YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Maraknya temuan praktik rekrutmen teroris melalui media sosial dan platform digital menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Fenomena ini dinilai sebagai bentuk adaptasi baru kelompok radikal yang memanfaatkan karakteristik teknologi komunikasi modern. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar psikologi komunikasi, Prof. Dr. Suciati, S.Sos., M.Si., dalam wawancara daring pada Sabtu petang (22/11).
Menurut Suciati, media digital memiliki kemampuan interaktif yang tinggi, tidak dibatasi ruang dan waktu, serta memungkinkan hubungan personal terbentuk dengan cepat. Karakteristik ini membuka peluang bagi penyebaran ideologi radikal secara masif namun tersembunyi.
“Brainwash yang dulu dilakukan secara offline, kini dapat terjadi melalui media digital. Ideologi radikalisme dan terorisme sangat mungkin menyusup ke dalam ruang-ruang online,” ujarnya.
Suciati menjelaskan bahwa ada dua faktor utama yang membuat remaja rentan direkrut kelompok teroris, yaitu kecanduan game atau media sosial, serta kondisi broken home atau keluarga yang tidak harmonis. Remaja yang kecanduan game biasanya mengalami perubahan perilaku signifikan, sulit mengontrol waktu bermain, kurang tidur, dan menghabiskan sebagian besar aktivitas di dunia virtual. Ketika kondisi ini diperparah dengan minimnya perhatian keluarga, anak cenderung mencari kenyamanan di ruang digital.
“Mereka yang kecanduan dan berasal dari keluarga yang kurang perhatian sangat mudah diarahkan ke platform khusus yang memang didesain oleh para perekrut,” jelasnya.
Generasi Z, menurutnya, memiliki kecenderungan lebih individualistik dan nyaman beraktivitas dalam ruang privat. Minimnya interaksi sosial membuat mereka lebih mudah bergantung pada komunitas digital, termasuk komunitas-komunitas yang telah disusupi agenda radikalisme.
Dari perspektif psikologi komunikasi, Suciati menilai gejala awal proses radikalisasi digital tidak mudah dikenali. Perubahan sikap dan pola pikir cenderung tidak terlihat hingga anak menunjukkan perilaku ekstrem.
“Contohnya kasus pelajar SMA di Jakarta yang beberapa waktu lalu melakukan percobaan peledakan bom. Tindakan itu baru muncul setelah remaja tersebut lama berinteraksi dengan kelompok radikal melalui platform game online,” ungkapnya.
Suciati menegaskan bahwa upaya pencegahan tidak bisa dibebankan kepada keluarga, sekolah, atau pemerintah secara terpisah. Semua pihak harus berperan dengan pola koordinasi yang komprehensif.
“Keluarga adalah lini pertama pencegahan. Orang tua perlu membangun hubungan yang harmonis, terbuka, empatik, dan suportif. Keluarga adalah significant others bagi anak. Jika keluarga tidak hadir, anak akan mencarinya di media sosial,” tuturnya.
Sekolah juga memegang peran penting dalam memperkuat literasi media agar siswa mampu menggunakan teknologi secara kritis dan tidak terjebak dalam kecanduan. Sementara itu, pemerintah harus memastikan regulasi berjalan efektif, termasuk pemblokiran game atau platform yang disinyalir disusupi jaringan radikal. Anak atau remaja yang telah mengalami kecanduan juga perlu mendapat penanganan medis maupun rehabilitasi.
“Regulasinya harus jelas. Game yang tidak aman harus diblokir. Anak yang sudah kecanduan perlu diterapi,” tegas Suciati.
Ia menambahkan bahwa fenomena rekrutmen teroris melalui media sosial bukan hanya persoalan teknologi, melainkan persoalan psikososial yang kompleks. Pencegahan yang efektif harus mengintegrasikan peran seluruh ekosistem, mulai dari keluarga, institusi pendidikan, hingga negara.
Dengan pola kolaboratif tersebut, ancaman radikalisasi digital diharapkan dapat ditekan sehingga generasi muda terlindungi dari manipulasi ideologi ekstrem yang kini semakin halus dan canggih. (Jeed)


