Wahai Guru, Mendidiklah dengan Cinta

Publish

13 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
161
Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd.

Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd.

Wahai Guru, Mendidiklah dengan Cinta

Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd., Wakil Dekan I FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Menjadi guru itu utama. Dalam banyak tradisi keilmuan Islam, guru ditempatkan pada derajat yang sangat mulia. Ibnu al-Mubarak sampai berkata dalam Tahdzîbul Kamâl: “Aku tidak mengetahui setelah kenabian ada derajat yang lebih utama dari menyebarkan ilmu.” Bukan omong kosong: beliau bukan hanya menulis, tapi juga menginfakkan hartanya untuk para ulama dan penuntut hadis. Pesannya jelas, ilmu harus mengalir lewat orang-orang yang mengajar dengan hati.

Di ruang kelas hari ini, kita menghadapi tantangan baru seperti target kurikulum, tekanan administrasi, ekspos media sosial, dan anak didik yang lahir di dunia serba cepat. Di tengah riuh itu, ada satu kompas yang tak boleh hilang, yakti “CINTA”. Bukan cinta yang manis-manis di poster motivasi, melainkan cinta sebagai sikap ilmiah dan spiritual. Ia berwujud rahmah, empati, penghormatan pada martabat manusia, dan komitmen membimbing seutuhnya.

Secara sederhana, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi pembentukan manusia. Cinta adalah energinya. Ketika guru mengajar dengan empati, mendengar dengan sungguh-sungguh, menegur tanpa merendahkan, dan memberi ruang aman bagi tanya - di situlah belajar menjadi pengalaman yang menyembuhkan. Gagasan “kurikulum berbasis cinta” yang belakangan digaungkan, dengan panca cinta: cinta Tuhan, ilmu, diri dan sesama, lingkungan, dan tanah air. Semua itu adalah pengingat bahwa sekolah tidak hanya menyiapkan “orang pintar”, tetapi manusia yang utuh.

Dalam wacana pedagogi global, hal ini selaras dengan pemikiran Bell Hooks (Routledge, 2023) tentang teaching to transgress, mengajar yang membebaskan lewat cinta dan keberanian. Juga Nel Noddings (Smith, 2004, 2020, 2024) tentang ethics of care and education bahwa relasi peduli yang menjadi inti pendidikan. Termasuk juga tradisi demokratis John Dewey (The Pennsylvania State University, 2001): sekolah sebagai komunitas belajar yang hidup. Benang merahnya: cinta bukan aksesori; ia struktur yang menjiwai tujuan, proses, dan penilaian.

Teladan Nabi: cinta yang menumbuhkan

Tak banyak yang benar-benar menyelami bagaimana Nabi Muhammad ﷺ mendidik. Padahal, beliau berhasil mengubah generasi dari kebodohan menuju pengetahuan, dari keras menjadi beradab, dari fanatisme menjadi persaudaraan. Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam ar-Rasûl al-Mu’allim merangkum empat sikap kunci Nabi yang sangat relevan bagi guru masa kini.

Pertama, Mendorong belajar tanpa lelah. Rasulullah ﷺ mencipta suasana belajar yang menyenangkan, menantang kebodohan, dan mengecam kemalasan. Belajar adalah kewajiban sosial-spiritual; menelantarkannya adalah kemungkaran. Maka guru hari ini perlu mengembalikan wibawa belajar; bukan lewat takut, tetapi lewat sense of purpose: ”mengapa ilmu ini berarti bagi hidupmu?”

Kedua, Berbelas kasih dan penyayang. Allah menegaskan sifat Rasul: “‘Azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum, harîshun ‘alaikum, bil-mu’minîna ra’ûfur rahîm” (QS. At-Taubah: 128). Ilmu hanya menembus hati bila ada jembatan kasih. Teguran Nabi membuat sahabat merasa dilihat, bukan dipermalukan. Bagi guru, ini berarti disiplin yang hangat: tegas pada perilaku, lembut pada pribadi.

Ketiga, Adil memberi hak setiap orang. Di majelis Nabi, tiap orang merasa paling diperhatikan. Ali r.a. meriwayatkan: “Kâna yu’thî kulla jalisihi binashîbih” - beliau memberi porsi yang adil pada tiap hadirin. Ini menjadi pedoman diferensiasi pembelajaran: tugas yang adaptif, pertanyaan yang mengundang semua suara, serta penilaian yang menghargai usaha dan proses.

Keempat, Pendengar yang rendah hati. Hadis Abu Rifâ’ah al-‘Adawî - Nabi menghentikan khutbahnya untuk melayani seorang pencari ilmu - menunjukkan dua hal: prioritas pada kebutuhan belajar dan kerendahan hati intelektual. Bagi guru, mendengar adalah metode: pahami konteks siswa, reframe pertanyaan, lalu tuntun langkah demi langkah.

Jejak kearifan Nusantara

Di Indonesia, para pendiri gerakan pendidikan Islam menjahit gagasan cinta ini ke dalam praksis. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Âlim wa al-Muta’allim menegaskan niat ikhlas, hormat, dan kasih sayang sebagai pondasi belajar. KH. Ahmad Dahlan meracik pendidikan yang progresif namun membumi - akal diasah, hati disirami - dengan pesan: ilmu bermanfaat lahir dari cinta kepada amal dan akhlak. Di kelas, dua tradisi ini bisa hadir sebagai budaya: guru yang murabbi (mendidik jiwa) dan sekolah yang rahmatan (ramah, hangat, inklusif).

Al-Qur’an menghadirkan model dialog penuh cinta antara ayah dan anak lewat nasihat Lukman (QS. 31:16-18): tauhid, ibadah, amar ma’ruf, sabar, rendah hati, dan anti-kesombongan. Lihat tutur katanya: “Yâ bunayya - wahai anakku sayang.” Inilah tone pendidikan yang menyejukkan. Para nabi, termasuk Ibrahim a.s., mengajarkan tauhid sembari tetap hadir sebagai ayah yang lembut. Pesan bagi guru: identitas profesional tidak menghapus kehangatan; justru kehangatan itulah yang menyuburkan nalar dan akhlak.

Cinta dalam pendidikan bukan memanjakan. Ia membebaskan: dari takut salah, dari gengsi bertanya, dari budaya ejek. Cinta juga menuntut standar, karena kita peduli, kita menuntut. Di sini, teguran menjadi hadiah; umpan balik menjadi jembatan kemajuan. Paulo Freire menyebutnya humanization: pendidikan yang mengembalikan martabat, bukan sekadar meluluskan.

Apa yang diajarkan para ulama tentang adab dan rahmah ternyata sejalan dengan riset mutakhir. Ethics of care (Noddings) menunjukkan bahwa relasi peduli meningkatkan motivasi intrinsik. Engaged pedagogy (Bell Hooks) menekankan keutuhan tubuh-pikiran-jiwa dalam belajar. Literatur kepemimpinan pendidikan menambahkan: sekolah yang menumbuhkan belonging berdampak pada prestasi, ketahanan mental, dan perilaku prososial. Artinya, mendidik dengan cinta itu efektif bukan hanya agamis, tapi juga ilmiah.

Akan ada hari-hari ketika kelas gaduh, target menumpuk, atau komentar warganet menyakitkan. Di situlah cinta naik kelas. Kita menahan diri untuk tidak merendahkan, memilih kata yang menegakkan harga diri siswa, mencari akar masalah ketimbang melabeli. Kita juga belajar berkata jujur pada diri: meminta maaf ketika keliru, memberi ruang pulih ketika lelah, dan saling menguatkan dalam komunitas guru. Cinta tidak membuat kita rapuh, ia membuat kita tangguh dengan cara yang lembut.

Pada akhirnya, yang tinggal dari seorang guru bukan hanya RPP dan nilai akhir, tetapi jejak kehadiran: cara kita menyapa, menatap, mendengarkan, menguatkan, dan mendoakan. Mendidik dengan cinta adalah cara paling sunyi sekaligus paling kuat untuk menyalakan masa depan. Nabi ﷺ telah mewariskan jalannya; para ulama membingkainya; para pemikir pendidikan meneliti manfaatnya; dan Indonesia punya tradisi panjang untuk merawatnya.

Maka, wahai guru, mari terus mendidik dengan cinta-cinta yang menyatukan adab dan akal, iman dan ilmu, keberanian dan kelembutan. Cinta yang membuat murid merasa “di rumah” untuk tumbuh. Cinta yang menjadikan kelas sebagai taman, bukan ruang interogasi. Cinta yang mengantar ilmu menjadi cahaya, bukan sekadar angka. Sebab pada akhirnya, pendidikan adalah seni menumbuhkan manusia. Dan harus diingat bahwa seni terbaik selalu dikerjakan dengan cinta.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Fanatik Ciri Kebodohan Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I, M.S.I. “Kita itu boleh punya prinsip, a....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Wawasan

Outlook Microfinance Muhammadiyah 2024 Oleh: Agus Yuliawan, Direktur Eksekutif Induk Baitut Tamwil ....

Suara Muhammadiyah

29 December 2023

Wawasan

Degradasi Bermuhammadiyah Oleh: Saidun Derani Pelaksanaan Pengajian bulanan Pimpinan Daerah Muhamm....

Suara Muhammadiyah

8 January 2024

Wawasan

Beridul Fitri dengan Prestasi (2) Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang   Idu....

Suara Muhammadiyah

28 March 2025

Wawasan

Inkuisisi Ibnu Hanbali (Bagian ke-1) Oleh: Donny Syofyan Jumlah umat Islam diestimasi 1.6 miliar o....

Suara Muhammadiyah

9 October 2023