Oleh: Muhammad Ridha Basri
(Dosen Universitas Ahmad Dahlan)
Di Indonesia, tradisi Maulid Nabi sering dirayakan dengan seremonial pengajian, selawatan, hingga festival budaya. Di balik semarak perayaan, ada pertanyaan yang layak direnungkan: apakah kita telah meneladani akhlak Nabi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam kepemimpinan?
Pertanyaan ini terasa relevan di tengah berbagai krisis keteladanan pemimpin. Kasus korupsi yang tak kunjung reda, praktik politik dinasti, lemahnya akuntabilitas publik, pamer fasilitas berlebih, hingga komunikasi politik yang miskin substansi, membuat publik kian skeptis. Survei Transparency International menempatkan Indonesia pada skor Indeks Persepsi Korupsi 37/100 tahun 2024. Laporan Freedom House 2025 menggolongkan Indonesia sebagai negara “Partly Free”, dengan catatan serius soal hak-hak sipil dan kebebasan berekspresi.
Di titik inilah Maulid Nabi menjadi momen untuk menengok kembali warisan kepemimpinan profetik. Karakteristik Nabi Muhammad yang begitu mulia terepresentasikan dalam empat sifat utama. Pertama, sidiq (kejujuran) adalah basis legitimasi moral yang semakin langka dalam dunia politik kontemporer. Sidiq melahirkan sistem yang baik, birokrasi yang sehat, keterbukaan informasi, pengelolaan anggaran yang bersih, mencegah praktik korupsi dan nepotisme.
Kedua, amanah (dapat dipercaya) merefleksikan kualitas kepemimpinan yang berorientasi pada tanggung jawab publik. Memimpin mestinya dipahami sebagai amanah untuk ditunaikan dengan sebaik-baiknya serta menghindari segala praktik penyalahgunaan wewenang. Amanah menjadi basis kepercayaan sosial yang menjadi perekat masyarakat.
Ketiga, tabligh (kemampuan menyampaikan kebenaran) adalah pilar komunikasi kepemimpinan yang sangat penting. Nabi Muhammad memiliki kemampuan menyampaikan pesan dengan jelas, bijaksana, dan efektif. Pemimpin yang memiliki sifat tabligh, akan mampu memilih kata secara tepat, bukan umpatan kasar yang melukai hati rakyat.
Keempat, fatanah (kecerdasan dan kebijaksanaan) adalah kemampuan berpikir strategis dan solutif dalam menghadapi tantangan. Nabi Muhammad mempraktikkan fatanah dalam berbagai dimensi, mulai dari strategi diplomasi hingga pengelolaan konflik. Di Indonesia, krisis kepemimpinan sering terjadi karena lemahnya kebijaksanaan dalam mengelola kompleksitas sosial.
Momentum Maulid Nabi mesti diupayakan untuk merefleksikan keempat nilai luhur tersebut. Kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan semata untuk berkuasa, melainkan tentang praktik sidiq untuk membangun sistem yang baik, amanah untuk menumbuhkan basis kepercayaan, tabligh untuk menjaga integritas komunikasi publik, serta fatanah untuk melahirkan solusi bijak atas problem kebangsaan.
Nabi Muhammad juga mewarisi teladan gaya hidup seorang pemimpin. Meski memiliki otoritas tertinggi sebagai pemimpin politik dan agama, Nabi tetap memilih jalan hidup sederhana. Kesederhanaan bukan tentang romantisme kemiskinan, tetapi keberpihakan dan masalah distribusi kekayaan. Kekuasaan bukan sarana memperkaya diri dan kroni, namun amanah untuk melayani semua dan memberdayakan mustadh’afin.
Jika kita menimbang kondisi Indonesia dengan timbangan nilai-nilai Nabi, tampak betapa jauhnya jurang yang terbentang. Pemimpin kita sering kali gagal menunjukkan integritas, terbukti dari tumpukan kasus yang menjerat pejabat di berbagai level. Prinsip-prinsip luhur kerap dikalahkan oleh logika politik transaksional. Kebijaksanaan sering tergantikan oleh retorika yang justru memperuncing perpecahan. Kesederhanaan pun semakin langka.
Rakyat kecil selalu menjadi pihak pertama yang menanggung beban ketika kebijakan negara melenceng dari kepentingan publik. Tak mengherankan bila demonstrasi yang meledak dalam seminggu ini menjadi panggung besar untuk melampiaskan jerit panjang yang telah lama ditahan. Akar masalahnya bukan sekadar isu tunjangan DPR, melainkan tumpukan kekecewaan dan rasa tidak percaya yang kian menyesakkan. Kemarahan telah mengendap, dan akhirnya tumpah ruah tak terbendung. Para elite harus berhenti berpura-pura tuli atas aspirasi rakyat.
Maulid Nabi mestinya dibaca sebagai jeda untuk memperbaiki arah kepemimpinan bangsa. Nabi Muhammad telah mengajarkan bahwa kekuasaan tidak boleh menjadi alat menindas rakyat. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap elite politik dengan segala hiruk-pikuknya, Indonesia hanya bisa bertahan jika dipimpin dengan nilai teladan.