dan ketidakadilan. Bukankah ada pepatah Jawa mengatakan Ojo cedhak kebo gupak, jangan dekat-dekat kerbau yang sedang berkubang lumpur, karena bisa ikut terkena kotoran?" sambung Ihsan.
"Pak Bei, aktivitas pertambangan selama ini telah berdampak serius pada kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial-ekonomi, dan ketidakadilan sosial. Masyarakat yang berani protes bahkan diintimidasi dan dikriminalkan. Semestinya Muhammadiyah terjun di gerakan rehabilitasi bekas tambang, advokasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar area tambang. Lha kok malah mau ikut-ikutan nambang," sambung Arhan.
"Pak Bei ini termasuk pengurus di PP Muhammadiyah, kan? Tentu Pak Bei tahu dan pasti bisa membantu kami memahami masalah ini, syukur bisa menyalurkan aspirasi kami ke PP," kata Fauzi.
"Iya, Pak Bei. Kami sangat malu setiap kali diskusi dengan teman-teman kampus atau membaca kritik dari para aktivis lingkungan di media sosial. Kali ini Muhammadiyah seakan jadi bulan-bulanan gara-gara tambang. Mereka sangat kecewa pada Muhammadiyah yang ikut tergiur dengan iming-iming lezatnya tambang," kata Arya.
Semua mata memandang Pak Bei, menunggu respon atas 'gugatan' yang mereka lancarkan bertubi-tubi. Tapi tentu bukan Pak Bei kalau fast-respon apalagi emosi menghadapi protes anak-anak muda. Tetap saja Pak Bei slow, santai, bahkan senyum-senyum memandang wajah mereka satu-persatu, memberi kesempatan kalau masih ada yang mau menumpahkan kritik dan kekecewaannya. Pak Bei sadar, mahasiswa memang harus kritis, peka, dan tidak takut menyampaikan pendapat. Mereka pemimpin di masa depan.
"Masih ada lagi, Adik-Adik?," Pak Bei mulai merespon.
"Cukup itu dulu, Pak Bei," jawab Fauzi.
"Baiklah. Sungguh saya sangat senang Kalian datang kemari untuk ngobrol soal tambang. Mohon maaf saya memakai istilah ngobrol, bukan tabayyun. Pertama, karena posisi saya memang bukan pada kapasitas memberi penjelasan terkait keputusan Konsolidasi Nasional PP Muhammadiyah. Maqam saya ini hanyalah sebatas teman Kalian omon-omon atau rasan-rasan. Kedua, kalau istilahnya tabayyun, itu membutuhkan prasyarat kedua belah pihak siap berlapang dada untuk mencari kejelasan, titik-temu, dan kesepahaman bersama. Sementara saya ini belum tahu apakah Adik-Adik siap untuk tabayyun."
"Njih, Pak Bei. Kita sekedar pengin ngobrol santai saja. Iya to, Bro?," Fauzi minta persetujuan teman-temannya.
"Siap," jawab anak-anak muda kompak.
"Baiklah. Tolong Kalian jawab dulu pertanyaan saya. Seandainya ormas NU dan Muhammadiyah menolak tawaran IUP dari Pemerintah, kira-kira aktivitas pertambangan batu bara dan lainnya yang sudah berlangsung puluhan tahun itu akan berhenti dan menutup usahanya atau terus berlanjut?"
"Tentu saja terus berlanjut, Pak Bei."
"Kenapa?"
"Karena hidup kita sehari-hari memang butuh batu bara yang sangat besar sebagai sumber energi," jawab Ihsan.
"Masa iya?"
"Lampu-lampu ini tidak bisa menyala kalau tidak ada batu bara dipasok ke PLTU. Kita akan gelap-gulita. Kantor-kantor, sekolah, dan kampus-kampus akan tutup. Pabrik-pabrik, termasuk pabrik logam dan besi baja tidak bisa produksi sehingga pembangunan akan terhenti," jawab Ihsan dengan yakin.
"Jadi pertambangan batu bara harus terus berlangsung, ya? Lalu, siapa yang boleh melakukan aktivitas pertambangan? Apakah hanya para konglomerat dan perusahaan multinasional seperti yang terjadi selama ini?"
"Ya memang mereka yang punya semua sumber daya, Pak Bei. Mereka yang punya modal, mereka yang punya keahlian dan pengalaman," jawab Arya.
"Jadi yang lain, termasuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, tidak boleh masuk ke sektor pertambangan, begitu?"
"Masalahnya bukan boleh atau tidak boleh, Pak Bei, tapi yang namanya organisasi dakwah kan urusannya amar makruf nahy munkar, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Lha kalau ikut masuk ke bisnis tambang, itu kan sama saja masuk dan menyeru ke wilayah yang sarat kemungkaran."
"Sebagai aktivis IMM, tentu Kalian pernah membaca sejarah Muhammadiyah sejak awal berdiri di Kauman, Yogyakarta. Benar?"
"Iya benar, Pak Bei."
"Tentu kalian pernah baca, dulu ketika KHA Dahlan merintis sekolah modern alias sekolah model Belanda, banyak orang dan Kyai mencibir dan mencelanya. KHA Dahlan dianggap akan menjerumuskan anak-anak menjadi kafir. Karena persepsi orang pada waktu itu, yang namanya sekolah bagi anak-anak Islam ya di langgar atau mushala, atau di madrasah dan pondok pesantren, mengkaji Al-Quran, Hadits, dan Kitab-Kitab Ulama terdahulu dengan sistem sorogan. Begitu kan sejarahnya?"
"Iya benar, Pak Bei."
"Di awal 1920-an, Kyai Sujak mengajak masyarakat Kauman dan sekitarnya merintis usaha Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), berupa klinik kesehatan/pengobatan. Karena belum punya dokter dan ahli kesehatan modern, maka Kyai Sujak pun mengajak kerjasama dokter-dokter Belanda yang ada di RS Panti Rapih dan Bethesda Yogyakarta. Aneh, kan?"
"Jelas aneh, Pak Bei. Masyarakat kita waktu itu kalau sakit larinya ke dukun dan Kyai, bukan ke dokter seperti sekarang."
"Tepat sekali. Tapi lihatlah sekarang, ada berapa banyak Amal Usaha Muhammadiyah tersebar di seluruh pelosok negeri, bahkan ada beberapa di Luar Negeri. Paling tidak, saat ini ada 122 Rumah Sakit PKU Muhammadiyah/Aisyiyah, ditambah 20 RS PKU yang masih dalam proses pembangunan, dan 231 Klinik. Di bidang Pendidikan ada 5.345 Sekolah/Madrasah, 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah/'Asyiyah, dan 440 Pondok Pesantren. Itu belum termasuk ribuan TK ABA dan Panti Asuhan Yatim."
"Luar biasa ya, Pak Bei."
"Di usianya yang lebih dari satu abad ini, apakah terbukti bahwa sekolah yang dibangun Muhammadiyah melahirkan generasi kafir? Tidak, kan?"
"Jelas tidak, Pak Bei."
"Apakah dengan Klinik PKO yang dirintis bersama para dokter-dokter Belanda menjadikan Umat Islam menjadi murtad?"
"Nyatanya tidak, Pak Bei."
"Lalu kenapa Kalian meragukan kemampuan Muhammadiyah memasuki bisnis pertambangan? Padahal kalian pasti tahu betapa saat ini Muhammadiyah sudah punya banyak pakar dari kampus-kampus PTMA dan PTN, juga punya banyak tenaga ahli berpengalaman di bidang pertambangan. Kalau soal modal gak usah dibahaslah."
"Kami hanya khawatir Muhammadiyah akan ikut merusak lingkungan dan membuat semakin banyak orang sekitar tambang terpinggirkan hingga banyak fakir-miskin, Pak Bei."
"Apakah itu berarti Kalian masih meragukan kualitas keislaman dan kemuhammadiyahan para pimpinan Persyarikatan kita?"
"Ya bukan begitu, Pak Bei. Kami sangat percaya para pimpinan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo yang luar biasa itu. Mereka para ulama yang ikhlas yang tidak mudah tergiur oleh jabatan dan kemewahan duniawi."
"Tapi kenapa Kalian ragu dengan keputusan Konsolidasi Nasional Muhammadiyah yang melibatkan semua Pimpinan Wilayah serta para ahli di bidang pertambangan, sosial, ekonomi, juga para Ulama Tarjih?"
"Baiklah, Pak Bei. Tampaknya akhir-akhir ini kami memang terpengaruh pihak luar sehingga kami pun ikut shu'udhan pada pimpinan kita. Terima kasih atas pencerahannya."
"Sama-sama, Dik. Aku minta maaf kalau ada kata-kataku yang salah. Kita harus ingat bahwa kita ini berorganisasi, berjamaah. Tidak ada jamaah kalau tidak ada ketaatan pada imam. Bukan organisasi kalau anggotanya tidak taat pada pimpinan."
"Njih, Pak Bei. Insya Allah kami akan menjadi makmum yang baik dalam jamaah Muhammadiyah. Kami pamit dulu, Pak Bei. Sekali lagi, terima kasih atas kesediaan Pak Bei menerima kami. Mohon dimaafkan bila ada kesalahan kami," Fauzi pamitan mewakili teman-temannya.
Setelah bersalam-salaman, Pak Bei melepas tamu-tamunya di halaman. Rona kebahagiaan terpancar di wajah Pak Bei.
"Di tengah iklim Perguruan Tinggi yang cenderung memacu mahasiswanya berlomba agar cepat lulus, masih ada mahasiswa yang mau aktif berorganisasi. Alhamdulillaah," kata Pak Bei dalam hati.
#serialpakbei
#wahyudinasution
#mpmppmuhammadiyah
#jatampusat
#lpumkmpdmklaten