Tiga Pilar Hidup Berumah Tangga
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran, Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia
Sahabat Sahl bin Sa'd al-Sa'idy menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah mendatangi rumah putrinya Fatimah dan ketika itu suaminya Ali bin Abi Thalib tidak berada di rumah. Kemudian nabi bertanya: di mana anak pamanmu?. Fatimah menjawab: antara saya dan dia ada masalah, lalu dia memarahiku dan keluar rumah. (HR. Bukhari 6280).
Satu pesan penting yang disimpulkan dari narasi hadits di atas adalah bahwa hubungan suami istri dalam membina bahtera rumah tangga tidak selamanya mulus dan berjalan adem ayem sesuai harapan.
Sesempurna apapun keberagamaan pasangan suami istri masalah di dalam rumah tangga pasti ada bahkan menjadi sesuatu yang niscaya. Tinggal bagaimana masing-masing pasangan menyikapi konflik internal keluarganya tersebut sehingga menjadi kekuatan dalam membangun bahtera rumah tangganya.
Secara tidak langsung melalui riwayat hadits di atas nabi Muhammad juga memberikan penegasan bahwa hubungan anak dengan orang tua adalah hubungan yang berkeabadian tidak terputus hanya dengan pernikahan, bahkan hubungan keduanya itu akan tetap berlanjut sampai pada kehidupan akhirat.
Begitu pula tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anaknya, tidak boleh berhenti meskipun anak-anaknya sudah menikah dan memilih hidup terpisah dari rumah orang tuanya. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang tua tidak dibenarkan masuk terlalu jauh mencampuri urusan keluarga putra-putrinya sehingga bisa berpotensi mengakibatkan masalah yang muncul dalam hubungan antar keduanya semakin rumit.
Begitu pula dengan seorang anak yang sudah menikah. Maka seyogyanya tidak terlalu mudah melibatkan pihak ketiga termasuk kedua orang tuanya dalam menyelesaikan masalah yang muncul dalam hubungan keluarganya.
Apalagi sampai menceritakan masalah yang dihadapinya secara terperinci kepada pihak ketiga untuk mendapatkan simpati dan pembelaan, karena sebagaimana lazimnya di negeri kita figur-figur populer yang menceritakan masalah keluarganya selalu memposisikan dirinya sebagai korban dan sikap semacam ini sama sekali tidak membantu menyelesaikan masalah tetapi semakin menambah keruh suasana.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits di atas Fatimah memberikan contoh terbaik dalam hal ini. Ketika harus menjelaskan kenyataan yang dilihat langsung oleh orang tuanya sendiri, Fatimah hanya mengatakan: terjadi sesuatu [syay'un]. Tanpa menjelaskan detail sesuatu itu apa dan bagaimana.
Sama halnya dengan nabi, sebagai seorang ayah yang mengetahui langsung masalah yang dihadapi anaknya juga tidak berniat untuk mencari tahu detail masalah yang mengganggu hubungan baik putrinya dan suaminya.
Dalam kasus ini rasulullah sedang mengajarkan etika kebajikan bagi semua orang tua. Status sebagai mertua tidak boleh dijadikan alasan untuk mendapatkan akses masuk ke dalam urusan keluarga anaknya, karena rumah tangga seseorang adalah aurat yang menyimpan banyak rahasia dan tidak seharusnya diketahui oleh orang lain.
Sikap bijak selanjutnya ditampilkan oleh Ali bin Abi Thalib dengan mengambil keputusan keluar dari rumah ketika terjadi suatu masalah dengan pasangannya agar masalah tidak semakin membesar. Ali bin Abi Thalib sangat memahami kekuatan posisinya sebagai suami yang qawwāmūna alā al-nisā'i tetapi beliau tidak pernah menggunakan dalil-dalil agama untuk memaksakan dominasi kekuasaanya sebagai kepala di dalam rumah tangganya yang punya kuasa.
Banyak kalangan umat Islam yang memahami teks-teks agama secara kering sehingga menjadikan perempuan hanya sebagai objek yang lemah di dalam keluarga sehingga kelompok ini menjadikan teks agama tersebut sebagai landasan teologis untuk memaksakan kepatuhan total istrinya dengan ancaman neraka apabila membantah tanpa membuka ruang diskusi serta tidak memberikan hak untuk berpendapat.
Lebih dari itu alam penjelasan hadits selanjutnya diriwayatkan bahwa ketika nabi tidak menemukan Ali bin Abi Thalib di rumahnya ternyata beliau sedang berbaring di dalam masjid. Sikap ini menjadi penting untuk digarisbawahi karena Ali bin Abi Thalib ketika memutuskan keluar dari rumah bukan hanya keluar untuk melupakan masalahnya tetapi juga mencari solusi dari permasalahan itu dengan menyendiri melakukan evaluasi diri dan mendekat kepada Allah.
Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa kebahagiaan rumah tangga seseorang tidak diciptakan dengan pemaksaan kehendak dan dominasi kekuasaan oleh suami, tetapi hendaklah seorang suami memposisikan istrinya sebagai patner yang menjaga keseimbangan hidupnya, memandang istri sebagai penjaga ketertiban dan kenyamanan rumahnya dan sebagai penanggungjawab pendidikan karakter anaknya.
Tiga sikap dari ketiga tokoh pelaku di dalam hadits tersebut memberi pesan penting untuk diteladani bahwa membangun keluarga bahagia itu harus dengan hati bukan dengan ujung jari dan luapan emosi.