YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Salmah Orbayyinah menyampaikan selamat dibedahnya buku "Parmusi: Pergulatan Muhammadiyah dalam Partai Politik 1966-1971,” Selasa (19/11) di Lantai 4 Ruang Aula Grha Suara Muhammadiyah Yogyakarta. Buku ini karya Ridho Al-Hamdi, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah.
Dalam konteks Aisyiyah, Salmah teringat dengan kepemimpinan Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Baroroh Baried periode 1965-1985. Menurutnya, Siti Baroroh sebagai guru besar perempuan pertama di Indonesia, memiliki pengaruh besar terhadap Aisyiyah di dunia internasional.
“Jadi pada periode Bu Baroroh ini Aisyiyah kemudian dikenal secara luas ke dunia internasional. Karena beliau juga intelektualitasnya tinggi, juga banyak program-program internasionalisasi Aisyiyah. Jadi luar biasa pada periode kepemimpinan Bu Baroroh ini,” ujarnya.
Kaitan dengan Aisyiyah, termasuk melihat kiprah Siti Baroroh Baried, Salmah menyebut, buku tersebut sangat laik untuk dibaca dan dibedah. Baginya, Aisyiyah termasuk Nasyiatul Aisyiyah memiliki peranan sangat penting dalam dunia perpolitikan.
“Jangan dikira Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah walaupun perempuan tidak penting lagi untuk soal urusan politik, sekarang menjadi sangat penting,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Salmah mengungkapkan buku karya Ridho Al-Hamdi memberikan tawaran menarik. Pertama, mengurai sejarah politik Muhammadiyah. “Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang sejarah keterlibatan Muhammadiyah dalam politik, khususnya dalam pembentukan dan perkembangan Partai Muslimin Indonesia,” katanya.
Kedua, memberikan analisis dinamika internal. “Pembaca dapat memahami bagaimana dinamisasi internal di tubuh Muhammadiyah dan Parmusi,” jelasnya. Termasuk menggambarkan konflik, tantangan, dan bagaimana keputusan yang diambil Muhammadiyah untuk menjaga keseimbangan antara dakwah dan politik.
Ketiga, menjelaskan konteks sosial-politik. “Bagaimana konteks sosial-politik yang mempengaruhi lahirnya Parmusi,” paparnya. “Termasuk adanya tekanan dari pemerintah juga,” tambahnya. Keempat, menjelaskan peran KH Faqih Usman. Selain sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1971, sebut Salmah, “KH Faqih Usman sebagai salah satu tokoh sentra pembentukan Parmusi,” ucapnya.
Menurut Salmah, KH Faqih Usman memiliki peran sangat besar dengan menawarkan pemikiran-pemikirannya bahwa Muhammadiyah harus kembali berfungsi sebagai dakwah Islam dalam setiap langkah politik. “Jadi bukan politik praktis, tetapi non-politik pratis. Peran Muhammadiyah sebagai dakwah, tetapi juga harus melakukan langkah-langkah politik,” bebernya.
Keempat, refleksi Khittah Ujung Pandang (1971). Khittah ini, kata Salmah sangat spesifik menegaskan, Muhammadiyah tidak punya hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun. “Khittah ini menjadi landasan perjuangan Muhammadiyah mengantisipasi perubahan zaman. Khittah itu juga masih relevan untuk diterapkan dalam masa-masa ini,” tandasnya. (Cris)