‘Aisyiyah Role-Model Perempuan Islam Berkemajuan
Oleh” Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
‘Aisyiyah merupakan fenomena baru gerakan Islam di Indonesia dan bahkan di dunia Muslim. Aisyiyah adalah organisasi pergerakan perempuan Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917 oleh Nyai Ahmad Dahlan dalam satu kesatuan pembaruan dari berdirinya Muhammadiyah oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Bermula dari perkumpulan Sopo Tresno (artinya: siapa suka, siapa cinta) yang merupakan kelompok pengajian yang dibidani Kyai Dahlan pada tahun 1914, yang anggota-anggotanya saat itu terdiri atas perempuan-perempuan muda usia sekitar lima belas tahunan yaitu Aisyah (Hilal), Busyro Isom, Zahro Muchzin, Wadi’ah Nuh, Dalalah Hisjam, dan Badilah Zuber (Salam, 1962). Aisyiyah pada tahun 1923 dikembangkan menjadi Bagian (Bahagian) dalam Muhammadiyah. Pada tahun 1927 ‘Aisyiyah berubah menjadi Majelis ‘Aisyiyah (Hoofbestuur ‘Aisyiyah). Setelah itu sampai kini menjadi organisasi otonom khusus dalam Muhammadiyah, yang sering disebut sebagai gerakan perempuan Muhammadiyah.
Keberadaan Aisyiyah saat ini sebagai organisasi otonom khusus dalam Muhamamdiyah tidak perlu dipandang sebagai tersubordinasi, seolah hanya menjadi komponen parsial dalam sistem patriarki. Cara pandang seperti itu terlalu menyederhanakan persoalan dan hanya menggunakan pendekatan struktural yang bersifat kontradiksi dalam mazhab teori konflik ala Marxisme. Cara pandang tentang Aisyiyah dapat diletakkan dalam kerangka sistem dalam satu kesatuan yang menunjukkan saling harmoni dan interkoneksi atau dalam bahasa Islam bersifat “ajwaja” tanpa hegemoni. Teori konflik tidak selalu tepat dalam memahami semua struktur dalam kehidupan masyarakat. Lebih-lebih dengan status otonom khusus yang memiliki keleluasan selain mengatur rumah tangga sendiri, juga memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan amal usaha sendiri. Kekuatan yang paling menonjol justru Aisyiyah merupakan pelopor sekaligus penggerak perempuan Islam berkemajuan, yang bergerak leluasa tanpa kekangan struktural.
Gerak Kepeloporan
Kehadiran Aisyiyah merupakan pelopor perempuan Islam berkemajuan yang menampilkan gerakan baru Islam yang memajukan perempuan dengan tokoh utamanya Siti Walidah Dahlan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyiyah merupakan gerakan perempuan Islam pembaharu atau berkemajuan. Siti Walidah sebagai pelopor berdirinya Aisyiyah bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis pengajian yang mencerahkan kesadaran kaum perempuan. Khususnya di kalangan gadis-gadis putri untuk setara dengan kaum pria dalam martabat kemanusiaan yang utama seperti melalui pengajian Wal ‘Ashri dan Maghribi School. Pada 1927, Siti Walidah melakukan kunjungan ke Batur Jawa, Tengah dengan menunggangi kuda melewati pegunungan Dieng sebagai bukti dinamika ketokohan Aisyiyah dalam membangun kesadaran kaum perempuan. Dari tahun 1921 Siti Walidah menjabat sebagai president HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah, kemudian tahun 1927 sebagai adviseur atau penasihat ‘Aisyiyah.
Siti Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas dan terlibat aktif melakukan usaha-usaha penyadaran perempuan di ranah publik. Tokoh ini pernah diundang dalam sidang Ulama Solo yang bertempat di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta yang pesertanya adalah kaum laki-laki. Pada tahun 1926 Nyai Walidah menghadiri dan menyampaikan berpidato kunci di hadapan kongres ‘Muhammadiyah ke-15 yang berlangsung di Surabaya. Peristiwa langka ini diwartakan di beberapa harian Surabaya seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po yang memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang dipraktekkan warga ‘Aisyiyah. Beliau terus aktif dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah, mengikuti kongres 1940 yang kala itu diadakan di Yogyakarta, menerima delegasi Tanwir Muhammadiyah tahun 1945, sampai Nyai Walidah wafat tahun 1946. Nyai Walidah kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada era pemerintah Soeharto.
Aisyiyah sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergerak pada segala bidang kehidupan, menjalankan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid telah berkiprah selama seratus tahun (satu abad) untuk membela dan memajukan kehidupan umat maupun bangsa. Nyai Walidah Dahlan bersama para penggerak generasi awal telah meletakkan fondasi Aisyiyah sebagai gerakan perempuan Islam berkemajuan yang hadir ke pentas sejarah menyebarluaskan ide-ide pencerahan yang membawa kemajuan hidup umat dan bangsa yang kala itu terjajah, tertindas, dan terbelakang. Dalam salah satu pertimbangan pengangkatan Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional (Keputusan Presiden Soekarno nomor 657 tanggal 12 Desember 1961) disebutkan, bahwa “Dengan organisasinya Muhammadiyah bagian wanita atau Aisyiyah telah memelopori kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi social setingkat dengan kaum pria”.
Aisyiyah bersama komponen gerakan perempuan lainnya memelopori Kongres Wanita Pertama tahun 1928, yang diwakili oleh ibu Hayyinah dan Munjiah, sebagai bukti sejarah kehadiran gerakan ini dalam memuliakan martabat umat dan berkiprah memajukan bangsa. Kongres tersebut merupakan tonggak sejarah yang penting dalam pergerakan nasional yang melibatkan perempuan sekaligus pemaklumatan kepada khalayak tentang hadirnya kaum perempuan berkiprah di ruang publik untuk memajukan kehidupan bangsa. Peran sejarah ini menjadi momen strategis bagi Aisyiyah bahwa kehadirannya bukan hanya untuk kaum perempuan semata tetapi untuk semua umat manusia yang dimuliakan Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.
‘Aisyiyah melakukan banyak perintisan dalam usaha mencerdaskan dan memajukan masyarakat. Berbagai macam usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dilakukan seperti memelopori berdirinya Taman Kanak-Kanak (TK ABA) tahun 1919, yang waktu itu disebut Frobel sebagai Taman Kanak-Kanak pertama kali di Indonesia. Tahun 1923 Aisyiyah menggerakkan pemberantasan buta huruf Arab dan Latin sebagai usaha mencerdaskan masyarakat, yang diikuti oleh ibu-ibu dan para gadis. Tahun 1926 membuat majalah perempuan bernama Suara ‘Aisyiyah, sebagai wujud dakwah media di ruang publik, meskipun pada awalnya majalah ini memakai bahasa Jawa, untuk kemudian setelahnya memakai bahasa Melayu. Pada Kongres Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, sebagai Kongres pertama di luar Jawa, Aisyiyah melakukan gerakan bayi sehat sebagai ikhtiar membangun kesadaran para ibu dan orangtua akan pentingnya kesejahteraan generasi bangsa.
Kongres Perempuan
‘Aisyiyah memiliki andil besar dalam Kongres Perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 22 sampai 25 Desember 1928, yang saat ini diperingati sebagai Hari Ibu tanggal 22 Desember. Kongres yang pertama kali itu merupakan sejarah baru dalam pergerakan perempuan Indonesia, yang mendobrak pandangan kolot tentang perempuan yang hanya boleh berkiprah di ruang domestik dan tidak di ruang publik. Kongres Perempuan tersebut merupakan mata rantai dari kebangkitan nasional melawan penjajah sekaligus menghadirkan perjuangan kaum perempuan dalam kancah kebangsaan dan kemerdekaan.
Publik tidak banyak tahu tentang keterlibatan Aisyiyah dalam Kongres Perempuan yang bersejarah itu. Padahal selain ikut dalam prakarsa dan penyelenggaraan, wakil Aisyiyah Siti Munjiyah dan Siti Hajinah menyampaikan pidato yang sangat penting dan menarik. Siti Munjiyah berpidato tentang “Derajat Perempuan” yang menguraikan tentang kondisi perempuan yang tertinggal, sikap dan budaya yang merendahkan martabat perempuan, pandangan Islam tentang perempuan, dan pentingnya kongres serta pergerakan perempuan untuk “bangun dari tidurnya yang nyenyak”.
Setelah menguraikan kondisi perempuan yang tertinggal di berbagai belahan dunia dan budaya, Munjiyah mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari kebodohan dan ketertindasan, membangkitkan hati dan bergerak menuntut haknya yaitu “derajat perempuan”. Dia dengan tegas menyatakan: “...Baiklah sekarang kami bergerak maju mencari pengetahuan dengan bersekolah, dan bahwasanya perempuan itu sama saja dengan haknya kaum lelaki.” (PP ‘Aisyiyah, t.t.: 155). Munjiyah juga mengingatkan tentang kesamaan hak perempuan itu tidak berarti salah kaprah, yang menurutnya menghilangkan “sifat keperempuanannya”.
Adapun Siti Hayyinah menyampaikan pidato tentang “Persatoean Manoesia” (Persatuan Manusia). Dalam pidato itu Hayyinah menguraikan tentang pentingnya persatuan di tengah keragaman manusia Indonesia, yang memerlukan jalan menuju persatuan. Bahwa antar manusia Indonesia harus satu jalan yang mendatangkan persatuan, harus pergaulan, harus persaudaraan, harus berhubungan, dan harus mengadakan gerombolan atau perkumpulan. Perkumpulan itu harus membicarakan hal-hal yang perlu dijalankan secara bersama-sama, bertolong-tolongan, dan saling mengingatkan satu sama lain.
Siti Hayyinah secara tegas menyatakan: “Bukan kepalang kegirangan hati kami karena bangsa kita istri di India Timur sudah mengancik kemajuan banyak yang mengadakan perserikatan-perserikatan, bahkan ada yang berikhtiar hendak mempersatukan perserikatan-perserikatan itu sebagaimana adanya Kongres Perempuan Indonesia ini, agar supaya dapatlah kiranya kita bersama-sama membicarakan hal keperluan, kewajiban dan kemajuan kita bagi umum seperti bangsa perempuan Indonesia dan pula dapatlah pertaliannya antara bangsa perempuan Indonesia.” (PP ‘Aisyiyah, t.t.: 164). Sungguh hebat dua “Srikandi Aisyiyah” itu, ketika zaman itu pikirannya sangatlah berkemajuan. Karenanya kini para kader dan pimpinan Aisyiyah yang mengemban amanah pergerakan di awal abad kedua sangat penting untuk memperkenalkan kembali peran Aisyiyah khususnya melalui dua tokohnya dalam Kongres 1928. Hal itu diperlukan agar generasi baru paham sejarah sekaligus mengambil api spirit perjuangan perempuan Islam berkemajuan.
Kelahiran dan dinamika perkembangan Aisyiyah bersama peran para tokohnya menunjukkan karakter kuat sebagai gerakan perempuan Islam berkemajuan. Pertama, Aisyiyah lahir dari spirit dan inspirasi yang menyatu dengan kelahiran Muhammadiyah untuk mengemban misi dakwah menghadirkan diri selaku “khaira ummah” yang memadukan iman dan amal shaleh yang membawa kemajuan (QS Ali Imran: 104, 110; An-Nahl: 97). Kedua, menghadirkan usaha-usaha memajukan kaum perempuan di bidang dakwah, pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi, dan budaya yang bersifat pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan. Ketiga, mendobrak keterbelakangan atau ketertinggalan kaum perempuan Indonesia akibat struktur budaya dan paham keagamaan yang kolot (jumud, ortodoks) yang membelenggu kehidupan perempuan. Di sinilah letak kepeloporan pembaruan Aisyiyah yang menjadi role-model gerakan perempuan Islam berkemajuan di Indonesia dan dunia Islam pada abad modern!
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2024


