𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗧𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗦𝘂𝗰𝗶 𝗗𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗔𝗶𝗿 𝗦𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗻𝘆𝗮𝗽𝗮
Oleh: Rumini Zulfikar
Penasehat PRM Troketon, Pedan, Klaten.
"Rasa adalah sebuah naluri nafsu manusia didasarkan atas satu frekuensi yang sama dalam bentuk satu keyakinan, baik secara biologis, ideologis, maupun satu kewilayahan atau kedaerahan."
Sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi penulis (Mbah Nini) dalam sebuah interaksi dengan teman/sahabat/saudara sesama Muslim dan saudara dalam satu wadah Persyarikatan Muhammadiyah. Yakni dengan Pak Rizki Dewantara (Redaksi Suara Muhammadiyah), Pak Bei (Anggota Majelis MPM PP Muhammadiyah), serta Pak Anas Kuntadi (Wakil Ketua yang membidangi Kader dan LRB PCM Pedan).
Dalam sebuah kesempatan, penulis (Mbah Nini) melihat story WhatsApp dari Pak Rizki. Dari situ terjadi interaksi antara penulis (Mbah Nini) dengan beberapa sahabatnya yang memposting lokasi hotel di Makkah.
Lantas,
Mbah Nini: "Berapa kilometer, Pak, jarak dari hotel ke Masjidil Haram?"
Selang beberapa menit dijawab:
Pak Rizki: "Lima kilometer, Pak."
Penulis: "Oh, njih… lumayan jauh njih, Pak?"
Pak Rizki: "Njih, Pak."
Penulis: "Jaga kesehatan, Pak Rizki. Selamat di Tanah Suci. Semoga dimudahkan dalam ibadah haji dan mendapatkan predikat haji yang mabrur. Aamiin."
Pak Rizki: "Njih, Pak. Aamiin. Matursuwun doanya, Gus."
Penulis dan Pak Rizki berinteraksi intens karena setiap kali penulis membuat artikel, Pak Rizki lah yang membantu. Karena beliau adalah redaksi Suara Muhammadiyah dan tahun ini menjadi Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia.
Saling menyapa dan menanyakan kabar.
Seperti halnya penulis dengan Pak Wahyudi. Di kala Pak Wahyudi sedang di teras hotel, beliau membuat story WA: "Ngentang-ngentang (panas) cuacanya." Lantas dikomentari oleh penulis: "Ya di dalam hotel bopo pakai AC, bopo…" Beliau membalas: "Iki wau metu udut sabatang rokok, Nda." Begitu Pak Bei memanggil penulis.
Selain itu, juga saling menanyakan dan mengabarkan kondisi di Tanah Suci maupun di Indonesia.
Tak kalah penting, penulis hampir setiap pekan menerima 2–3 pesan atau telepon dari Pak Anas. Selain masih satu desa dengan penulis, beliau kalau mengirim pesan selalu dengan kode: "TF Energi."
Suatu ketika, penulis sedang kajian keluarga. Pak Anas mengirim pesan lewat WhatsApp:
Pak Anas: "Assalamu’alaikum, Mas. Tulung TF energi ya, ini kondisi awak kurang vit."
Penulis: "Wa’alaikumussalam. Njih, Kang."
Selang beberapa saat, penulis (Mbah Nini) menanyakan:
Penulis: "Gimana Kang, kondisi sudah nyaman belum Kang?"
Pak Anas: "Alhamdulillah sudah nyaman, Mas. Matursuwun, Mas."
Dan malam Selasa, juga ngobrol lewat VC sekitar 20 menitan di kala di Madinah Al-Munawwarah. Tanya kabar dan obrolan santai.
Dari contoh di atas, salah satu bagian membangun interaksi komunikasi—walaupun dipisahkan jarak ribuan kilometer—tapi ada tautan yang terkoneksi satu sama lain. Hal ini sudah sangat jelas diterangkan dalam surat Al-Anfal ayat 63:
وَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْۗ لَوْ اَنْفَقْتَ مَا فِي الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٦٣
Wa allafa baina qulûbihim, lau anfaqta mâ fil-ardli jamî‘am mâ allafta baina qulûbihim wa lâkinnallâha allafa bainahum, innahû ‘azîzun ḥakîm.
“Dia (Allah) mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Seandainya engkau (Nabi Muhammad) menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Tadabbur Ayat
Kita bisa mentadaburi ayat di atas dengan memetik pelajaran dari kisah tersebut, bahwa yang menautkan hati umat manusia hanyalah Allah atas rahmat-Nya. Kita disatukan dalam keyakinan yang sama. Kita umat Islam, maka kita bisa mengambil pelajaran bahwa selama keyakinan kita sama, Tuhan kita sama, kitab kita sama, dan Nabi kita sama—maka kita memiliki tautan satu sama lain.
Apalagi bila memiliki hubungan biologis. Akan tetapi, potret yang kita lihat saat ini kadang masih jauh dari apa yang kita harapkan, karena kegemerlapan dunia kadang membutakan hati manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, kita sebagai umat yang bertauhid harus selalu memperbarui hati ini untuk saling menautkan satu sama lain tanpa memandang status sosial kita. Semoga kita senantiasa dalam lindungan Allah SWT karena kuasa-Nya sangat mutlak dan tak bisa diubah.
Wallahu a‘lam bish-shawab.