Shalat ID Terakhir Metode Hisab Wujudul Hilal: Catatan Salat Id di Lapangan pada Tiga Lokasi
Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua LP-UMKM PWM Jateng. Kabid Diaspora Kader dan Jaringan MPKSDI PP Muhammadiyah
Mas Sis, Ir. H. Sieswienarto, M.Sc. Wakil Bendahara LP-UMKM PWM Jateng, Ahad pagi 30 Maret 2025 WApri saya.
“Saudi salat Idul Fitri hari ini, awake dewe kepiye (kita harus bagaimana)”, chatingnya.
“Kita ikut lebaran besok pagi sesuai Maklumat PP Muhammadiyah”, jawab saya.
“Bukannya puasa di hari lebaran haram”, tanya dia.
“Kalau mas Sis mau “mokah” (batalkan puasa) hari ini boleh, salatnya Ied ikut besok pagi”, jawab saya menggoda.
“Piye to iki, aku manut ketua (gimana to ini, aku ikut ketua)”, katanya.
“Sebagai pengurus Muhammadiyah, saya lebaran Senin besok”, jawab saya.
“Yo wis, maturnuwun (ya sudah, terimakasih)”, terangnya.
Gambaran diatas mirip dengan sahib saya tatkala menunaikan ibadah haji tahun lalu. Dimana waktu Wukuf di Arafah (9 Dzulhijah) lebih awal sehari dari Indonesia. Padahal kita semua tahu jika waktu Saudi Arabia, Empat jam lebih lambat dari Indonesia. Seharusnya “tinemu nalar” (logisnya) Indonesia lebih dahulu atau berbarengan tanggalnya ldul Fitri dan Idul Adha dengan KSA. Waktu dia menanyakan via telepon menjelang Wukuf di Arafah terkait perbedaan waktu, saya hanya menjawab singkat : “Yen Arafah kuwi panggonane ning kene yo wukufe sesuk, tapi awakmu wukuf dewean (Jika Arafah itu tempatnya di sini ya wukufnya besok hari, tetapi dirimu wukuf sendirian)”.
Perbedaan pendapat tentang hari lebaran menjadi realitas yang telah dimaklumi umat Islam. Semua sepakat bahwa hari raya Idul Fitri itu tanggal 1 Syawal dan Idul Adha jatuh pada 10 Dzulhijah berdasarkan kalender Hijriyah. Sama-sama mendasarkan pada hisab dan rukyat. Perbedaannya ada pada kriteria ketinggian dan elongasi hilal.
Kita telah diperlihatkan berpuluh-puluh tahun bahwa perbedaan hari lebaran itu rahmah. Setidaknya saya belajar mensikapi perbedaan hari lebaran dari keluarga para bakul Pasar Weleri, sebuah entitas Muzakki Bapelurzam (sekarang LAZISMU) sejak 1979. Kebetulan keluarga besar kami kebanyakan menjadi pedagang pasar tradisional Weleri.
“Alhamdulillah bodone loro dadi isoh mremo bar riyoyo (Alhamdulillah, lebarannya dua hari sehingga bisa jualan lagi setelah salat Id)”. Begitulah rata-rata komentar bakul pasar warga Muhammadiyah, termasuk orang tua kami, jika menemui hari lebaran yang berbeda. Seringnya Muhammadiyah menetapkan lebih awal sehari daripada Pemerintah atau Ormas Keagamaan mainstream lainnya. Maknanya sebagai warga dan pimpinan persyarikatan kita dituntut bersikap bijaksana dan selalu bersyukur atas selesainya bulan ramadan.
Salat Id di Lapangan
Salat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) di lapangan atau tanah lapang identik dengan Muhammadiyah. Meski penyelenggara atau panitianya tidak selalu dilakukan Pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan. Ada sebagian kecil yang diselenngarakan oleh panitia dari PHBI (Perayaan Hari Besar Islam), Forum Takmir/Remaja Masjid, maupun Ormas dan Yayasan Islam lain yang mulai hadir dalam satu dasawarsa terakhir.
Saya membuat catatan kecil ini semoga kelak di kemudian hari bisa menjadi literasi sejarah salat Idul Fitri terakhir dengan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Sebelum Muhammadiyah memberlakukan KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal) mulai tahun depan (1447H/2026M). KHGT menggunakan metode Imkanur Rukyat dan telah diratifikasi oleh 150-an ulama ahli falak (astronomi) dari 60 negara pada Konferensi Internasional KHGT tahun 2016 di Turki. Pemakaian KHGT pun telah ditetapkan dalam Munas Tarjih di Pekalongan, 23-25 Februari 2024.
Berikut catatan kecil saya tentang pelaksanaan salat Idul Fitri tahun 1446H/2025M yang diselenggarakan oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah di tiga lokasi berbeda tahun ini.
Pertama, Salat Id PRM Trimulyo, Jetis, Bantul, DIY.
Bertindak selaku Khatib yaitu Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nasir, M.Si. Sebagai “Presiden” Ormas Islam Terkaya di dunia, Prof. HN lebih memilih menjadi Khatib Salat Id di lapangan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting (Desa, Kelurahan, Dukuh). Sebuah Struktur Pimpinan paling bawah dari persyarikatan Muhammadiyah.
Sependek pengetahuan saya, salat Id yang diselenggarakan PRM Trimulyo telah berlangsung puluhan tahun. Sebagai salah satu aktivis “panitia salat Id lapangan” tingkat Cabang, saya bisa membayangkan jika pada saat pertama dahulu dilaksanakan, pasti jamaahnya hanya ratusan orang. Tentu sangat berbeda dengan jumlah jamaah shalat Id tahun ini yang diikuti ribuan umat. Apalagi yang bertindak selaku khatib Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Saya menangkap makna kehadiran “Presiden” Muhammadiyah sebagai Khatib Salat Idul Fitri di Ranting Trimulyo sebagai sikap “ajar, ajur, ajer” seorang pemimpin dengan umatnya. Sebuah akhlak sosial religius otentik seorang pemimpin yang memberikan contoh (ajar), melebur (ajur) dan mencair “nguwongke” (ajer) dengan umatnya.
Andai saja para Kepala Daerah (Bupati, Walikota, Gubernur) laki-laki dan mukallaf mau menjadi khatib salat Ied di lapangan (atau masjid Jami’/Agung) tentu dapat menjadi teladan yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya. Tidak musti menjadi Imam Shalat Id yang mensyaratkan fasih dan tartil bacaan Al-Qurannya. Sebab di banyak tempat (masjid dan lapangan) Imam dan Khatib Salat Id biasa dilakukan oleh orang yang berbeda.
Kedua, Salat Id PCM Weleri, Kendal, Jateng.
Untuk tahun ini, salat Id yang biasanya dilaksanakan di lapangan Desa Sambongsari bergeser ke lapangan Gelora Desa Weleri Kecamatan Weleri. Padahal salat Idul Fitri sudah berlangsung lama, 50 tahun lebih. Penyebabnya, sejak pertengahan ramadan lapangan Sambongsari disewa dan dipergunakan untuk “mremo” (berburu pendapatan) Pasar Malam aneka permainan untuk anak-anak dan tempat berjualan puluhan pelaku UMKM dari sebuah Grup luar kota.
Sudah menjadi tradisi di PCM Weleri, kepanitiaan salat Id dipasrahkan kepada PCPM bersama AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) lain. Tugasnya tidak hanya menyiapkan secara teknis di lapangan (kalibrasi arah kiblat, menata shaf, soundsystem, kotak amal, dll), juga menentukan siapa Khatib dan Imam Salat Idul Fitri. Selaku Imam dan Khatib salat Idul Fitri kali ini, Dr. H. Fuad Zein, M.A., Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Beliau “rawuh” (hadir) bersama istri sehari sebelumnya dengan menumpang travel dari Yogyakarta. Sebuah laku kesederhanaan Mubaligh dan Pimpinan Persyarikatan pada umumnya. Kepulangannya ke Yogyakarta, diantar Ketua PCM Weleri H. Ali Muzi dengan mobil operasional milik PCM Weleri.
Jika Salat Id dilaksanakan di lapangan Sambongsari, maka panitia sudah terbiasa menyiapkan 35 shaft dengan panjang terpal plastik 60 meter yang bisa menampung 5.000-an jamaah. Soal kesediaan air wudhu, perlengkapan dan peralatan juga tidak menjadi masalah. Sebab kantor Koramil Weleri beserta Gedung Pertemuan yang berada di sisi barat lapangan telah lama menjadi mitra bahagia dengan panitia. Sedangkan di lapangan Gelora Desa Weleri, panitia harus menyesuaikan ruang yang tersedia (31 shaft dengan panjang 80 meter), harus “nembung” (ijin) dengan Kepala Desa Weleri serta pemilik toko, hotel dan tempat karaoke yang berada di sekitar lapangan sebagai lokasi parkir mobil dan motor.
Alhasil, salat Idul Fitri dihadiri lebih banyak umat dibandingkan Idul Fitri tahun 2024 di lapangan Sambongsari (perkiraan 6.000-an orang). Alhamdulillah, hujan pun tidak turun sebagaimana terjadi sehari sebelum salat Id tahun lalu. Sehingga mesin pompa air menganggur digunakan. Sebuah tenda besar didirikan di sisi utara lapangan dan sebuah truk air bantuan dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) disiapkan bagi jamaah yang batal wudhu dari rumah. Dua orang penjual “lemek” (alas) plastik seharga Rp 5.000 laris dibeli jamaah yang tidak kebagian shaft beralaskan terpal sepanjang 60 meter yang biasa disediakan panitia.
Sebelum salat Id dilaksanakan, panitia selalu berpesan bahwa salat berjamaah dan khotbah Id adalah satu rangkaian Rukun Salat Id Berjamaah yang wajib diikuti hingga selesai. Terdapat pemandangan menarik setelah salat id selesai dan khatib baru mau memulai berkhobah. Dimana ratusan orang berdiri dan keluar dari shaft dan lapangan. Aji, Ketua Panitia tahun ini, berkomentar di pinggir tenda setelah selesai serangkaian ibadah salat Id.
“Jamaah yang keluar lapangan sebelum khotbah selesai itu para “muallaf” salat Id di lapangan pak”, kata Aji kepada saya.
“Loh kok bisa”, komentar saya.
“Cobi njenengan matke saking wajah lan pakaiane (coba bapak perhatikan dari wajah dan pakaian yang dikenakan”, jelasnya.
“Maksudnya”, tanya saya.
“Mereka belum terbiasa hadir berjamaah salat Id di lapangan”, jawabnya santai.
Kamipun tertawa bersama. Aji adalah salah satu aktivis “muallaf” PCPM Weleri yang memiliki pengalaman sebagai Stage Manager EO yang biasa mengadakan pertunjukan konser musik band Indie.
Ketiga, Salat Id Perdana PCM Baturraden, Banyumas, Jateng.
Jagat dunia maya dihebohkan dengan share Surat Nomor : 003/025/III/2025, tertanggal 28 Maret 2025 dari Pemerintah Desa Rempoah Kecamatan Baturraden yang ditandatangani Kepala Desa Sugeng Pujiharto. Isi surat berupa Jawaban Pinjam Lapangan yang menolak meminjamkan lapangan untuk salat Idul Fitri atas Surat Permohonan dari PCM Baturraden bernomor 006/IV.0/B/2025. Salah satu diktum lampiran surat yang dijadikan alasan yaitu untuk menjaga persatuan dan berdasarkan hasil musyawarah di Balai Desa Rempoah hari Kamis, tanggal 27 Maret 2025.
Meskipun pada akhirnya “dimansuh” (dicabut, dianulir) dengan Surat Nomor : 003/026/III/2025 yang ditandatangani Kepala Desa Rempoah dan memperbolehkan memakai lapangan untuk ibadah salat Id, namun kejadian ini telah memberikan hikmah yang besar bagi segenap warga persyarikatan dan masyarakat luas. Apalagi saat ini kita hidup di abad informasi, era digital. Dimana sebuah laku sosial seorang pejabat dan rakyat di sebuah desa terpencil nun jauh di benua sana, dalam hitungan detik bisa dilihat oleh netizen pada belahan benua di sini.
Kejadian penolakan Kades Rempoah mengingatkan saya atas 2 kegiatan saat menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 2004-2009. Dimana saya diamanahi menjadi Ketua Komisi B (2004-2007) dan anggota Komisi E (2007-2009).
Pertama, tragedi di Baturraden pada hari Kedua Idul Fitri tahun 2006. Dimana 9 orang traveller meninggal dunia dan puluhan lainnya terluka akibat ambrolnya jembatan gantung di Lokawisata Baturraden. Dari Yogyakarta saya menyetir mobil sendirian menuju lokasi kejadian, begitu mendengar kabar menyedihkan tersebut. Semua korban bisa dievakuasi dan dilakukan pemulasaraan jenazah dengan semestinya. Puluhan korban luka-luka dan patah tulang dibawa ke RSUD Margono Soekarjo milik Pemprov Jateng untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan hingga sembuh. Jembatan gantung pun telah diganti dengan jembatan yang kokoh, aman dan nyaman buat pengunjung.
Kedua, sosialisasi penanggulangan HIV-AIDS tahun 2007-2008. Saya lupa persis tanggal dan bulannya. Yang pasti pada waktu itu, Komisi E DPRD bersama Dinas Kesehatan Pemprov Jateng melakukan kunjungan ke berbagai lokasi di Jateng yang dinilai sebagai sumber utama penyebaran PMS (Penyakit Menular Seksual) HIV-AIDS. Tidak terkecuali Baturraden kabupaten Banyumas yang memiliki privalensi pengidap HIV-AIDS cukup tinggi. Pada waktu itu, sosialisasi diadakan di salah satu rumah yang berada di Gang Sadar.
Sekedar informasi, tidak jauh dari kawasan wisata Baturraden terdapat Gang Sadar 1 dan 2 yang berisi puluhan rumah yang pada awalnya sebagai indekos para pekerja hotel dan restoran dari luar daerah. Entah kapan dan bagaimana sejarahnya lalu berkembang menjadi semacam rumah induk bagi freelance pekerja informal terapis pijat, pramunikmat dan PK/PL (Pemandu Karaoke/Pemandu Lagu). Saat sosialisasi itulah saya bertemu seorang teman sekolah SMA Muhammadiyah 1 Weleri yang kebetulan menjadi pengontrak salah satu rumah di Gang Sadar. Namanya juga kehidupan, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kelak setelah kita lulus sekolah.
Kembali ke penolakan Kades Rempoah untuk meminjamkan lapangan desa sebagai sarana salat Id bagi warga dan simpatisan persyarikatan. Permohonan PCM Baturraden yang baru “pertama kali” hendak mengadakan salat Id di lapangan, semestinya disikapi secara bijak oleh pemegang Otoritas Pemerintahan di semua level (Kades/Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur). Jika anda mengijinkan lapangan dipakai untuk pertunjukan musik, lokasi Pasar Malam dan kampanye saat pemilu, yang berpotensi mengundang keributan, perkelahian dan kerawanan sosial lainnya. Maka tidaklah elok dan menjadi tuna norma, tuna etika dan tuna sosial ekonomi manakala ada Kepala Desa dan Kepala Daerah yang menolak memberikan ijin kepada Muhammadiyah untuk melaksanakan salat Id di lapangan.
Silahkan dilihat dari dekat tatkala Muhammadiyah mengadakan ritual keagamaan salat Id di sebuah lapangan. Puluhan UMKM bakul mainan anak-anak mendapatkan rejeki, puluhan pemuda desa memperoleh uang parkir, puluhan sopir angkota dan pengemudi becak/bentor menerima “pitrah” (rejeki lebaran), serta ribuan warga lain mendapatkan ketentraman dan kenyamanan hati dari doa tulus jamaah salat Id. Belum ada sejarahnya salat Id di lapangan yang diselenggarakan Muhammadiyah menimbulkan kericuhan, perkelahian dan perpecahan umat dan masyarakat.
Semoga kejadian di desa Rempoah menjadi “pepeling” (pengingat) terakhir bagi segenap pemegang otoritas pemerintahan pada semua level untuk lebih memahami makna Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Bahwa Kelima Sila Pancasila wajib dihadirkan dalam laku dan sikap nyata seorang pemimpin di negeri ini. Dan maaf, jangan ajari Muhammadiyah untuk menjadi warga bangsa yang berjiwa Pancasila, serta bertindak laku wasathiyah, toleransi dan moderasi beragama.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Taqabbalallahu minna wa minkum.
Wallahu’alam