Titik Temu Alam Kebatinan Warga dan Khittah Politik Muhammadiyah

Publish

19 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
869
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Titik Temu Alam Kebatinan Warga dan Khittah Politik Muhammadiyah

Oleh: Agusliadi Massere

Dinamika politik menghadapi Pemilu 2024 terus berlangsung secara dinamis, merembes ke dalam dan menembus dinding khittah politik Muhammadiyah. Meskipun demikian, kekokohan dinding tersebut, tidak membuat bangunan utama (baca: kelembagaan) Muhammadiyah goyah di tingkatan nasional. Hanya saja, rembesan tersebut sedikit memercik dan/atau membasahi cara pandang kader-kadernya. Politik yang saya maksudkan di sini adalah “politik praktis”. 

Semula, setelah membaca “Akal Politik Muhammadiyah”, “Paradigma Politik Muhammadiyah” buku-buku karya Ridho Al-Hamdi, dan termasuk buku “Khittah Muhammadiyah tentang Politik” karya Prof. Haedar Nashir, sambil meneropong situasi politik hari ini, saya ingin menulis dengan judul “Membaca DNA & Khittah, Menjaga Akal Politik Muhammadiyah”. Namun, niat ini tersandung dalam batu kecil psikologis pribadi saya, di mana diri ini, proses algoritmiknya juga senantiasa dipengaruhi untuk tidak ingin menyinggung perasaan orang lain. Saya sadari, jika ini judulnya, narasi dan/atau diksi yang sensitif tidak akan bisa dihindari. 

Membaca khittah atau garis perjuangan Muhammadiyah tentang politik, pada dasarnya kita akan menemukan satu penegasan bahwa “Muhammadiyah tidak berpolitik praktis”. Bahkan Haedar Nashir dalam bukunya tersebut—yang saya sebutkan di atas—menegasakan bahwa sifat khittah [politik Muhammadiyah] (2008:3) “netral pasif dan menjaga jarak yang sama terhadap dunia politik”. Meskipun demikian, sifat dan/atau sikap ini banyak “digugat” dan “dipertanyakan” di kalangan internal sendiri, dan bahkan menawarkan sesuatu yang menjadi antitesis dari sifat khittah itu: “netralitas-aktif” dan “menjaga kedekatan yang sama”. 

Saya pun memahami alasan “gugatan” dan “pertanyaan” tersebut, sebagaimana saya dan kita semua bisa pula membacanya dalam buku Prof. Haedar Nashir. Selain itu, dalam perbincangan dengan teman-teman kader, saya pun mendapatkan pandangan dan sangat memahami apa yang menjadi harapannya sehingga ada sejenis kecenderungan tendensi politik, yang bahkan mengandung potensi adanya benturan ke dinding ideologis atau khittah politik Muhammadiyah itu sendiri. 

Selanjutnya, saya mencoba mendalami sambil merenungkan “alam kebatinan warga”—kata warga di sini, yang saya maksudkan adalah warga dan/atau kader Muhammadiyah, meskipun (mungkin) di bagian akhir tulisan ini akan saya menyebut kata “warga” tetapi yang saya maksudkan adalah rakyat atau masyarakat Indonesia. Di balik alam kebatinan warga (baca: warga dan/atau kader Muhammadiyah), saya menemukan tiga hal yang menjadi faktor utama atau penyebab sehingga, meskipun Muhammadiyah memiliki dinding ideologis yang kokoh dan telah dibangun bersama dalam kemufakatan, berupa khittah yang mengatur tentang politik, masih ada yang berupaya untuk merekonstruksinya, untung saja bukan langkah destruktif yang dilakukan. 

Tiga hal yang saya maksudkan, sebagai hasil pembacaan saya dari alam kebatinan warga, yaitu: harapan, kekecewaan plus kegelisahan, dan kesadaran. Warga Muhammadiyah memiliki harapan yang besar dan mulia seperti apa seharusnya bangsa dan negara ini dikelola. Yang tentunya harapan tersebut minimal bermuara pada pencapaian sebagaimana cita-cita dan tujuan nasional yang telah dirumuskan oleh para founding fathers. 

Selain itu, di balik alam kebatianannya, sebagaimana saya pun mencermati situasi bangsa dan negara Indonesia, minimal sepuluh tahun terakhir, ada sejenis kekecewaan, dan bahkan memantik kegelisahan tentang nasib Indonesia pada masa yang akan datang. Ketika kita membaca naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Abdul Mu’ti yang pada substansinya membahas pula tentang “toleransi”, ada satu bentuk intoleransi yang disebut dengan intoleransi ekonomi. Terkait intoleransi ekonomi ini, tentunya kita menyadari khususnya umat Islam yang memiliki kedekatan psikologis yang sangat dekat dengan warga Muhammadiyah, sangat merasakan hal itu. Jadi sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebenarnya belum terwujud. Belum lagi persoalan lain dalam bidang atau dimensi lain yang sudah parah, seperti persoalan korupsi dan nepotisme.

Sedangkan yang ketiga—selain dua hal yang telah dijelaskan secara singkat di atas—saya pun menemukan satu bentuk “kesadaran” di dalam alam kebatinan warga. Kesadaran yang dimaksud, adalah kesadaran konstitusional, kesadaran politik kebangsaan, yang pada substansinya menegaskan bahwa dimensi politik sampai secara kelembagaan, memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan nasib bangsa dan negara Indonesia. Bahkan urusan perut warga (baca: rakyat Indonesia) pun, tentunya tidak luput dalam pergulatan dan pergumulan dimensi dan kelembagaan politik praktis. 

Ketika saya menyadari alam kebatinan warga tersebut di atas yang pada intinya bertumpu pada “harapan”, “kekecewaan plus kegelisahaan” dan “kesadaran”, apakah saya atau kita semua setuju untuk merobohkan saja dinding ideologis yang kokoh, berupah khittah politik Muhammadiyah itu? Saya secara tegas, dan sebaiknya kita semua bersepakat untuk mengatakan “tidak setuju”. Dinding ideologis itu, selain karena telah digariskan oleh khittah politik Muhammadiyah, DNA Muhammadiyah pada dasarnya tidak tepat untuk bergelut dalam dunia politik praktis. Kebenarannya ini terkonfirmasi dalam perjalanan sejarah Muhammadiyah, termasuk pula terkonfirmasi dalam cara pandang rasionalitas kader-kader Muhammadiyah. “Cara pandang rasionalitas” akan saya jelaskan pada bagian bawah. 

Jika tidak setuju dan tetap ingin mempertahankan kekokohan “Khittah Politik Muhammadiyah” apa yang harus dilakukan untuk memenuhi apa yang ada di alam kebatinan warga. Setelah mendalami alam kebatinan warga, Khittah Politik Muhammadiyah, DNA Muhammadiyah, dan cara pandang rasionalitas kader yang telah menjadi karakter, saya masih mampu menunjukkan langkah solutif dan itulah yang saya maksudkan sebagai “titik temu” antara alam kebatinan warga dan Khittah Politik Muhammadiyah. Dan titik temu ini pun tetap berpijak pada kesadaran konstitusional atau politik kebangsaan. 

Muhammadiyah sebagai organisasi yang berbasis pada pandangan keislaman, sejak kelahirannya menempuh jalur kiprah utama pada “dakwah kemasyarakatan”, tidak mengambil sikap dan tindakan untuk terjun di lapangan politik. Meskipun Muhammadiyah sendiri tidak melarang kadernya menjadi bagian dari politik praktis. 

Sebenarnya untuk memenuhi tiga hal utama yang saya sebutkan di atas yang ditemukan di balik alam kebatinan warga, berupa sesuatu yang berbentuk harapan, kekecewaan plus kegelisahaan, dan kesadaran, itu bisa ditemukan atau dilakukan bukan hanya lewat dimensi politik praktis, tetapi dengan memaksimalkan fungsi dakwah kemasyarakatan. Dakwah kemasyarakatan bisa pula berpijak pada kesadaran konstitusional meskipun dengan jalur lain, tetapi inilah titik utama yang terkadang terlupakan baik yang oleh dimensi dakwah kemasyarakatan itu sendiri termasuk dimensi politik praktis, sehingga apa yang menjadi harapan tidak terjadi, dan sesuatu yang mengecewakan terus terjadi. 

Konstitusi negara kita menggariskan—dan inilah yang saya maknai kesadaran konstitusional jalur lain tetapi merupakan titik utama—bahwa “rakyat” sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam politik, demokrasi, maupun pemilu sebagai instrumen strategisnya, rakyat memegang peranan penting. Dengan memaksimalkan dakwah kemasyarakatan dengan membangun kecerdasan dan nalar kebangsaan warga atau dengan menyentuh dimensi pemahaman dan kesadaran warga (baca: rakyat) tentang kedaulatan rakyat, tentang demokrasi, tentang politik, termasuk kesadaran “pemilih berdaulatan” itu bisa menjadi jalan terbaik mewujudkan harapan dan mengurangi kekecewaan yang selama ini terpancar dalam alam kebatinan warga. 

Ketika hari ini banyak yang tidak sesuai harapan, dan banyak yang mengecewakan dalam perspektif kiprah utama Muhammadiyah, sebenarnya karena kita belum memaksimalkan fungsi dakwah kemasyarakatan itu. Kita lebih cenderung masih berkutat pada metode dan isi dakwah seputar surga-neraka, rukun shalat semata relasinya  sebagai jalan masuk surga di akhirat kelak. Jarang—untuk tidak menyimpulkan tidak pernah—materi dakwah kita menyentuh pemahaman dan kesadaran akan pentingnya demokrasi, pemilu, cerdas dalam memilih, relasinya masa depan bangsa dan negara Indonesia. 

Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa ketika dakwah pencerdasan dan pencerahan ke ranah yang menyentuh pemahaman dan kesadaran atau nalar kebangsaan warga, maka bisa dipastikan kelembagaan politik praktis dan berbagai determinannya, akan senantiasa berupaya berjalan di atas rel konstitusi yang menjadi harapan rakyat. Tidak menjadi pengkhianat dari harapan rakyat. Karena, sesungguhnya awal mula problematika kehidupan itu karena faktor manusianya yang berjalan di luar dari koridor kebenaran, kebaikan, dan kepatutan, dan di sinilah dakwah bisa menjadi jalan untuk mengembalikannya pada rel yang sebenarnya. 

Saya pribadi memiliki kekhawatiran ketika Muhammadiyah secara kelembagaan bersentuhan dengan politik praktis. Pertama, salah satu DNA kader Muhammadiyah adalah mengedepankan sikap kemandirian dan rasionalitas. Kader-kader Muhammadiyah, berbeda dengan ormas lain yang ketika diperintahkan oleh sang kiai maka serta merta akan tunduk dan patuh mengikuti kiblat politiknya. Kita kader Muhammadiyah, karena itu juga bagian dari hasil dari model perkaderan yang dimiliki, senantiasa mengedepankan rasionalitas diri kita masing-masing. Kedua, secara kuantitas, jumlah warga Muhammadiyah masih belum signifikan jumlahnya di tengah-tengah masyarakat. 

Jadi, sekali lagi saya masih sepakat Muhammadiyah fokus pada jalur dakwah kemasyarakatan, meskipun yang harus diperbaiki adalam cakupan atau muatan materinya harus diperluas sampai menyentuh kesadaran dan nalar kebangsaan warga baik sebagai warga Muhammadiyah maupun warga dalam pengertian masyarakat umum di luar Muhammadiyah. 

Lalu bagaimana menyiapkan kader untuk terjun sebagai kader bangsa termasuk menjadi bagian dalam politik praktis. Idealnya hal ini didorong bukan hanya pada saat pasca penetapan daftar calon tetap (DCT) tetapi jauh sebelummya atau bertahun-tahun sebelumnya sudah perlu ada sejenis “Sekolah Kader Politik Muhammadiyah” untuk menyiapkan kader-kader yang setelah matang dilepaskan untuk melakukan diaspora politik sendiri ke berbagai partai. Jika seperti ini, maka Muhammadiyah tidak perlu lagi terlibat secara kelembagaan, karena kadernya telah digembleng dengan modal yang sangat matang. Dan pasti jika mereka sukses dalam mencapai harapannya mereka tidak akan senantiasa mempertimbangkan harapan dan partisipasi politik Muhammadiyah, meskipun dalam perspektif high politics. 

Selain sejenis “Sekolah Kader Politik Muhammadiyah” untuk mempersiapkan kader yang matang, Muhammadiyah bisa terus memaksimalkan dengan berbagai metode dan strategis untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran, dan kecerdasan politik warga atau masyarakat umum, agar mereka cerdas dalam berpolitik, tidak lagi berpengaruh dengan politik uang. Maka bisa dipastikan, dalam kontestasi demokrasi atau pemilu, kedua modal ini ibarat magnet, akan saling tarik menarik, akan menjadi satu energy fusi yang amat dahsyat untuk melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang mampu memperjuangkan harapan Muhammadiyah, harapan bangsa dan negara itu sendiri—tanpa perlu Muhammadiyah memainkan politik praktis, yang merobohkan bangunan khittah politiknya sendiri. 

Tulisan ini, saya niatkan sebagai kado sederhana Milad Muhammadiyah yang ke-111 tahun. Sebagaimana tema milad Muhammadiyah kali ini “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta” maka “Menyelamatkan Khittah Politik Muhammadiyah” adalah salah satu modal awal untuk mewujudkan harapan yang lebih besar tersebut. 

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menyelamatkan Homo Digitalis dari Kehidupan Inersia Oleh: Agusliadi Massere Era digital hari ini a....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Salah Kaprah tentang Nasikh dan Mansukh (1) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Wawasan

Oleh: Mohammad Fakhrudin Sudah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 7 bahwa keteladanan....

Suara Muhammadiyah

12 September 2024

Wawasan

Galpão da Cidadania dan Fikih Almaun Muhammadiyah Oleh: Syamsul Anwar, Ketua PP Muhammadiyah....

Suara Muhammadiyah

5 November 2024

Wawasan

Selamat Hari Ayah Nasional: Kehadiranmu Dirindukan Oleh: Nur Ngazizah Dosen UM Purworejo Fatherles....

Suara Muhammadiyah

12 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah